CHAPTER 3

2009 Words
Malam semakin larut, udara semakin dingin terasa. Bahkan angin yang berembus serasa menusuk hingga ke tulang. Dustin dan teman-temannya masih belum beranjak dari tempat semula. Mereka tetap asyik berkumpul sambil mengelilingi api unggun. Kehangatan dari api setidaknya mampu sedikit menghalau rasa dingin. Tak ada lagi yang bernyanyi, mereka sudah puas menghibur diri dengan bermain musik dan bernyanyi. "Hei, bagaimana kalau kita melakukan sebuah permainan?" Edmund yang menyarankan, sukses membuat semua orang merasa penasaran dan bersemangat. "Permainan apa?" Dengan semringah, Renee menanggapi perkataan Edmund. "Permainan truth or dare,” jawab Edmund, yakin. Lalu mengambil botol kosong yang tergeletak tak jauh darinya. “Jadi begini, aku akan memutar botol ini sampai berhenti berputar. Orang yang ditunjuk oleh botol harus memilih antara jujur atau tantangan. Bagaimana menurut kalian?" "Ini permainan yang biasa, sering dilakukan oleh orang-orang. Tidak adakah permainan lain yang lebih menantang?" Charlos mengungkapkan kekecewaannya. Jika dilihat dari ekspresi wajah Thomas, Freya dan Renee, sepertinya bukan hanya Charlos yang merasa kecewa. "Untuk sekarang hanya permainan ini yang terpikirkan. Memangnya di antara kalian ada yang memiliki ide atau saran permainan lain yang lebih seru dan menantang?" Edmund menatap satu per satu wajah teman-temannya. Kali ini semua orang terdiam, sepertinya sedang berpikir. Memutar otak mereka untuk menemukan sebuah ide. "Aku pikir untuk sementara kita ikuti saja ajakan Edmund. Kita belum pernah mencoba permainan ini sebelumnya." "Tuh kan, Dustin saja setuju. Jadi, bagaimana? Kalian mau main tidak?" Renee, Freya, Andre, Charlos dan Thomas saling berpandangan satu sama lain hingga akhirnya sebuah kesepakatan didapatkan. Mereka dengan serempak mengangguk sebagai tanda bersedia memainkan permainan ini. "Oke. Kita mulai, ya? Aku akan memutar botolnya. Kita lihat botol ini memilih siapa."  Edmund memutar botol, semua pasang mata menatap dengan seksama ke arah botol yang sedang berputar-putar. Masing-masing berharap dalam hati agar botol itu tidak berhenti menunjuk ke arah mereka.  Botol itu mulai berputar dengan perlahan. Kemudian benar-benar berhenti dan bagian depan botol tepat menunjuk ke arah Renee. Renee mendesah kecewa, di saat bersamaan terlihat ekspresi lega di wajah yang lainnya. "Oke, Renee. Pilih jujur atau tantangan?" tanya Edmund, dengan seringaian tercetak jelas di wajahnya. Renee memutar bola mata, malas. "Benarkah aku harus memilih?" "Tentu saja karena beginilah permainannya." "Lalu bagaimana jika aku tidak mau memilih?" "Kau ini bagaimana? Kau tetap harus memilih. Kalau kau tidak mau memilih, lalu untuk apa tadi bersedia mengikuti permainan ini!" "Ya, ya, baiklah, Ed. Kau tidak perlu marah begitu, kan?" Renee terkekeh geli, melihat wajah cemberut Edmund membuatnya ingin tertawa. "Ini karena kau membuatku kesal. Jadi, cepatlah memilih." Renee kembali mengulur-ulur waktu, dia memasang pose berpikir keras sambil mengetuk-ngetukkan telunjuknya ke pelipis. "Hm, pilih apa, ya?” gumamnya, membuat semua orang gemas, “Aku pilih jujur."  Edmund tersenyum lebar, lega karena Renee akhirnya telah mengambil keputusan, "Siapa yang akan memberikan pertanyaan padanya?" tanyanya sembari menatap satu per satu wajah teman-temannya. "Aku. Aku yang akan bertanya padanya," Semua menoleh ke sumber suara yang pemiliknya tidak lain adalah Freya. "Boleh kan jika aku yang bertanya?" "Tentu saja boleh. Oke, berikan pertanyaanmu pada Renee," sahut Edmund, yang seketika membuat Freya tersenyum lebar. Renee meringis melihat respons Freya, dirinya mulai merasakan firasat buruk. "Renee, jawab pertanyaanku ini dengan jujur. Siapa cin ...." "Tu-Tunggu!" Freya menjeda ucapannya begitu mendengar suara Renee yang dengan tidak sopannya memotong. "Ada apa? Aku belum selesai bicara." "Benarkah aku harus menjawab pertanyaannya dengan jujur?" "Haduuh, Renee. Tentu saja kau harus menjawabnya dengan jujur," balas Edmund, jengkel karena Renee kembali berulah dengan pertanyaan-pertanyaan konyolnya. "Kalau aku bohong, apa yang akan kalian lakukan? Apa kalian akan memberiku hukuman?" Semua orang tampak mulai kesal mendengar perkataan Renee yang entah benar-benar tak tahu peraturan permainannya atau hanya berpura-pura demi meloloskan diri dari pertanyaan yang akan diajukan Freya.  "Kalau kau berniat berbohong, sudah jangan ikut permainan ini!" "I-Iya, iya, aku hanya bercanda, Ed. Kau galak sekali." Renee cengengesan, sangat puas karena sekali lagi berhasil menyulut emosi Edmund. "Kau dari tadi membuatku kesal, Re," balas Edmund, sembari menyentil kening Renee, spontan gadis itu pun mengaduh kesakitan. "Ya sudah, maaf.” Renee kembali terkekeh karena tatapan semua orang kini menunjukan betapa kesalnya mereka. Tatapan Renee kini tertuju pada Freya yang memasang raut datar karena masih kesal pertanyaannya tadi dipotong Renee, “Ayo, Freya. Tanyakan apa pun yang kau suka, aku pasti akan menjawabnya dengan jujur." "Benar, ya?” Renee mengangguk antusias. Freya menghela napas panjang, sifat Renee belum berubah ternyata, masih sama seperti ketika mereka masih kuliah, “Baiklah, aku mulai pertanyaannya,” Atensi semua orang tertuju pada Freya, sudah tak sabar ingin mendengar pertanyaannya untuk Renee. “Re, siapa cinta pertamamu?"  Charlos dan Andre terlihat berusaha menahan tawa. Sedangkan Thomas memasang wajah tercengang begitupun dengan Dustin. "Ayo, jawab, Re!!" desak Freya, tak sabar. Renee terlihat gugup dan panik, bisa dipastikan sedang kebingungan saat ini. "Kenapa kau menanyakan hal yang begitu pribadi?" "Aku ingat beberapa detik yang lalu kau mengatakan aku boleh menanyakan apa pun, kalian juga mendengarnya, kan?" Semua orang mengangguk dengan serempak menanggapi pertanyaan Freya, "Nah, kau lihat sendiri, kan? Semua orang setuju denganku. Sekarang, jawab dengan jujur pertanyaanku tadi." Renee semakin panik dan gugup. Dia juga terlihat salahtingkah membuat Edmund dan Andre semakin berjuang keras menahan tawa. Sedangkan Thomas dan Dustin semakin penasaran ingin mendengar jawaban Renee. "Kami menunggu, Re." "Kau cerewet sekali. Baiklah, aku akan menjawabnya,” Renee menggulirkan bola matanya, gelisah, “Ci-Cinta pertamaku adalah ... a...adalah ....” Renee memejamkan mata, kentara dia tak ingin melanjutkan. “Siapa?” mendengar semua orang dengan serempak menanyakan itu, Renee mendengus keras. Dia benar-benar kesal sekarang, merasa teman-temannya bekerja sama mengerjai dirinya, “ ... Dustin!" teriaknya, masih dengan mata terpejam. Semua orang terdiam dan tercengang mendengar jawaban Renee. Tentu saja orang yang paling tercengang adalah Dustin.  "Jadi, Dustin cinta pertamamu? Pantas saja kau selalu bersikap baik padanya," timpal Charlos, sembari tertawa. "Cieeeeee, Dustin. Kau harus menjawab pernyataan cinta dari Renee," Thomas ikut menggoda. "Dustin, kalau kau membuat Renee sakit hati aku tidak akan pernah memaafkanmu!!" Kali ini Andre yang berujar sok pahlawan. Seketika Dustin terlihat panik, gugup dan salahtingkah. Semua orang mengejek dan menertawakannya.  "Dustin memang cinta pertamaku tapi bukan berarti aku masih mencintainya." Pernyataan Renee ini telah sukses mengalihkan tatapan semua orang yang sejak tadi menatap ke arah Dustin, kini beralih menatap Renee. "Apa maksudmu?" tanya Freya, meminta penjelasan. "Dustin memang cinta pertamaku tapi itu cuma masa lalu, tentu saja aku memiliki cinta kedua, ketiga, keempat dan seterusnya." "Benarkah itu?" "Tentu saja, Freya. Aku sudah bilang kan akan mengatakannya dengan jujur. Sekarang kita lanjutkan permainannya." Tanpa meminta izin, Renee mengambil botol. Kali ini dia yang akan memutar botol. Semua orang kembali terlihat gugup dan cemas saat Renee memutarnya. Botol itu semakin memperlambat putarannya hingga benar-benar berhenti tepat menunjuk Dustin.  "Oke. Kali ini, Dustin. Nah Dustin, mau pilih yang mana? Jujur atau tantangan?" Edmund dengan tatapan mencurigakan mulai mendesak Dustin agar segera memberitahukan pilihannya. Dustin sangat kebingungan, namun mengingat kejadian naas yang menimpa Renee membuatnya meyakinkan diri untuk tidak memilih jujur, akhirnya dia pun telah mengambil keputusan bulat di dalam hatinya, "Aku pilih tantangan," katanya, yakin. "Hoo, baiklah. Aku yang akan memberikan tantangan padamu," Edmund terlihat begitu senang dan bersemangat. Hanya dengan melihat ekspresi nakal di wajahnya, Dustin sudah bisa menduga Edmund akan mengerjainya. "Dustin, kau harus mencium orang yang ada di sebelah kirimu!" ucap Edmund, dengan suara keras. Freya dan Renee meringis. Thomas dan Andre tertawa terbahak-bahak sedangkan Charlos hanya mampu tercengang mendengar tantangan yang diberikan Edmund untuk Dustin.  "A-Apa kau bilang? Mencium?" Dustin bergumam, tak percaya. "Yupz. Kau harus menciumnya di bibir ya. Ayo, cium orang di sebelah kirimu." Dustin secara perlahan menoleh ke samping kiri dan dia tidak sanggup membayangkan harus mencium orang yang berada di samping kirinya yang tidak lain adalah Charlos. "Ed, kau boleh mengerjaiku tapi jangan keterlaluan seperti ini," protes Dustin, tak terima harus berciuman dengan sesama pria. "Kau memilih tantangan, ingat? Kau harus melakukannya kalau tidak kau akan dicap sebagai pengecut dan tidak punya nyali." Sejujurnya Dustin tidak bisa menyetujui hal ini, di saat yang bersamaan dia pun tidak ingin dicap sebagai pengecut. Karena itu, dengan terpaksa dia memenuhi tantangan dari Edmund. Dia menatap Charlos dengan tajam dan mulai mendekatkan wajahnya pada wajah Charlos.  "Kyaaaaaaaaaaa!” Renee berteriak histeris. “Serius kalian akan berciuman?" Freya tak kalah syoknya melihat pemandangan menjijikkan itu. "Iyaaaakh!” “Sangat menjijikkan!" Kali ini Andre dan Thomaslah yang secara serempak memasang ekspresi jijik di wajah mereka. "Tu-Tunggu, Dust. Aku tidak mau. Jangan melakukan hal gila seperti ini. Aku tidak sudi berciuman denganmu!" Charlos bermaksud untuk berdiri dan berlari sejauh-jauhnya dari Dustin. Tapi Dustin dengan kuat memegang tangannya dan menariknya agar tetap diam di tempat. Dustin memegang kepala Charlos. Pria malang itu terlihat sangat ketakutan. "Dust, aku mohon jangan lakukan ini," pinta Charlos seraya berusaha melepaskan tangan Dustin dari kepalanya. Dia mati-matian berusaha menjauhkan diri. Dustin mengabaikan permohonan Charlos, dia tetap mendekatkan wajahnya. "Tidak. Tidaaaaaaaaaak...!!" Bersamaan dengan teriakan Charlos yang panjang, kencang dan membahana, bibir Dustin telah menempel tepat di kening Charlos. "Bibir. Harusnya kau menciumnya di bibir, bukan di kening?" Dustin tampak sangat kesal mendengar ucapan Edmund. Dengan nada suara menahan jengkel, Dustin menimpali, "Bagaimana kalau aku menciummu saja, Ed? Apa kau mau kita berciuman?" Edmund menegang di tempat, kepalanya menggeleng berulang kali, "A-Aku rasa tidak ...." "Aku tidak keberatan berciuman denganmu, Ed." Dustin berjalan mendekati Edmund yang duduk cukup jauh darinya. Kali ini Edmundlah yang terlihat ketakutan dan panik, "Tidak, tidak, baiklah. Aku tidak akan mempermasalahkan ini. Kau lolos. Kau berhasil memenuhi tantanganku, Dust." Dustin menyeringai lebar, "Hm. Baguslah kalau begitu." Dustin mengurungkan niatnya mendekati Edmund dan kembali duduk di samping Charlos.  "Oke. Kita lanjutkan permainannya. Kalian siap!" Dustinlah yang kali ini memutar botol. Botol itu tidak berputar terlalu lama, berhenti tepat menunjuk pada Freya. "A-Apa? Jadi, sekarang giliranku?" tanya Freya, dengan mata terbelalak sambil menunjuk dirinya sendiri. "Ya. Dan aku yang kali ini akan bertanya padamu,” Seringaian di wajah Renee menyiratkan sebuah rencana jahat untuk balas dendam, Freya panik luar biasa. “Nah Freya, kau pilih jujur atau tantangan?" tanya Renee, sambil menaik- turunkan kedua alisnya, jahil. "Ayo jawab, Freya!" desak Renee, karena Freya masih diam membisu dengan wajah mulai memucat. "Ta-Tantangan. Aku pilih tantangan," jawab Freya, tegas. "Hm, baiklah. Sebentar aku pikir-pikir dulu tantangannya, ya." Renee memasang ekspresi sedang berpikir keras, menopang dagu dengan satu tangan disertai tatapan yang menerawang ke atas langit. "Jangan kelamaan dong, tinggal memikirkan tantangan saja, kan?" "Kau ini sejak tadi cerewet, Ed. Membuatku kesal saja." "Justru aku kesal sekali melihat kelambatanmu." "Apa kau bilang?" Yang terjadi justru Renee dan Edmund terlibat perselisihan. Untunglah Dustin segera melerai mereka berdua. Situasi pun kembali aman dan terkendali.  "Bagaimana, Re? Sudah menentukan tantangan untuk Freya?” tanya Dustin. "Iya, aku rasa sudah ...." "Baiklah. Katakan tantangannya ...." potong Freya, gemas sendiri karena Renee terlalu lama berpikir. "Eheeem, Freya. Tantangan untukmu adalah kau harus berdansa yang mesra dengan orang yang duduk di urutan ketiga di sebelah kananmu." Freya mengernyitkan dahi, "Tantangan macam apa ini?" "Ini lebih ringan dibandingkan kau disuruh untuk mencium seseorang. Atau apa kau ingin aku merubah tantangannya?" "Ti-Tidak. Oke, aku terima tantangannya. Orang ketiga di sebelah kananku, kan?" Renee mengangguk disertai senyum hingga kedua matanya menyipit, "Betul sekali," ujarnya.  Freya menghitung orang yang duduk di sebelah kanannya, dan betapa leganya dia ketika mengetahui orang yang berada di urutan ketiga yang duduk di sebelah kanannya adalah Dustin. Freya mungkin merasa lega tapi berbeda dengan Dustin, seketika pria itu merasa sangat gugup dan panik. Freya bangun dari posisi duduknya dan berjalan menghampiri Dustin. Setelah itu, dia mengulurkan tangan kanan pada Dustin, "Ayo, kita berdansa!" ajaknya. Untuk sesaat mereka saling berpandangan dalam diam. Kemudian Dustin dengan perlahan mengangkat tangan kanannya lantas menerima uluran tangan Freya. Kini mereka pun berpegangan tangan. Mereka berjalan ke tengah mendekati api unggun. Sesuai dengan tantangan yang diberikan Renee, Freya secara perlahan menggerakkan tubuhnya mengajak Dustin untuk berdansa. Dustin tentu saja merespons gerakan Freya sehingga mereka berdua benar-benar berdansa. Charlos yang antusias melihat mereka pun mulai menyalakan salah satu lagu romantis dari ponselnya. Andre dan Edmund bersiul saling bersahut-sahutan menggoda mereka. Renee tersenyum tipis sedangkan Thomas hanya menatap datar pemandangan itu. Tubuh Dustin dan Freya nyaris menempel karena tak ada jarak yang menghalangi, membuat jantung Dustin berdetak cepat bagaikan sedang mengikuti lari maraton. Dustin bahkan sempat khawatir Freya akan mendengar suara detak jantungnya.  Setelah sekian lama, akhirnya Dustin bisa berdekatan dengan gadis yang begitu dicintainya. Tidak dapat dimungkiri betapa bahagianya Dustin malam ini. Dinginnya angin tak lagi dipedulikan dua insan yang tengah berdansa dengan posisi intim ini. Seolah dunia milik berdua, mereka tetap menempelkan tubuh sambil bergerak seiring alunan musik. Suara siulan dan sorak-sorai teman-temannya seolah masuk telinga kanan dan keluar melalui telinga kiri, sama sekali tak mereka pedulikan. Dan mungkin saking menghayati gerakan dansa, baik Freya maupun Dustin tak menyadari sosok Renee yang mendengus sambil tersenyum tipis penuh makna, serta Thomas yang mulai menatap tajam pada mereka karena hatinya terbakar api cemburu. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD