CHAPTER 2

2312 Words
Hari-hari yang dinantikan Dustin, akhirnya tiba. Pagi-pagi sekali dia berangkat menuju tempat janjian dengan teman-temannya. Dustin merasa sangat senang dan bersemangat. Yang ada di pikirannya saat ini hanyalah bisa secepatnya tiba di sana dan bertemu dengan teman-temannya. Dustin berangkat dengan menaiki motor, sebenarnya motor itu sudah sejak lama dibeli oleh Dustin, namun dia jarang sekali menggunakannya. Kantor tempat Dustin bekerja tidak terlalu jauh dari rumahnya, karena itu dia lebih memilih berjalan kaki dibandingkan menggunakan motornya. Akan tetapi, tempat yang akan dia tuju saat ini cukup jauh dari rumahnya, karena itulah dia menggunakan motor untuk berangkat ke sana. Dustin melajukan motornya dengan kecepatan tinggi, saat dirinya sedang fokus menatap ke depan tiba-tiba seorang pria melintas, tentu saja Dustin tersentak, luar biasa kaget. Sekuat tenaga Dia mengerem, beruntung motornya berhenti sebelum menabrak tubuh pria itu. Dustin pun segera turun dari motornya dan menghampiri pria itu. "Pak, Anda baik-baik saja?" tanyanya, khawatir. Pria itu terdiam, dia terus menatap wajah Dustin dengan begitu serius. "Pak," Dustin kembali memanggil dengan dahinya yang mengernyit bingung. "Aku baik-baik saja. Kau mau pergi kemana, buru-buru sekali sampai motormu itu nyaris menabrak orang?" "Iya, maaf, Pak. Saya akan pergi ke gunung itu. Saya dan teman-teman sudah berjanji akan berkemah di sana." Pria itu tertegun, beberapa menit lamanya tak bersuara. "Berhati-hatilah, Nak. Di gunung itu pernah terjadi pembunuhan. Seorang pemuda ditemukan tewas di sana. Semenjak saat itu tidak pernah ada lagi orang yang berani memasuki daerah pegunungan itu." "Seorang pemuda?” gumam Dustin. “Apa Anda mengenal pemuda yang dibunuh itu?" Si pria menggeleng, "Tidak. Tidak ada satu orang pun yang mengenalinya karena kondisi jasadnya sangat mengenaskan. Wajahnya tidak dapat dikenali karena hancur. Sepertinya si pembunuh membunuhnya dengan memukulkan batu yang cukup besar pada wajahnya." Dustin tidak dapat membayangkan bagaimana mengerikannya sosok jasad yang diceritakan oleh pria itu. "Karena itu berhati-hatilah, Nak," ucap pria itu lagi sambil mengusap lengan Dustin. "I-Iya, Pak. Terima kasih untuk informasinya." Pria itu bangkit berdiri, Dustin bergegas membantunya. “Mau saya antar, Pak? Rumah Bapak dimana?” Dengan tulus Dustin menawarkan, namun pria itu mengangkat tangan disertai gelengan kepala sebagai bentuk penolakan. Dustin tak ingin memaksa, dia pun membiarkan pria itu pergi.  Sang pria melangkah meninggalkan Dustin. Untuk sesaat Dustin menatap punggung pria itu yang semakin menjauhinya. Perkataannya terus terngiang-ngiang di kepala Dustin. Namun, di saat seperti ini tidak ada waktu bagi Dustin untuk merasa ragu ataupun takut. Dia harus segera pergi dan menemui teman-temannya. Karena itu, Dustin kembali duduk di atas motornya dan melajukannya kembali dengan kecepatan yang sedang karena takut kejadian serupa akan terjadi lagi.   *** Dustin membuka kedua matanya dengan begitu lebar ketika tepat di depan mata, teman-temannya sudah berkumpul. Pada awalnya, Dustin berharap bisa menjadi orang pertama yang tiba di tempat ini, namun kenyataan berkata lain. Dustin justru datang paling akhir. Dari wajah teman-temannya yang tertekuk, terlihat jelas mereka sedang sangat kesal pada Dustin yang mengajak bertemu namun justru dirinya yang datang paling akhir. Dengan perlahan, Dustin berjalan menghampiri dan mencoba memberikan senyuman kepada teman-temannya yang sedang memasang wajah masam padanya saat ini. "Hai, teman-teman ... maaf aku terlambat," ucap Dustin sambil terkekeh. Dia pura-pura menggaruk pelipisnya yang sama sekali tidak gatal. "Kau tidak pernah berubah ya, Dustin. Kau yang mengajak bertemu justru kau yang datang terlambat," sindir Andre terang-terangan. "Ma-Maaf, tadi terjadi masalah di jalan. Aku nyaris menabrak orang. Maafkan aku." Dustin menangkupkan kedua tangannya di depan d**a, berharap mereka akan memaafkannya dan memahami situasinya. Buuuuuuuk! Sebuah pukulan mendarat di perut Dustin. Dustin merintih kesakitan dan orang yang menjadi pelaku pemukulan itu dengan cepat merangkul Dustin, kemudian membisikkan sesuatu di telinganya. "Sudah kukatakan kau harus siap menerima pukulanku," bisik Andre. "Yaaa, aku hanya tidak menyangka kau benar-benar memukulku, Ndre." "Ini pembalasan karena kau menghilang begitu saja dan tidak pernah menghubungi kami. Aku harap kau kapok dan tidak akan mengulanginya lagi." "I-Iya, aku janji tidak akan mengulanginya lagi." Andre memeluk Dustin dan tentu saja Dustin langsung membalas pelukannya, meskipun dia masih merintih kesakitan karena pukulan Andre tadi. "Senang bertemu denganmu lagi, kawan.” Kini Andre dengan sengaja memukul punggung Dustin berulang kali. "Aku juga," sahut Dustin di tengah ringisannya. Dia tak heran akan diperlakukan seperti ini. Meskipun bukan oleh Andre, pasti temannya yang lain yang akan memberinya pukulan sebagai hukuman. Ya, Dustin tidak marah atau tersinggung, toh dia sadar selama ini telah melakukan kesalahan dengan menghilang tanpa kabar. Andre melepaskan pelukannya pada Dustin. Lalu satu per satu teman-temannya menghampiri Dustin dan memeluknya bergantian. Dustin menatap satu per satu temannya. Ada Andre, Charlos, Edmund dan Renee di depannya kini. Namun, ada beberapa orang yang belum terlihat sosoknya, membuat Dustin merasa kecewa. "Dimana Freya dan Jerry? Apa mereka belum datang?" "Kenapa hanya Freya dan Jerry yang kau tanyakan? Kau sama sekali tidak menanyakanku, apa kau sama sekali tidak mengharapkan kedatanganku?" Sebuah suara menjawab pertanyaan Dustin yang tiba-tiba muncul dari arah belakang, tentu saja membuat Dustin terkejut. Dustin berbalik badan, menatap pemilik suara itu. Dan berdirilah seseorang yang sudah tidak asing lagi baginya. "Thomas,” gumam Dustin sembari mengulas senyum tipis. “Tentu aku mengharapkan kedatanganmu. Syukurlah, kau juga datang." Pria yang bernama Thomas itu berjalan menghampiri Dustin. Tanpa ragu memeluk Dustin sambil membisikkan sesuatu di telinganya. "Tapi barusan kau tidak menanyakan aku?" Dustin terkekeh, "Aku pikir dimana ada Freya, di situ pasti ada kau juga. Karena itu aku menanyakan Freya." "Ooh, begitu." "Ya, begitulah." Thomas melepaskan pelukannya dan memberikan sebuah senyuman pada Dustin. "Akhirnya kita bertemu lagi," kata Thomas seraya mengulurkan kepalan tangan kanannya. Dustin melakukan hal yang sama, ikut mengulurkan kepalan tangannya lalu kepalan tangan mereka pun saling beradu. Sebuah kebiasaan yang sering mereka lakukan semasa kuliah dulu. "Ya, senang bisa bertemu lagi denganmu," balas Dustin. Saat telinganya mendengar suara langkah kaki seseorang, Dustin bergegas memalingkan tatapannya ke sumber suara. Kini dia tengah menatap seorang gadis yang berdiri di hadapannya. Gadis itu sangat cantik, rambutnya panjang dan berwarna hitam pekat. Kulitnya sangat putih dan mulus membuat setiap pria yang menatapnya akan terpesona. Pakaiannya yang modis serta sebuah syal yang melilit di lehernya dengan indah, semakin menambah keanggunannya. Gadis itu sedang menatap Dustin dengan tajam namun terlihat dengan jelas kemarahan di wajahnya yang cantik itu. Dustin tersenyum canggung saat melihatnya, berusaha bersikap biasa, dia mengangkat tangannya tinggi di udara dan menyapa dengan riang, "Hai, Freya. Senang melihatmu." Freya pergi begitu saja meninggalkan tempat itu, tanpa menanggapi perkataan Dustin. Dustin sudah sangat mengenal kepribadian Freya, dia tahu betul gadis itu sedang sangat marah padanya. Karena itu, tanpa ragu Dustin berlari mengejar Freya. Freya berjalan dengan sangat cepat, tapi tentu saja Dustin tak tinggal diam. Dia berlari sehingga dengan kecepatan berlarinya, dia pun berhasil mengejar Freya. "Freya, tunggu," panggil Dustin seraya menangkap lengan Freya. Freya menghentikan langkah dan kini kembali menatap Dustin dengan tajam. "Aku tahu kau marah padaku. Aku mohon, maafkan aku." Dustin mengungkapkan permohonan maafnya dengan sungguh-sungguh, tapi tampaknya belum cukup mampu meredakan amarah Freya. "Kau tidak tahu kesulitan yang aku alami, aku sangat membutuhkanmu tapi kau tidak ada." "Maafkan aku, Freya." Freya menghentakan tangan Dustin yang memegangnya, berusaha melepaskan diri namun Dustin tak membiarkan itu terjadi. Cengkeraman tangannya pada lengan Freya semakin mengerat. "Sepertinya kau sudah tidak peduli lagi padaku. Kau bahkan mengganti nomor teleponmu dan pindah rumah. Sebenarnya apa maumu? Kenapa kau melakukan ini?" Freya masih mengutarakan kekecewaan dan kekesalannya pada Dustin yang tiba-tiba menghilang bagai ditelan bumi. "Maaf Freya, semua nomor telepon di contact handphoneku hilang, itulah sebabnya ..." "BOHONG...! Bukankah kau hafal nomor teleponku di luar kepala? Kalau mau, kau bisa menghubungiku dan memberitahukan nomor teleponmu yang baru padaku. Tapi kau tidak melakukan itu. Kau pergi begitu saja, seakan-akan kau tidak ingin berhubungan denganku lagi." Dustin salah tingkah detik itu juga, "I-Itu tidak benar ...." "Kalau begitu jelaskan padaku, kenapa kau menghilang? Dan menjauhi kami seperti ini?" Dustin terdiam seribu bahasa, dia sangat kebingungan saat ini. Entah jawaban apa yang harus diberikannya pada Freya karena tidak mungkin dia mengatakan yang sejujurnya. Mustahil bukan dia mengaku alasannya menghilang karena berniat untuk melupakan perasaannya pada Freya? "Dustin, jawab aku!" Freya membentak, tak kuasa menahan kesal karena alih-alih menjelaskan, Dustin justru diam bagai patung tak bernyawa. "Ini tidak seperti yang kau pikirkan. Aku sedang ada masalah yang cukup rumit karena itu aku butuh waktu sendiri untuk menyelesaikannya. Aku butuh waktu untuk menyendiri. Tolong mengertilah kondisiku dan maafkan aku." "Masalah rumit? Memangnya kau tertimpa masalah apa?" Sekali lagi Dustin terdiam, dia benar-benar tidak tahu harus memberikan jawaban apa untuk pertanyaan Freya ini. "Dustin, apa kau tidak percaya padaku? Kau ingat di antara kita tidak ada rahasia? Kita ini sahabat, Dustin. Kita sudah cukup lama bersahabat." Dustin mengangguk-anggukan kepala, "Tentu saja aku percaya padamu. Aku janji akan menceritakan masalahku ini padamu. Tapi nanti ... tidak sekarang." Akhirnya hanya jawaban itu yang Dustin berikan. Sebuah jawaban yang ambigu. "Kenapa?" "Karena saat ini aku ingin melupakan masalahku itu, itulah sebabnya aku mengajak kalian semua bertemu. Aku ingin bersenang-senang dengan kalian semua." "Benarkah karena itu?" Dustin mengangguk antusias dan penuh semangat, berharap kali ini Freya akan luluh dan tidak lagi menanyakan pembahasan yang sama. "Baiklah, kali ini aku memaafkanmu." Seketika Dustin mengembuskan napas lega, bersyukur karena kemarahan Freya tak bertahan lama. Mungkin karena gadis itu sudah lebih dewasa dibanding dulu. Karena Freya yang Dustin ingat merupakan sosok orang yang susah sekali diluluhkan jika sudah kecewa apalagi marah. Freya berjalan mendekati Dustin dan memeluknya begitu erat. Dustin sangat gugup dan terkejut karena perlakuan Freya yang tiba-tiba ini, namun di saat yang bersamaan dia merasa sangat senang. Dustin membalas pelukan Freya tak kalah eratnya. "Aku sangat merindukanmu, Dustin,” bisik Freya pelan, namun Dustin bisa mendengarnya dengan jelas. "Ya, aku juga." Dustin balas berbisik. Keduanya menyunggingkan seulas senyum.  Lama mereka berpelukan seperti itu, sesekali terdengar suara tawa yang meluncur dari mulut keduanya. Tanpa mereka sadari, seseorang sedang mengawasi mereka dari kejauhan dengan tangan terkepal, menahan cemburu.    ***   Malam yang sangat gelap dan dingin ini terasa begitu meriah dirasakan oleh Dustin dan teman-temannya. Mereka sedang berkumpul di depan api unggun. Ya, saat-saat seperti ini sangat dirindukan oleh Dustin. Dulu ketika masih kuliah, hampir setiap bulan mereka berkemah di tempat ini dan bersenang-senang seperti ini. Charlos sedang memainkan gitar, ditemani Andre yang mengiringi irama musik yang dimainkan Charlos dengan menggerak-gerakan botol aqua yang sudah diisi pasir. Lalu Edmund yang memukul tutup panci dengan ranting pohon. Sedangkan yang menyanyi adalah Renee dengan suara cemprengnya. Empat orang itu sedang menyanyikan lagu K-pop BTS berjudul Boy With Love.  Suara Renee yang tak masuk dengan irama musik, kadang terlalu cepat bahkan terkadang ketinggalan, sukses membuat suasana menjadi riuh oleh suara gelak tawa Dustin, Thomas dan Freya. Pertunjukan empat orang itu yang menyanyikan lagu tak jelas iramanya, berhasil memeriahkan suasana. Freya bahkan tertawa terpingkal-pingkal sampai memegangi perutnya.  “Sudah cukup, perutku sakit. Kalian parah sekali, terutama kau, Renee,” ucap Freya setelah berhasil menghentikan tawanya. “Suaramu masih secempreng dulu.” “Berisik!” teriak Renee, tak terima karena Freya mengejek suaranya yang memang tak berbakat di bidang tarik suara. “Mentang-mentang suaramu bagus, jadi seenaknya mengejek orang.”  “Aku hanya mengatakan fakta.” Freya tak mau kalah. Dirinya tak merasa bersalah sedikit pun karena membuat wajah Renee yang awalnya secerah mentari pagi berubah seratus delapan puluh derajat menjadi semendung langit saat turun hujan. “Tapi pertunjukan kalian sangat menghibur, aku suka kok.” Dustin yang mengatakannya, dalam sekejap merubah suasana hati Renee kini kembali berbunga-bunga. Gadis itu tersenyum semringah dan berlari menghampiri Dustin.  “Terima kasih, Dust. Seperti biasa, kau memang yang terbaik,” katanya, sambil merangkul mesra lengan Dustin. Suara siulan pun saling bersahut-sahutan dari Charlos, Andre dan Thomas. Sedangkan Edmund hanya memasang wajah datar karena sudah biasa melihat sikap Renee yang berubah manja saat di dekat Dustin. Maupun Freya yang hanya memutar bola matanya, bosan. “Mulai deh nempel kayak perangko kalau di dekat Dustin,” cibir Edmund sambil mendengus keras. “Yee, iri bilang. Apa urusannya denganmu kalau aku nempel-nempel pada Dustin?” Renee menjulurkan lidahnya keluar, lalu semakin mengeratkan pelukannya pada lengan Dustin. Dustin tak menolak, sudah tak heran dengan sikap Renee yang memang seperti itu sejak dulu.  “Mumpung si cempreng Renee sedang nempel seperti perangko, ayo kita lanjut pertunjukannya!” ajak Charlos, yang langsung disambut meriah oleh yang lainnya. Freya dan Thomas bertepuk tangan dengan antusias, Dustin yang bersiul sedangkan Renee yang memicingkan mata tak suka karena Charlos baru saja ikut-ikutan mengejek suaranya.  Pertunjukan pun dimulai, dengan ketiga pria itu yang kembali memainkan alat musik mereka. Mereka bernyanyi bersama, menyanyikan lagu Muse yang berjudul Hysteria. Irama musik dan suara mereka bertiga terdengar senada. Para penonton bertepuk tangan, tampak puas dengan pertunjukan mereka kali ini. Ternyata benar, selama tidak ada Renee dalam kelompok mereka maka pertunjukan mereka akan sukses besar.  Suara tepuk tangan bergemuruh setelah lagu selesai, musik pun seketika berhenti mengalun. “Tuh kan, pertunjukan kita bagus kalau bukan Renee yang jadi penyanyinya.” Andre kembali mencibir Renee, membuat gadis itu menggeram kesal. “Berisik, Ed. Berhenti mengejekku atau kutusuk kau ....” Renee menggantung ucapannya, dia menelisik sekitar tampak mencari sesuatu. Cepat-cepat dia memungut salah satu ranting kering dari api unggun yang ujungnya sudah dilahap api. “ .... dengan ranting ini. Biar sekalian badanmu ikut terbakar,” tambahnya.  Alih-alih meledak dalam amarah, Edmund justru tertawa lantang mendengar ancaman Renee tersebut.  “Jangan ketawa, Ed. Aku serius!” teriak Renee, semakin geram. “Sudah, sudah, kalian sejak dulu selalu bertengkar.” Yang mengatakan ini dengan maksud melerai pertengkaran Edmund dan Renee adalah Dustin. Ternyata dua temannya itu tak berubah sejak dulu, tetap bagai kucing dan anjing setiap kali dipertemukan di tempat yang sama. Jika tidak cepat-cepat dihentikan, pertengkaran mereka tidak akan ada habis-habisnya.  “Benar, lebih baik kita lanjutkan bersenang-senang,” Charlos ikut menyahut. Matanya bergulir dan berhenti tepat pada Thomas dan Freya. “Bagaimana jika kita mendengar pertunjukan dari sepasang sejoli kita ini. Ayo, Thom, Frey ... giliran kalian yang menyanyi.”  Edmund, Andre dan Renee ikut menyuarakan hal yang sama dengan Charlos, meminta pasangan itu untuk bernyanyi bersama. Lain halnya dengan Dustin yang tiba-tiba terdiam dengan tatapannya yang tertuju sepenuhnya pada Freya yang sedang salah tingkah di depan sana.  “OK, kami akan menyanyi!” teriak Thomas penuh semangat. Dia menarik tangan Freya yang menolak untuk bernyanyi. Dipaksa seperti itu, akhirnya Freya tak memiliki pilihan selain menurut.  Charlos menyerahkan gitarnya pada Thomas. Beberapa detik kemudian, musik pun mengalun saat jari-jari tangan Thomas mulai memetik senar gitar. Freya menghela napas panjang sebelum suara merdunya ikut mengalun.  Seketika suasana sunyi karena semua orang tengah menikmati nyanyian Freya yang merdu. Lagu A Thousand Years yang dipilih gadis itu. Semua orang tampak menghayati lagu dan terbawa suasana, suara siulan demi siulan terdengar begitu Freya dan Thomas bernyanyi sambil saling memandang satu sama lain. Ya, semua orang tampak terpikat dengan penampilan sepasang sejoli yang memukau, namun tidak dengan satu orang. Alih-alih menikmati lagu, Dustin merasa hatinya begitu sakit menyaksikan kemesraan Freya dan Thomas.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD