CHAPTER 4

2197 Words
Dustin menatap satu per satu wajah teman-temannya, mereka terlihat berbeda dibandingkan penampilan mereka di masa lalu. Begitupun dengan Freya, dia terlihat semakin cantik dan menawan di mata Dustin.  "Oh iya, Dustin. Apa kau sudah memiliki kekasih sekarang?" Dustin tersentak dari lamunannya ketika Thomas tiba-tiba menanyakan itu. "Tidak. Aku belum berpikir untuk berpacaran," jawabnya. "Jangan seperti itu. Kau pasti akan merasa lebih bahagia jika sudah memiliki kekasih, seperti aku dan Freya. Benar, kan, sayang?" Thomas memeluk Freya dari belakang. Perbuatannya ini tentu saja membuat Dustin sangat kesal. Tidak dapat dimungkiri betapa Dustin sangat cemburu. "Benar. Kau harus mencoba untuk berpacaran, Dust. Sampai kapan kau akan menyendiri seperti ini?" sahut Freya. Tanpa gadis itu ketahui ucapannya telah sukses membuat hati Dustin semakin kesal. Dustin kini mengerti bahwa Freya tidak memiliki perasaan khusus padanya selain menganggapnya sebagai sahabat. Menyesal pun sudah tidak ada gunanya lagi. Freya dan Thomas terlihat saling mencintai. Mereka juga pasangan yang sangat serasi. Thomas, pria yang tampan dan cerdas. Dia cukup populer ketika kuliah dulu. Ketampanannya itu cukup mengimbangi kecantikan Freya. Ya, Dustin mengakui mereka pasangan yang sempurna meskipun jauh di dalam hatinya, Dustin merasakan kemarahan dan kecemburuan yang amat besar.  Dustin dan Freya sudah bersahabat sejak mereka duduk di bangku SMP. Dulu mereka amat dekat hingga tidak malu lagi untuk menceritakan apa pun. Dustin bahkan mengingatnya dengan jelas, ketika dulu mereka mengikrarkan janji bahwa di antara mereka tidak boleh ada rahasia. Akan tetapi, Dustin mengingkari janji itu. Dia merahasiakan sesuatu yang amat besar dari Freya. Perasaan cintanya pada gadis itulah yang dia rahasiakan. Bukan hanya pada Freya bahkan Dustin merahasiakan hal ini dari semua temannya.  Ketika Dustin dan Freya duduk di bangku Universitas. Mereka membentuk kelompok yang beranggotakan; Thomas, Charlos, Edmund, Andre, Renee dan Jerry. Mereka berdelapan selalu bersama-sama, sangat dekat hingga setiap bulan mengadakan acara untuk berkumpul bersama. Salah satunya dengan berkemah di tempat ini seperti yang sedang mereka lakukan. Saat itulah, Freya dan Thomas mulai dekat. Bahkan tanpa sepengetahuan Dustin, mereka menjalin hubungan asmara. Dustin baru mengetahuinya ketika hari pelulusan. Freya dengan malu-malu menceritakan mengenai hubungannya dengan Thomas. Tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata bagaimana sakitnya hati Dustin saat itu. Pada awalnya, Dustin berencana akan mengutarakan perasaannya setelah acara wisuda itu. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Dustin harus menyesali ketidakberaniannya. Kini dia sudah terlambat, Freya dan Thomas sudah bersama. Mereka terlihat saling menyayangi dan mencintai. Tidak ada waktu bagi Dustin untuk menyesali semuanya karena penyesalan tidak akan merubah apa pun. Itulah yang menjadi alasan Dustin memutuskan untuk mengubur perasaan cintanya pada Freya sedalam mungkin. Selama dua tahun, dia tidak pernah menghubungi teman-temannya. Tapi, sekali lagi kenyataan yang dialami Dustin sungguh di luar perkiraannya. Sekeras apa pun berusaha, dia tidak bisa melupakan Freya. Dia bahkan merasa sangat kesepian tanpa Freya dan teman-temannya. Sakit hati yang dulu dirasakannya, kini kembali dia rasakan saat tepat di depan matanya melihat Freya dan Thomas bermesraan. Dustin tidak sanggup lagi menatap mereka terlalu lama, karena itu dia mengalihkan tatapannya ke arah teman-temannya yang sedang melakukan aktivitas masing-masing. Tiba-tiba sebuah pemikiran pun terlintas di benak Dustin, "Oh iya, aku tidak melihat Jerry. Dia tidak datang padahal aku sudah menghubunginya dan mengajaknya datang kemari. Apa kalian mengetahui bagaimana kabar Jerry sekarang?" Secara serempak mereka menghentikan aktivitas dan beralih menatap ke arah Dustin. Tentu saja hal itu membuat Dustin heran karena beberapa menit lamanya tak ada yang mau bersuara. "Kenapa? Kenapa kalian menatapku seperti itu? Apa ada yang salah dengan pertanyaanku?" "Jadi, kau benar-benar tidak tahu apa-apa tentang Jerry?" tanya Andre, Dustin mengerutkan alisnya. "Tentu saja tidak, Ndre. Kalau aku mengetahuinya untuk apa aku menanyakannya?" "Jerry ... dia menghilang." "Jadi, bukan hanya aku saja yang menghilang? Jerry juga ikut-ikutan menghilang." Dustin tertawa, merasa obrolan mereka hanyalah hal yang biasa. Dia tidak mencurigai apa pun. "Jerry berbeda denganmu, Dust. Kau tahu sendiri kan sejak dulu dia itu pendiam? Dia juga orang yang sangat aneh." Renee menimpali. Untuk sesaat, suasana tiba-tiba menjadi hening. Tidak ada seorang pun yang mengeluarkan suara. Hal ini tentu saja semakin membuat Dustin terheran-heran, "Sebenarnya, apa yang terjadi pada Jerry?" Mereka masih tetap diam. Kekesalan Dustin mulai naik ke permukaan, "Hei, kalian. Jawab dong!" "Je-Jerry, dia sakit ... dia sakit jiwa, itulah sebabnya dirawat di rumah sakit jiwa tapi dia melarikan diri dan sampai sekarang tidak ada seorang pun yang mengetahui keberadaannya." Reneelah yang kembali menanggapi pertanyaan Dustin. "Gila? Bagaimana mungkin Jerry bisa jadi gila?" Dustin masih sulit mempercayai berita ini. "Kau tahu sendiri kan kalau sejak dulu Jerry itu aneh?" tanya Charlos. "Dia sama sekali tidak aneh, dia hanya pendiam dan tidak suka banyak bicara tapi bukan berarti dia gila." "Kau mengatakan ini karena tidak melihatnya sendiri. Jerry sering teriak-teriak tanpa sebab, dia juga membawa-bawa pisau. Bahkan ketika kami menjenguknya, dia nyaris menusuk Thomas dengan pisau." Perkataan Andre itu tentu saja membuat Dustin terbelalak kaget, "Jerry nyaris menusuk Thomas? Benarkah itu, Thom?" "Ya, begitulah,” jawab Thomas, tanpa keraguan, “Aku juga sangat terkejut dan tidak menyangka dia ingin membunuhku. Untunglah dia berhasil dihentikan. Jika tidak, mungkin sekarang aku sudah mati. Seperti yang dikatakan Andre, tidak ada seorang pun yang mengetahui dimana Jerry berada. Tapi berhati-hatilah, bisa saja dia tiba-tiba muncul. Dia melarikan diri sambil membawa pisau, jadi tidak menutup kemungkinan dia akan menyakiti orang lain dengan menggunakan pisau itu. Dan kita yang merupakan teman baiknya harus lebih berhati-hati, bisa saja dia mendatangi kita." Suasana berubah menjadi sunyi. Semua orang terdiam dengan tatapan menyiratkan kecemasan dan ketakutan. Ya, cerita mengenai Jerry ini telah membuat suasana menyenangkan berubah menjadi mencekam.         "Hai, teman-teman. Ini sudah malam, sudah saatnya kita untuk tidur. Besok pagi kita harus membereskan tendanya dan pulang ke rumah masing-masing," ucap Dustin, memecah kesunyian. Selain itu, waktu memang nyaris menyentuh angka jam sebelas malam saat ini.            "Ya, kau benar, Dust. Tidak terasa waktu cepat sekali berlalu, ya? Kita harus istirahat.” Thomas menyatujui ajakan Dustin, “Selamat istirahat semuanya," pamitnya, sebelum melangkah memasuki tenda. Yang lainnya pun ikut menyusul Thomas, memasuki tenda. Para pria memasuki tenda khusus untuk mereka, begitu pun dengan Freya dan Renee yang masuk ke tenda yang didirikan khusus untuk mereka berdua.            Malam semakin larut, udara di bawah pegunungan itu terasa begitu dingin. Dustin dan teman-temannya tidur dengan pulas. Namun, tidak demikian dengan Edmund. Dia terbangun dan melirik ke arah teman-temannya yang sedang tertidur pulas. "Kenapa tengah malam begini malah sakit perut? Perut ini benar-benar tidak bisa diajak kerjasama," umpatnya, kesal pada perutnya yang tiba-tiba melilit.            Edmund memberanikan diri keluar seorang diri dari tenda. Suasana terasa begitu sepi, tentu saja karena semua orang sedang tertidur dengan pulas. Yang membuat suasana semakin terasa menyeramkan karena terdengar suara lolongan anjing yang saling bersahut-sahutan. Lolongan anjing itu terus terdengar membuat Edmund merasa enggan untuk meninggalkan tenda. Akan tetapi, rasa sakit pada perutnya yang semakin menjadi, akhirnya dia memberanikan diri untuk pergi meninggalkan tenda. Mengabaikan rasa takutnya, Edmund terus melangkah dengan penerangan yang hanya berasal dari senter yang dia pegang. Tujuannya sekarang adalah sungai yang berada tidak jauh dari tempat kemah. Sungai yang cukup dekat itu, entah mengapa rasanya begitu jauh bagi Edmund.            Setibanya di sungai, Edmund segera melaksanakan aktivitasnya secepat mungkin. Yang ada di pikiran Edmund saat ini hanyalah bisa kembali ke tenda secepatnya. Edmund mengembuskan napas lega ketika aktivitas buang air besarnya itu selesai. Dia kembali berjalan meninggalkan sungai menuju ke tenda. Namun, tiba-tiba sekelilingnya menjadi gelap gulita, senter yang sejak tadi menerangi jalan kini tidak bisa menyala. Mungkin karena batereinya habis.             "Kenapa harus habis di saat seperti ini sih? Menyebalkan sekali!" Edmund bergumam seorang diri dengan diiringi kekesalan yang amat besar di dalam hatinya. Edmund tidak memiliki pilihan selain tetap meneruskan perjalanannya menuju tenda.            Buuuuuuk!!            Secara tiba-tiba sebuah pukulan yang cukup keras dirasakan oleh Edmund dari arah belakang. Pukulan itu tepat mengenai belakang kepalanya, Edmund pun kehilangan kesadaran dan tubuhnya tumbang di tanah.   ***   Edmund tersadar dan membuka kedua matanya dengan perlahan. Pemandangan yang dilihatnya sangat asing dan sukses membuatnya terbelalak. Dia sedang berada di sebuah ruangan yang belum pernah dia datangi sebelumnya. Banyak tertempel gambar-gambar menyeramkan di dinding juga beberapa senjata tajam. Edmund menatap satu per satu gambar, dia pun menyadari satu kesamaan dari gambar-gambar itu. Gambar-gambar itu memperlihatkan penderitaan orang-orang yang sedang mengalami penyiksaan. Tubuh mereka berlumuran darah bahkan salah satu gambar memperlihatkan tubuh seseorang yang babak belur dengan usus-usus di dalam perutnya terburai keluar. Hanya dengan melihat gambar itu membuat Edmund merasa mual dan ingin muntah. Sebuah pemikiran pun terlintas di benak Edmund, bagaimana bisa dia berada di ruangan ini? Yang bisa Edmund ingat hanyalah seseorang memukul kepalanya ketika dia sedang berjalan menuju tenda setelah buang air besar di sungai. Lalu yang jadi pertanyaannya, siapa orang yang telah memukul dan membawanya ke tempat ini?            Edmund berjalan mendekati pintu, tentu saja bermaksud meninggalkan ruangan. Akan tetapi, pintu itu terkunci. Edmund mencoba mencari benda apa pun yang bisa membantunya untuk membuka pintu. Edmund menatap sekeliling hingga tatapannya tertuju pada sebuah lemari yang berada di pojok kanan di dalam ruangan sempit itu. Edmund menghampiri lemari dan membukanya. Namun, pemandangan yang berada dalam lemari sekali lagi membuat Edmund merasa mual dan ingin muntah. Banyak botol-botol besar tersimpan rapi di sana. Yang membuat Edmund merasa mual adalah benda yang berada di dalam botol itu. Meskipun hanya melihatnya sekilas, Edmund menyadari bahwa benda itu adalah bola mata manusia. Bola mata yang mengambang di dalam genangan darah. Aromanya pun sangat menyengat. Selain itu, terdapat benda-benda tajam seperti pisau bedah, golok, gunting dan gergaji. Melihat hal ini, Edmund pun menyadari bahwa tempat dimana dirinya berada, sangatlah berbahaya.            Edmund berusaha mati-matian untuk keluar dari ruangan. Dia bahkan nekat memecahkan kaca jendela dan melarikan diri. Kaki Edmund tergores pecahan kaca saat melompati jendela, darahnya mengalir dari luka goresan yang cukup panjang dan dalam itu. Edmund merintih kesakitan sambil memegangi lukanya, tapi dia menyadari saat ini bukanlah waktu untuk bersikap manja, melainkan harus dimanfaatkan sebaik mungkin untuk kembali ke tenda dan memberitahukan hal ini pada teman-temannya. Tempat ini sangat berbahaya dan Edmund memutuskan untuk segera mengajak teman-temannya pergi secepat mungkin.    Edmund berlari dengan menyeret satu kakinya yang terluka. Cukup dengan rasa sakitnya, Edmund menyadari luka di kakinya cukup dalam dan parah. Tetapi, sekali lagi ketidakberuntungan menimpa Edmund. Tiba-tiba dia merasakan sakit yang amat sangat di bagian punggung karena sesuatu telah menusuk punggungnya. Rupanya sebuah pisau menancap dalam di punggungnya. Edmund tumbang dalam posisi menelungkup di tanah. Tak lama berselang, dia merasakan seseorang menindihnya. Meskipun Edmund tidak bisa melihatnya, dia menerka seseorang sedang duduk di punggungnya dan sedang memegang pisau yang menancap di sana. Orang itu memutar-mutar pisau yang menusuk di punggung Edmund, membuat pria malang itu semakin kesakitan hingga tanpa sadar menjerit kencang.        "Waaaaaa, hentikan! Hentikan!!" Edmund tidak pernah merasakan sakit sebesar ini sebelumnya. Orang itu mencabut pisau yang menusuk di punggung Edmund dengan sekali tarikan sehingga darahnya memuncrat kemana-mana. Seketika Edmund tidak berdaya, tubuhnya terasa lemas dan tidak mampu melakukan perlawanan apa pun. Pandangan Edmund mulai buram tapi rasa sakit pada luka-lukanya masih bisa dia rasakan dengan jelas. Orang itu memegang kaki Edmund dan menyeret tubuhnya.            Edmund dibawa ke dalam ruangan tadi dan diperlakukan dengan sangat tidak manusiawi oleh orang itu. Edmund diikat dengan kedua tangannya yang digantung menggunakan tali. Darah yang tidak berhenti mengalir dari luka di punggung dan kakinya, membuat penglihatan Edmund semakin buram. Dia mencoba menengadahkan kepala untuk menatap orang yang telah melakukan hal kejam ini kepadanya. Orang itu mengenakan pakaian serba hitam, namun wajahnya tidak bisa Edmund lihat dengan jelas karena mengenakan topeng.            Orang itu duduk di sebuah kursi dan membelakangi Edmund. Edmund hampir tidak sanggup lagi menahan rasa sakit yang dirasakannya. Tubuhnya pun semakin lemas karena kehilangan banyak darah. "To ... tolong ... le pas kan a ku ..." pintanya, dengan suara lirih.            Orang itu bangkit berdiri dan berjalan menghampiri Edmund sambil melepaskan topeng yang menutupi wajahnya. Dari jarak yang cukup dekat, Edmund bisa melihat dengan jelas wajahnya. Edmund terbelalak saking terkejutnya ketika menatap wajah orang itu, "K-Kau ...."            Belum sempat melanjutkan ucapannya, Edmund kembali merasakan sakit yang tiada tara saat mata kanannya ditusuk dengan pisau oleh orang itu, "Waaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!" teriaknya, kencang sekali.           Dengan sadisnya seakan-akan tidak memiliki hati nurani, orang itu mencabut pisau yang menancap di mata kanan Edmund dan beralih dengan mencungkil mata kirinya. Edmund tidak henti-hentinya berteriak kesakitan. Semakin keras Edmund berteriak, semakin kejam yang dilakukan oleh orang itu. "K-Kenapa kau melakukan Ini?" Edmund bertanya tetapi pria itu mengabaikannya. Orang itu akan kembali melakukan penyiksaan pada Edmund. Dia berjalan ke meja dan menaruh pisaunya. Kemudian beralih mengambil golok yang berada di atas meja.            Dia kembali menghampiri Edmund. Tanpa belas kasihan mengiris pergelangan tangan Edmund. Teriakan kencang Edmund kembali terdengar memilukan. Sayangnya sama sekali tidak membuat hati orang itu tersentuh. Justru sebaliknya, teriakan keras Edmund semakin membuatnya senang dan bersemangat untuk menyiksa Edmund.            "Bunuh aku. Aku sudah tidak kuat lagi," pinta Edmund, dirinya sudah putus asa dan pasrah sekalipun harus mati di tangan pria itu.            Orang itu mengabulkan permintaan Edmund, dengan sekuat tenaga  mengayunkan goloknya dan tepat mengenai leher Edmund. Bertubi-tubi dia menebas leher Edmund dengan golok sehingga kepala Edmund pun menggelinding ke lantai. Kali ini tentu saja Edmund tidak sanggup lagi untuk berteriak karena telah kehilangan nyawanya.            Pembunuh sadis itu mengambil kepala Edmund yang tergeletak di lantai. Dia mengangkat dan menatapnya. Tawa riang orang itu terdengar membahana di dalam ruangan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD