SANDIWARA CINTA

2111 Words
Ada rasa yang tak terbilang Kiara sedang duduk manis di ruang keluarga, tentunya menonton televisi sembari ditemani gelas-gelas es krim yang sudah disantap habis olehnya. Jangan bertanya, kapan Kiara akan bosan dengan kegiatan itu, karena jawabannya tidak akan. Kedua mata Kiara teralih menatap pada ponselnya yang bergetar dan layarnya menyala secara tiba-tiba itu. Ia menaruh gelas es krim terakhirnya di atas meja, dan mengambil ponselnya. Daffa : Ra, sibuk gak? Kiara menautkan kedua alisnya heran. Tumben sekali Daffa mengiriminya pesan di malam hari. Biasanya, ia yang selalu memulai pembicaraan di malam hari. Sedangkan, Daffa tinggal menjawab. Enggak. Kenapa? Daffa : Temenin gue main, mau gak? Dari gaya penulisannya, Kiara sudah bisa menebak, pasti Daffa sedang dalam masalah dan cowok itu tidak bisa mencari solusi. Karena, jarang sekali Daffa mengajaknya pergi di malam hari. Bahkan bila mau pun, ia pasti sudah berada di depan rumah Kiara tanpa mengirim pesan terlebih dahulu. Iya. Jemput ya... Kalau boleh jujur, sebenarnya Kiara sudah dalam posisi enaknya. Bahkan bila tidak penting pun, pasti Kiara memilih untuk berdiam diri di ruang keluarga. Tetapi mengingat Daffa yang selalu ada baginya, lalu kapan Kiara akan selalu ada bagi cowok itu? Kiara bangkit dari duduknya, bersamaan dengan Gilang yang masuk ke ruang keluarga. Melihatnya Kiara malah mengingat jam berapa ini, ia membuka layar ponselnya dan melihat pada angka delapan di sana. Kenapa akhir-akhir ini Gilang jadi suka pulang cepat? Kiara mendesah. Gak tepat banget waktunya. "Mau kemana?" Gilang bertanya dengan raut wajah penasarannya. Masih jam segini, ia jelas belum telat untuk menemani Kiara menonton di ruang keluarga. Bahkan, ia sudah berusaha pulang cepat di hari Senin ini. Kiara senyum. "Mau main," balasnya. "Semalam ini?" Kiara mengangguk ragu. Sepertinya ia sudah pernah izin keluar rumah jam sembilan malam, dan Gilang tidak bilang itu malam juga. "Belum malam banget 'kan? Bentar doang!" Gilang yang awalnya masih diam saja di pintu, sekarang menutup pintu ruang keluarga dan menyender di sana. "Boleh keluar, asal jawab pertanyaan!" Kiara mendesah, ini kenapa jadi seperti mainan anak SD? Harus sekali kah Gilang melakukan ini padanya sekarang? "Keburu kemaleman!" Kiara berusaha mencari alasan untuk keluar dari Gilang. Gilang menggeleng. "Jawab dulu. Mau kemana?" "Main!" "Sama siapa?" Kiara diam. Jujur salah, bohong juga salah. Tetapi Kiara yakin, Gilang pasti tidak akan minggir dari pintu bila ia menjawab nama Daffa. "Asya." Bagus Kiara, bohong yang sangat baik. Bahkan rasanya Kiara ingin sekali menarik bibirnya yang asal berbicara itu, tanpa berpikir panjang. "Asya?" Gilang bertanya bingung. "Siapa itu? "Temen sekelas." Gilang mengangguk mengerti. "Ketemuan di mana? Aku ant—" "Gak! Gak usah!" Kiara memotong cepat ucapan Gilang. "Dia jemput aku. Udah aku mau ganti baju!" Kiara menarik kuat lengan Gilang, berusaha menyingkirkan lelaki itu dari pintu. Dan baiknya, Gilang menyerah begitu saja. Bahkan, tanpa kekuatan dalam pun, Kiara sudah mampu mengusir Gilang dari pintu. "Bohong awas ya!" Gilang mengancam, ketika Kiara sudah berhasil keluar dari ruang keluarga. "Berani jalan sama Daffa awas ya!" Tanpa membalikkan badannya, Kiara tertawa kecil. Ia merasa, sebenarnya Gilang tahu, dengan siapa ia akan pergi. Tetapi lelaki itu lebih memilih untuk percaya saja dengan ucapannya. "Pulang malam awas ya!" Kiara mendesah. Kemudian berbalik. "Iya, bawel!" tajamnya. ... Alunan musik yang berasal dari bagian tengah kafe itu membuat Kiara menetapkan perhatiannya di sana. Sudah hampir sepuluh menit berada di kafe, Daffa, orang yang mengajaknya itu pergi masih juga diam saja. Tidak diam sekali juga. Tetapi sedari tadi, Daffa hanya berbasa-basi seperlunya. Ia tidak mau meminta Daffa menjelaskan keadaannya sekarang, biarkan cowok itu berkata jika memang cowok itu mau. "Ra?" Akhirnya Kiara mendengar namanya dipanggil sekali lagi. Tanpa pikir panjang, ia langsung menoleh pada Daffa. "Gue bodoh banget ya?" Kiara menautkan kedua alisnya bingung. "Kenapa? Kok gitu?" Maksudnya, kok tiba-tiba gitu? batinnya menambahi. "Karena gue rasa, gue kayak gampang banget dibodohin." "Hah? Gimana maksudnya?" Kiara bertanya tidak mengerti. Daffa menghela napasnya. "Gue menyudahi segala hubungan gue sama Araya," balasnya dengan tatapan sendunya. Kiara diam. Otaknya seperti sedang bekerja keras untuk memberikan jawaban yang membantu Daffa, bukan malah membuat lelaki itu semakin sedih. "Kenapa selama ini gue percaya dia sayang sama gue?" "Daf..." "Gue tau gue berengsek, Ra. Tapi gue beneran sayang sama dia!" Semakin lama, Kiara semakin merasa, Daffa terlalu larut dengan perasaannya. Sejak awal cowok itu menceritakan segala sesuatu tentang Araya, Kiara jelas sadar betapa Daffa bersungguh-sungguh dengan perasaannya. Tetapi kalau seperti ini, Kiara jadi merasa bersalah juga. Selama ini ia selalu menceritakan kisah Araya dan Gilang. Pasti itu membuat Daffa terganggu. Percayalah, tidak ada satu pun maksud Kiara untuk membuat Daffa sakit hati. Ia hanya ingin Daffa sadar, perasaannya saat ini salah. "Daf. Cewek masih banyak—" "Tapi cuma dia yang bisa ngebuat gue suka, Ra." Suara tenang Daffa membuat Kiara kembali sadar. Daffa sebegitu menyukai Araya. Sakit hati? Tidak. Kiara biasa saja. Hubungannya dengan Daffa tidak akan melebihi kata teman. Kiara sudah berjanji itu. Lalu selama ini? Itu hanya sebuah sandiwara yang ia mainkan bersama Daffa, supaya cowok itu tidak begitu terlihat menggilai Araya, dan supaya ia bisa melupakan Araya perlahan, serta sebagai cara Kiara, untuk membuat Gilang merasa terancam. Dan sekarang, Kiara rasa, sandiwara mereka berhasil. Walau pada kenyataannya, sandiwara itu lebih membuat Daffa terluka. "Dia ngebuat gue nyaman dengan caranya. Tetapi ternyata, dia malah membuat gue seolah-olah gue simpenannya!" Daffa kembali berujar parau. "Daf, keputusan lo udah lebih dari kata benar. Sekarang waktunya untuk lo lupain Araya," sahut Kiara dengan tatapan tulusnya. "Gue berusaha untuk itu." Daffa berujar. Ia kembali menatap pada kedua mata Kiara. "Rencana kita udah berhasil satu sama lain. Gue juga gak mau buat lo ikut dalam masalah Angkasa dan Panca lebih dalam. Jadi gue rasa, kita juga selesai disini, Ra." Kiara tersenyum. Itu tidak masalah baginya. Malah Kiara merasa, Daffa begitu peduli dengannya. Di saat ia bingung untuk menyudahi sandiwara itu, Daffa malah menawarinya dengan tulus. "Sesakit hati itu ya lo?" Kiara bertanya ngeri-ngeri. Daffa mengangguk, kemudian menggeleng cepat. "Biasa aja." Daffa menyahut dengan gaya santainya. Suara Daffa yang terdengar lebih kepada suara orang pasrah, membuat Kiara tertawa kecil. Baginya, Daffa itu kebanyakan gaya, padahal hatinya tidak memadai. "Lo mau gue temenin minum?" Daffa menggeleng cepat. "Lo mau gue ditebas Gilang!?" Kiara tertawa. Lihatlah, bahkan di saat Daffa terpuruk pun, tidak ada sekali pun niat cowok itu untuk membuat Kiara terlibat dalam kehidupan nakalnya. Bagi Kiara, Daffa itu terlalu baik padanya. Kiara mengambil tangan kanan Daffa secara paksa, mengusapnya lembut dan memberikan cowok itu tatapan tulusnya. "Seberat apapun masalah lo, gue selalu ada di belakang lo, Daf. Sama dengan apa yang selama ini lo lakuin ke gue." Daffa tersenyum. "Itulah kita." ... Kantin di pagi hari ini terlihat begitu ramai. Sepertinya hari Jumat membuat murid-muridnya malas membawa makanan dari rumah, mengingat hari ini mereka akan pulang lebih cepat dari biasanya. Kedua mata Gilang jelas sudah tergoda dengan banyak makanan. Tetapi sampai sekarang, belum ada juga satu pun makanan yang berada di tangannya. Rasanya, Gilang ingin memakan semuanya, tetapi malas mengantre. Jadi, sebagai ganti kelaparannya, lebih baik ia duduk bersama teman-temannya saja. Menunggu sampai semua murid duduk diam di kursi mereka, dan Gilang bisa memilih apa saja makanan yang ia mau tanpa mengantre. "Lang!" Suara panggilan yang lebih terdengar seperti teriakan, membuat Gilang yang awalnya fokus pada makanan yang tersedia di dalam etalase, mengalihkan kedua matanya menatap pada Aldy yang datang dengan cepat ke arahnya. "Rara dibully!" Gilang menaikkan alis kanannya, gagal paham. Sejak kapan Kiara bisa dibully? Ada juga terbalik! "Basah kuyup di lapangan!" Aldy kembali menambahi. Tidak ada gerakan lain yang ingin Gilang lakukan selain mengangguk. Panik? Tidak, ia biasa saja. Karena Gilang yakin, adiknya itu mampu mengurus semuanya sendiri. Mengingat Kiara yang selalu membawa masalah ke rumah itu, membuat Gilang sedikit bersyukur karena pindahnya Kiara ke Angkasa. Sekolah yang selalu tutup mulut akan sikap murid-muridnya. Jadi, sekejam apapun perkelahian antara Kiara dan siapapun itu, Gilang akan tenang saja, karena pasti orang tuanya tidak akan tahu. Asalkan orang tuanya tidak mencari tahu. "Lang! Araya berantem!" Kalau yang itu, baru Gilang bergerak. "Sama siapa!?" tanyanya, kemudian bangkit dari duduknya. "Kiara!" Gilang mendesah. Mereka lagi? Apa Gilang harus merelakan perutnya yang kelaparan hanya karena pacar dan adiknya itu bertengkar lagi? Ya sudahlah. Dibanding Araya habis di tangan Kiara, lebih baik Gilang kelaparan saja. Dengan langkah panjangnya, Gilang berjalan cepat menuju lapangan. "Si Kiara hebat, Lang! Udah cakep jago berantem!" Aldy kembali berujar, di saat langkahnya menemani langkah Gilang menuju lapangan. Tanpa diberi tahu pun, Gilang sudah tahu itu. Kiara itu terlalu kuat untuk dikalahkan dengan sesama jenis. Sayangnya, Araya tidak pernah menyadari itu. Kedua mata Gilang menajam, ketika melihat Kiara baru saja jatuh tersungkur di tanah. Dari posisinya yang masih berada di ambang pintu bangunan, Gilang jelas bisa memperhatikan apa yang terjadi di lapangan bawah sana. "Ini seriusan enam lawan satu!?" Gilang bertanya dengan suaranya yang menandakan ia tidak percaya. Aldy mengangguk cepat. Baru saja langkah besar Gilang ingin kembali melaju, tangannya lebih dulu ditahan. Ia menoleh, dan mendapati Sami dengan tatapan santainya menatap pada dirinya. "Biarin aja," ucap Sami santai. Gilang melotot. "Biarin aja!? Araya bisa bonyok!" Gilang membalas tidak terima. "Rara lebih," sahut Sami. "Sekuat apapun Rara, enam lawan satu tetap gak cukup." Ucapan Sami seolah menyadarkan Gilang. Benar juga, sekuat apapun Kiara, bila lawannya jauh lebih banyak, pasti ia tetap akan kalah. "Terus lo kenapa gak bantuin Rara!?" Gilang kembali sadar akan situasi. Sami dengan polosnya menggeleng. "Masalah cewek. Gue gak mau ikutan," jawabnya. "Kalau lo ke sana. Lo bukannya ngebantu, tapi pasti malah memperkeruh, kayak kejadian kemarin." Seketika Gilang mengingat pada kejadian mobil Araya. Ah, kenapa semua yang diucapkan Sami benar semua? Gilang jadi tidak bisa berkutik kalau seperti ini. "Mending lo makan. Perut lo bunyi mulu!" Reflek, Gilang memegang perutnya. Tidak. Tidak ada bunyi ataupun pergerakan yang berasal dari sana. Lalu mengapa Sami mengetahui kalau ia belum makan. "Lo mau kemana, Sam?" tanya Gilang, saat kedua mata Sami kembali terarah pada lapangan. Sami mengangkat kedua bahunya. "Di sini, mungkin? Nunggu berantemnya selesai dulu." Gilang mengangguk. "Ya udah, gue titip sama lo ya! Laper gue!" ... Bau khas obat-obatan membuat Sami harus mendesah. Ia itu malas sekali masuk ke tempat-tempat seperti ini. Kalau saja tidak ada janji yang mengikatnya, sudah pasti Sami akan memilih ke kelas, dibanding di sini menemani Kiara yang belum selesai juga dengan luka-lukanya. Pertarungan aneh yang bahkan tidak dimengerti oleh Kiara, memberikannya luka di bagian kaki, tangan, juga pelipisnya. Betapa kejamnya para seniornya! Kalau biasanya ada ringisan yang mengiringi pengobatan. Maka kali ini, khusus bagi Kiara, tidak ada. Otaknya lebih memilih untuk memikirkan caranya membalas dendam di saat para senior semakin mengenal dan menghujatnya, dibanding meringis kesakitan. Baju seragamnya ia ganti dengan pakaian olahraga yang diberikan penjaga UKS padanya. Rambutnya masih basah dan berantakan, karena Kiara pun tidak berniat untuk menyisir rambutnya itu. Yang pasti, Kiara berharap, Sami tidak memedulikan penampilannya sekarang. "Kamu anak baru?" Petugas UKS itu bertanya, sembari membersihkan luka pada tangan Kiara. "Iya." Kiara menjawab tenang. "Pantas!" sahut Petugas itu. "Kalau kamu anak lama, pasti sudah tahu kelakuan Araya." Kiara hanya tersenyum tipis. Dia tahu jelas sifat seniornya yang menyebalkan itu. Mungkin Petugas UKS saja yang tidak mengetahui isi otaknya. "Kamu pacarnya, Sam?" Petugas UKS itu kembali bersuara dengan nadanya yang lebih seperti memojokkan Sami. "Ketua angkatan tuh jaga pacar—" "Enggak!" Sami lebih dulu memotong ucapan Petugas UKS itu. Sami jelas tidak mau disalahkan dalam masalah ini. Seharusnya, orang-orang berterima kasih padanya, karena ia peduli pada teman se-angkatannya. "Udah nih." Kiara mengangguk. "Makasih, Bu," balasnya sopan. "Kamu bisa jalan?" Lagi, Kiara mengangguk. Bagi Kiara, sakit fisiknya itu benar-benar tidak seberapa, dibanding dengan sakit batinnya karena malu kalah telak oleh para seniornya itu. Kiara berjalan, mendahului Sami yang akhirnya mengikutinya dari belakang. Kedua tangan cowok itu masuk pada saku celananya. Tidak ada pembicaraan. Yang pasti Sami hanya menemani Kiara. Sudah itu saja. "Besok lagi, kalau mau berantem mikir!" Sami berujar dengan nada dinginnya. Kiara berhenti. Ia membalikkan badannya dan menatap tajam Sami. Bukannya membantu, cowok itu malah menambah emosi Kiara meluap. "Iya! Besok lagi gue pakein rumus kecepatan sama gaya, itung-itung latihan buat ulangan Fisika!" Kiara membalas tajam. Ia kembali berjalan, sembari mulutnya yang tidak berhenti juga merutuki Araya dan Sami bergantian. Yang satu pencari masalah, yang satu penambah masalah. "Gue serius." Sami kembali berujar tenang. Kiara mencebik. "Muka gue kurang serius kali ya?" tanyanya dengan suara kecil. Bahkan, ia tidak yakin Sami mendengarnya. Tangan kanannya bergerak untuk mengambil ponselnya yang berada di saku roknya. Untuk kali ini, rasanya Kiara malas sekali berdekatan dengan Sami. Jadi, lebih baik ia mencari pelarian. "Daffa! Jemput gue, sekarang!" Kiara langsung berbicara tanpa pembukaan saat panggilannya tersambung. Dan ia pun langsung memutuskan sambungan, ketika selesai berbicara. Sami jelas mendengar nama Daffa disebut, tetapi selagi Kiara berada di pandangannya, Sami tidak perlu khawatir. Tetapi sepertinya Sami salah langkah. Kiara tidak berniat menuju ke kelas. Cewek itu malah berjalan meninggalkan bangunan sekolah. "Lo mau ke mana?" Sami akhirnya bertanya. Posisinya masih berada di belakang Kiara, memperhatikan pada kaki Kiara yang banyak goresan luka, tetapi cewek itu tidak mengeluh atau meringis sama sekali. "Gak usah ngikutin gue!" "Lo tanggung jawab g—" "Emang lo ngapain gue, sampai harus bertanggung jawab!?" Kiara nge-gas. Ia tetap pada posisinya, tetapi membalikkan badannya untuk melihat tajam Sami. Seharusnya, Kiara tidak marah-marah pada Sami. Cowok itu memang tidak salah apa-apa padanya. Hanya saja suara dinginnya itu semakin membuat Kiara kesal dalam keadaannya sekarang. "Ra. Jangan jalan sama Daffa!" Kiara terkejut. Sejak kapan Sami peduli dengan dirinya? Ah iya, Kiara lupa. Panca kan musuh Angkasa. Maka Daffa juga musuh Sami. Tetapi maaf Sami. Untuk kali ini, Kiara memilih tidak peduli dengan kamu. "Ra!" Sami kembali memanggil, di saat Kiata tetap berjalan dengan santainya. "Diem ih!" Kiara ngomel. "Kalau lo mau cabut sama gue aja!" Kiara berhenti melangkah. Ini ia tidak salah dengar? "Ayo cabut sama gue!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD