PANIK

2088 Words
Kamu itu penting di mata orang lain. Mungkin bukan oleh orang yang kamu inginkan, tetapi tetap bersyukurlah untuk itu. Siang sudah berganti menjadi malam. Sinar matahari sudah hilang sejak dua jam lalu, digantikan dengan terang bulan yang menyinari gelapnya malam. Suara teriakan yang sahut-menyahut jelas masih bisa didengar oleh siapa saja yang berada di tanah lapang itu. Di saat yang lain sudah bersiap untuk beristirahat, mulai mencuci muka, dan melakukan ritual malam lainnya. Kiara malah duduk diam sembari memperhatikan gawainya yang sampai saat ini tidak mendapatkan notifikasi apa-apa, karena memang tidak ada sinyal di sini. Sepertinya kesialan benar-benar sedang meliputi dirinya. Awalnya, Kiara berpikir, jam segini ia sudah bisa tidur nyenyak di hotel. Tetapi ternyata, pemikirannya itu sama sekali tidak terjadi. Setelah menempuh perjalanan yang hampir lima jam itu, dan membuat bokongnya benar-benar mati rasa, Kiara berharap ia bisa beristirahat dengan tenang. Tetapi, lagi-lagi hal itu harus disayangkan. Hotel yang ada di bayangannya, dengan yang ada di kenyataan saat ini jauh berbeda. Karena saat ini, ia berada di sebuah tanah lapang yang luas, dengan banyak tenda yang berada di atasnya, membuat sebuah lingkaran yang di bagian tengahnya ada tempat untuk api unggun. Entah harus merutuk pada siapa lagi, tetapi yang pasti, Kiara ingin pulang saat ini juga. Kekesalannya sudah benar-benar tidak bisa ditoleransi oleh dirinya sendiri. Kiara bukan tidak bisa menjadi orang yang sederhana, bukan tidak bisa menikmati kehidupan biasa yang hanya berbicara bersama orang sekitar, dan menikmati setiap kejadiaan saat ini. Tetapi masalahnya, dari awal pun ia sudah menyampaikan, tidak ada teman di sini. Tidak ada Asya ataupun Madeline. Yang ada malah Alyssa yang tidak berhenti mengganggunya, sampai ia harus kabur-kaburan, untuk menghindari adik kelasnya itu. Jadi sampai saat ini, tidak ada alasan yang membuatnya ingin bertahan di sini. Sami? Dari awal kesampaian mereka pun, cowok itu sudah meninggalkannya dengan alasan, ada yang harus diurus. Bahkan, cowok itu tidak memikirkan apa yang sedang Kiara keluhi saat ini. Kiara menatap pada tendanya yang sudah berkali-kali menunjukkan kehadiran Alyssa di sana. Bayangkan saja, ia sudah malas setengah mati dengan Alyssa, tetapi cewek itu malah meminta untuk satu tenda dengannya. Mungkin bila Alyssa saja, Kiara masih bisa terima. Tetapi kenyataanya, teman-teman cewek itu juga ikut satu tenda dengan Kiara. Sejujurnya, Kiara tidak pernah mengikuti acara yang disebut camping, seperti yang dilakukannya saat ini. Kenapa? Karena jawabannya satu, Kiara itu takut dengan gelap. Sampai saat ini, ia masih berpikir, haruskan ia melawan ketakutannya malam ini? Tetapi masalahnya, setiap tidur dalam kegelapan, tidak pernah sekali pun Kiara tidak bermimpi buruk. Mungkin alasannya tidak penting. Tetapi kenyataannya, bermimpi buruk itu sangat tidak enak. Ia tidak bisa bangun sesuai kemauannya, tidak bisa sadar seketika untuk menyadarkannya kalau itu semua hanya mimpi. "Ra?" Merasa namanya terpanggil. Ia menoleh dan mendapati Sami yang berdiri di sampingnya. Tetapi kedua matanya tidak menatap ke arah cowok itu lama, karena ia kemudian menatap pada cowok lainnya yang sedang berjalan mendekat ke arahnya. Salah. Ke arah Sami, maksudnya. "Lo gak siap-siap tidur?" tanya Sami heran. Ia duduk di samping Kiara, sembari menyantap mi gelas yang berada di tangannya. Kiara mengalihkan pandangannya, kemudian menggeleng. "Loh, Ra?" Tanpa menoleh pun, Kiara sudah tahu jelas itu suara Ben. Bahkan suara cowok itu sudah sangat membosankan di telinganya. Kalau seperti ini, Kiara jadi risih sendiri. Di kelilingi cowok-cowok secara tiba-tiba, dengan dirinya yang hanya cewek, jelas membuat ketidak nyamanan baginya. "Gak tidur?" Gilang, cowok itu ikut bertanya. Kemudian, ia mendudukkan tubuhnya di sisi Kiara. Jadi posisi Kiara sekarang adalah terapit oleh dua ketua angkatan yang jelas disegani anak-anak Angkasa. Sedangkan Rayn, si ketua angkatan satu lagi, cowok itu memilih untuk berdiri menyender pada kusen pintu aula, tempat di mana Kiara berada sekarang. "Lo gak dingin?" Sami kembali bertanya, setelah memperhatikan Kiara hanya memakai kaos berlengan pendek dan celana panjang santai itu. Bagi Sami, malam di Bandung jelas selalu dingin. Teman-temannya yang lain juga memakai jaket mereka untuk melindungi kulit dari terpaan angin. Tetapi Kiara, cewek itu malah seperti tinggal di Jakarta, santai dengan pakaiannya, seolah tidak ada angin yang mau masuk ke dalam tubuhya. Kiara lagi-lagi menggeleng. Pikirannya melayang, berpikir, bisakah malam ini cowok-cowok itu begadang menemaninya? Egois? Tetapi nyatanya, Kiara benar-benar tidak tahu harus berbuat apa lagi. "Rara!" Suara melengking yang berbeda dari suara cowok pada umumnya, membuat Kiara menoleh, dan menemukan Alyssa sedang berdiri dengan senyuman lebar cewek itu. "Ayo, tidur!" ajak cewek itu semangat. "Tuh, sana!" Sami ikut mendorong Kiara, supaya cewek itu bangkit. Tetapi yang Kiara lakukan hanyalah tersenyum kikuk. Bingung juga harus apa. Menolak, tetapi tidak enak. Menerima, tetapi nanti ia sengsara. "Duluan aja, Ca. Dia masih mau di sini." Rayn bersuara dengan tenang. Cowok itu tersenyum manis, kemudian mendekati Alyssa. "Jangan lupa baca doa ya, selamat tidur." Kiara mendengus. Betapa menggelikannya kelakuan adik sepupunya itu. Ah, tetapi kalau Kiara punya pacar pun, pasti ia juga senang bila diperlakukan seperti Alyssa. "Ya udah." Alyssa mengangguk. Ia kembali melempar tatapannya pada Kiara. "Duluan ya, Ra! Nanti gue sisain tempat buat lo." Kiara mengangguk. "Kamu gak mau tidur?" Ben melempar pertanyaan pada Kiara, setelah Alyssa hilang di antara mereka. Kiara diam. Belum terpikir juga jawabannya. Mengantuk, sih jelas. Sangat, malah. "Bro, gue balik ke tenda duluan ya." Aldo berucap, sembari menepuk pelan bahu Ben. "Capek, mau tidur," lanjutnya. Ben langsung mengangguk. Tidak hanya Aldo yang berpamitan, tetapi tiga cowok lainnya yang berada di belakang cowok itu juga ikut berpamitan. "Mau gak, Ra?" Sami bertanya, sembari menyodorkan mi gelas miliknya. "Mau, tapi kuahnya aja." Ben berdecak. "Aku pikir kamu kehilangan suara!" cibirnya kesal, mengingat sedari tadi Kiara tidak mengeluarkan suaranya. "Kok belum tidur?" Gilang kembali bertanya, sembari melipat kedua tangannya, untuk mengurangi dinginnya malam di Bandung kali ini. "Belum ngantuk." Kiara beralibi. Ia tidak mau menyusahkan orang lain, akan ketakutannya. Dan dalam pikirannya, pasti orang lain akan bersikap biasa saja padanya, bila ia menjawab seperti itu. "Sam, temenin gue ngecek oli motor gue dong!" Sami menoleh pada Rayn yang sudah menunggunya untuk mengiyakan permintaan Rayn. Dan benar, Sami mengangguk. "Cabut bentar ya," pamitnya. Waktu yang semakin malam seharusnya membuat Kiara semakin kedinginan. Tetapi baginya, malam ini adalah pengecualian. Karena, dengan adanya terpaan angin di kulitnya, membuatnya merasa aman dan memiliki teman di tempat seperti ini. "Lang!" Ben memanggil Gilang dengan nada paniknya, Tetapi perhatiannya tetap fokus pada gawainya. "Radika sama Aldo berantem!" lanjutnya, kemudian menatap panik Gilang. Berbeda dengan Kiara yang menatap heran pada Ben. Cowok itu baru saja mendapatkan pesan dari gawainya. Kenapa bisa? Kenapa Kiara tidak mendapat sinyal sama sekali di sini? Gilang berdecak. "Samperin!" suruh Gilang. "Gue nemenin Rara." "Eh? Gak usah! Aku sendiri aja!" tolak Kiara cepat. Masa iya dalam keadaan genting seperti ini, Kiara masih mau egois? Gilang menggeleng. "Ben bisa ngatasin," balasnya. Berbeda dengan Gilang yang menyiratkan kepercayaan dirinya, Ben malah menatap galak cowok itu. "Sejak kapan Aldo bisa diademin kalau gak sama lo doang!?" tanyanya galak. Kiara mendorong bahu Gilang. "Udah sana! Temen sendiri berantem, bukannya dibantuin!" omelnya. Gilang lagi-lagi berdecak. "Masuk tenda ya! Jangan nyari masalah!" tegas Gilang yang langsung dibalas anggukan Kiara. Ben juga ikut menatap pada Kiara. "Jangan aneh-aneh ya, Ra!" ancamnya dengan tatapan galaknya. "Iya, bawel!" Setelahnya, dua cowok itu pergi dari hadapan Kiara. Kiara berdecak, tadi, Gilang tidak mau ikut. Tetapi setelah Kiara mendorongnya, cowok itu bahkan berlari saat ini bersama Ben. Ia tidak pernah tahu bagaimana Aldo bertengkar. Tetapi dari cara penyampaian Ben yang seperti tadi, Kiara menyimpulkan, cowok yang bernama Aldo itu pasti tempramen sekali. "Tolong!" Kiara yang baru ingin memberanikan diri menuju tendanya, kembali teralih akan suara aneh itu. Suaranya terdengar begitu samar-samar. Jujur, Kiara sempat merasa itu suara halus. Tetapi apa mungkin? "Tolong!" Tetapi sepertinya tidak. Itu suara orang. Suara yang berasal dari belakang aula. Tanpa ragu, kakinya melangkah cepat ke arah sana. Menghilangkan rasa penasarannya. "RA! TOLONG!" Kiara membulatkan kedua matanya sempurna. Ia berlari cepat mendekat pada Ratu yang sedang dalam posisi tiduran di tanah. Bukan itu fokusnya, melainkan pada Araya, cewek yang sedang berusaha ditarik Ratu supaya tidak jatuh ke dalam jurang itu. "RAY!" Kiara berteriak, ketika melihat kaki cewek itu benar-benar menggantung, seperti tidak mendapat pijakan untuk bertahan. "Sini, gantian! Lo tarik dari sebelah sana!" Ratu mengangguk, menurut pada perintah Kiara. Detak jantung ketiga cewek yang berada di sana jelas sudah tidak bisa dijelaskan lagi. Sama-sama takut, sama-sama panik. "Ray! Cari pijakan buat kaki lo!" Samar-samar, Kiara jela mendengar isakan cewek itu. "Gak ada, Ra!" balasnya dengan suaranya yang parau. Kiara menoleh menatap pada Ratu yang juga menyiratkan ketakutan dalam tatapannya. Pikir Kiara, bila mencari pertolongan lagi, tidak memungkin Araya masih bisa bertahan. Jadi, ia harus bisa bersama Ratu. "Tarik!" Ratu dan Kiara sama-sama mengerahkan tenaga mereka. Berusaha menarik Araya yang perlahan mulai terangkat. "Lebih kuat!" Kiara kembali bersuara. Ia berusaha untuk berteriak juga, berharap kali saja ia mendapat bantuan tambahan. Kiara berdiri, bersama dengan Ratu, karena posisi Araya yang sudah terangkat, membantu cewek itu untuk berdiri kembali di tanah. Tetapi nyatanya, Kiara memang s**l sekali hari ini. Karena tepat di saat Araya kembali berpijak di tanah dan selamat, tubuh Kiara kehilangan keseimbangan. "RA!" Ratu berteriak, di saat kedua matanya mendapati Kiara sudah terjun menuju lembah jurang itu. Napasnya kembali memburu, dirinya benar-benar diselimuti ketakutan saat ini. Tidak jauh berbeda dengan Ratu, Araya juga membulatkan kedua matanya meratapi pada kejadian yang baru terjadi barusan. "RAT! CARI BANTUAN!" Ratu mengangguk. Kemudian cewek itu berlari cepat meninggalkan Araya yang masih terpaku di tempatnya. "KIARA!" teriaknya, berusaha untuk mencari keselamatan cewek itu. Tidak ada jawaban. Gelapnya sekitar, jelas membuat Araya benar-benar tidak bisa bernapas dengn tenang. Ia tidak bisa melihat apa yang terjadi di bawah sana. ... Napas memburu Ratu jelas membuat kebingungan bagi Sami dan Rayn yang baru saja berjalan menyusuri tenda-tenda. Kedua cowok itu jelas menatap bingung pada Ratu yang juga terlihat panik dan ketakutan itu. "Sa—sam!" "Ngapain sih, lo?" Rayn bertanya dengan nada ingin tahunya. "KIARA MASUK JURANG!" Bagai tersambar petir, kedua cowok itu langsung menatap tajam Ratu. Sudah lelah dengan perjalan dan ingin beristirahat, tetapi ada saja masalahnya. "Jangan bercanda!" Sami memprotes dengan suara tenangnya. Tetapi, ucapannya itu langsung dibalas kembali dengan gelengan cepat Ratu. "To—tolongin!" "Di mana!?" Rayn menyuarakan suara tenangnya, namun tersirat kepanikan. "Belakang Aula." Tanpa kata-kata lagi, Rayn langsung berlari menuju tempat itu. Ia tidak tahu apa yang terjadi dengan Kiara sekarang, dan ia hanya ingin berharap, semuanya baik-baik saja. "Cari Gilang di tenda 5, bangunin!" Sami berucap, kemudian ikut berlari mengejar Rayn yang sudah tidak terlihat di matanya. Panik? Ya siapa yang tidak panik. Ratu yang selalu bersama dengan Araya saja ikutan panik. Sejahat apapun Araya dan Ratu pada Kiara, naluri dua cewek itu masih berjalan dengan semestinya. Sesampainya di belakang aula, yang ia dapati pertama adalah Araya yang sedang menangis di dekat sana. Tetapi, matanya tidak sepenuhnya menatap di sana, karena ia kembali memfokuskan matanya pada luka lebar yang berada di pergelangan kaki Araya. Benaknya seolah bertanya, apa sesuatu terjadi lagi antara Araya dan Kiara? Sekarang ia menyesal, di awal perjalanan, ia yang meminta Kiara untuk selalu di dekatnya, tetapi kenyataannya, ia meninggalkan cewek itu. "Ray, senter!" Rayn berteriak panik. Cowok itu menoleh sekilas, meminta, lebih tepatnya memaksa Araya untuk bergerak. Kemudian, ia kembali menatap pada rerumputan panjang yang menjadi fokusnya sekarang. Menurut pengarahan Araya, Kiara berada di sana, tetapi sama sekali tidak ada tanda-tanda pergerakan dari sana. Baru saja Araya ingin berdiri, bahu cewek itu kembali di tahan oleh Sami. "Gue aja, lo duduk diem di sini." Sami berujar, kemudian kembali meninggalkan Araya. "RA!" Sejujurnya, sampai saat ini Rayn masih ragu, apakah ia sedang tidak dibohongi oleh Ratu dan Araya. Tetapi, saat menyampaikannya, kedua cewek itu sama-sama menunjukkan ekspresi panik. Namun, ini sama sekali tidak ada jawaban dari dasar jurang itu. "Rayn!" Yang dipanggil menoleh, menatap pada Gilang dan Ben yang langsung bergerak menghampirinya. "Mana!?" Gilang langsung melempari tatapan paniknya. Rayn menggeleng. "Gak ada jawaban," balasnya parau. Gilang menelan salivanya. "Cari penerangan, gue turun sekarang! Nanti bantu gue satu di bawah!" Mendengarnya, Ben langsung menarik Gilang yang sudah bersiap itu. "Jangan t***l deh! Sabar sebentar, cari yang lain dulu!" "Adik gue di bawah sana b*****t!" Gilang menjawab emosi. "Dia adik gue juga, Lang!" Ben kembali membalas, seolah menyadarkan Gilang keadaan saat ini. "Kita cari bareng ke bawah. Tapi, tunggu yang lain datang buat bantu!" Dada Gilang jelas naik-turun. Ia yakin sekali, sudah sempat mengatakan pada Kiara untuk tidak mencari masalah malam ini, tetapi sepertinya adik bengalnya itu memang tidak pernah mengindahkan perkataanya. Dari ekor matanya, Gilang menemukan Araya yang sedang berjongkok dan menenggelamkan kepalanya di kedua kakinya. "LO APAIN RARA!?" Gilang membentak. Cowok itu memaksa Araya untuk berdiri dari tempatnya, karena ia pun tidak menyadari apa yang terjadi sebenarnyax "Gak nga—ngapa-ngapain, Lang," balas Araya takut. Gilang mengusap wajahnya kasar. Kalimat Araya jelas membuatnya yakin. Tetapi, mengingat hubungan Kiara dan Araya selama ini, keyakinannya seolah berada di unung keseimbangan. "Rat, bantuin Araya dulu." Sami bersuara tenang, kemudian ia mendeka pada Gilang dan menarik kembali cowok itu. Di belakang Sami, sudah banyak cowok lain yang diminta Sami untuk membantu. Tidak ada cewek selain Araya dan Ratu di sana, mungkin niat Sami untuk tidak membuat keributan malam ini cukup berhasil. "Gue turun sekarang!" Gilang kembali bersuara, yang langsung dibalas anggukan Rayn. "Dengerin ya," ujar Ben yang kemudian ikut turun bersama Gilang ke bawah sana. "Hati-hati, Bang." Rayn bersuara tenang, tetapi menyiratkan ketakutan. Dan sekarang yang perlu mereka tunggu adalah, kabar dari dua orang di bawah sana.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD