Chapter 17

1194 Words
Hanya hangatnya bibir kekasih yang bisa menyembuhkan rindu atas damba temu. *** Tak ada mimpi, tapi begitu damai, begitu tenang. Elard hanya merasakan sakit di bagian punggung juga leher. Ia juga merasakan ada benda keras menempel di lengan kirinya. Setitik cahaya masuk di sela-sela kelopak matanya yang masih terpejam tidak rapat. Setelah mengerjap beberapa kali dan menyesuaikan cahaya yang masuk ke pupil, Elard membuka mata lebar dan melihat sekitar. Itu bukan kamarnya. Itu bukan kamar yang disediakan Mahesa untuknya. Baru sadar kalau ternyata dirinya tertidur di kamar Sasi. Elard menoleh ke kiri di mana ia merasakan ada yang menyundul lengannya. Betapa terkejutnya Elard, itu adalah kepala Sasi yang menempel di lengan kirinya. Tubunya meringkuk bak anak kecil, membuat trenyuh hati Elard. Dengan tangan kanan, dibelainya lembut kepala Sasi. Belaian Elard turun ke pipi Sasi yang sangat lembut. Menyadarkan Sasi. Gadis itu tersentak, mendongak, dan membelalak. Entah dia memang tidak tahu atau mengabaikan, Sasi memegang tangan Elard yang tadi untuk membelai, dengan kuat. "Kamu gak pa-pa?" Sasi kemudian duduk dan beringsut lebih dekat ke Elard Elard mengernyit ketika merasakan ada sesuatu dilepas dari keningnya perlahan dan kemudian diganti oleh hangat telapak tangan Sasi. Tak hanya kening yang dijamah Sasi, kedua tangan Sasi bahkan menempel di kedua pipi Elard. "Apa yang dirasakan?" Kedua tangan yang menempel, wajah yang begitu dekat, dan suara yang begitu lirih, lembut. Membuat Elard tidak bisa berkutik. Kerinduannya akan bibir merah muda Sasi, membuat d**a Elard belingsatan. "Elard. Apa yang kamu rasakan?" ulang Sasi. Sesuatu di bawah sana menggila, jawab Elard dalam hati dan itu mempengaruhi otak yang kemudian memerintahkan mulutnya berucap. "Cium." Plash! Meski diucap sangat lirih, tetapi karena posisinya yang sangat dekat, maka kata itu terdengar sangat jelas. Sontak wajah Sasi memerah hingga ke telinga. Kini ganti tubuh Sasi yang tak bisa berkutik. Kedua tangannya terpaku pada kedua pipi Elard. Salah satu jemari Elard kini sudah ada di pipi Sasi. Membelai lembut hingga ke ujung bibir. Ada kerinduan di sana. Ibu jari Elard mengusap perlahan bibir bawah Sasi. Merasakan kulit bibir itu bersentuhan dengan kulit ibu jarinya. Membayangkan bibirnya sendiri menyentuh bibir tipis itu. "Sas. Eh?!" Adia yang tiba-tiba masuk, terkejut melihat keintiman Sasi dan Elard. Ia tidak tahu jika Elard tidur di kamar Sasi karena terakhir bertemu dengan keduanya adalah di perpustakaan. Elard dan Sasi saling melepaskan diri. Mencari perlidungan dari rasa malu dengan memalingkan wajah ke mana saja asal tak lagi saling menatap. "Oke, oke, saya keluar dulu." Adia keluar perlahan dan menutup pintu dengan tertawa cekikikan. Kesunyian yang aneh membungkus dua insan yang sedang mati-matian meredam malu. Masing-masing menyalahkan diri sendiri. Sasi menyalahkan diri yang terlalu peduli hingga harus memegangi kedua pipi Elard yang maskulin. Dan Elard memaki dirinya yang tak bisa mengendalikan diri akan rindu menjamah bibir Sasi. Harus ada yang memecahkan kesunyian atau ini akan menjadi kebisuan berkepanjangan. Sasi beringsut ke tepi tempat tidur, sedangkan Elard bangun dan duduk. "Lain kali dijaga ucapannya," ujar Sasi dengan nada kesal. "Ucapan apa?" tanya Elard tak mengerti. Sasi menoleh sengit. "Tadi itu." "Tadi itu apa? Saya bicara apa?" Kedua mata Sasi menyipit. Gondok dengan gaya Elard yang baginya sok bersikap bingung, padahal sudah salah. "Apa? Bicara yang jelas. Saya tidak mengerti. Saya bicara apa? Ooo..., kamu tersinggung karena saya ketiduran di sini? Lalu kenapa kamu tidka bangunkan saja saya. Gak perlu marah-marah tidak jelas." Elard mulai ikut kesal dengan diamnya Sasi, yang hanya mengirimkan tatapan dongkol. "Cium tadi apa?" tanya Sasi gemas. Semakin gemas melihat ekspresi Elard yang melongo. Rasanya ia ingin mencubit kedua pipi yang tadi disentuhnya dengan sayang. Elard segera ingat. Kembali makian untuk diri sendiri berhamburan. "Memangnya kamu berpikir cium apa?" Elard sebenarnya sedang sangat malu. Dengan kasar, ia keluar dari selimut, dan turun dari tempat tidur. Sempat gelisah, bingung apakah dirinya perlu merapikan tempat tidur. Tapi, demi melihat tatapan mata Sasi yang tak lepas, Elard memilih untuk segera keluar. Tapi, Elard tidka mungkin kabur begitu saja. Dia masih punya harga diri. Elard kemudian mengembang kempiskan hidungnya. Mengarahkan kepala ke kana dan ke kiri. Eadaran matanya seolah sedang mencari-cari. Sesuai dengan harapan Elard, Sasi kemudian terpancing. Dengan bantuan kurknya, Sasi berdiri dan ikut mengedarkan pandangan seputar kamarnya dengan bingung. "Apa?" tanya Sasi frustasi karena tak menemukan alasan akan apa yang sedang dicari Elard. "Kamu gak mencium bau?" "Hah?" "Saya tadi merasa mencium sesuatu. Makanya saya bilang cium. Sudahlah. Saya mau mandi." Dengan santai Elard melangkah keluar dari kamar Sasi. Sedangkan Sasi, sekuat tenaga menahan mulutnya untuk tidak berteriak memanggil nama lelaki yang sudah membuatnya kesal setengah mati. *** Sasi baru selesai menjelaskan tentang kenapa Elard tidur di kamarnya pada Adia, ketika Elard sudah muncul di ruang makan. Adia dan Mahesa tersenyum simpul penuh makna. Meski penjelasan Sasi sangat wajar, tapi mengingat dua orang yang pernah punya kisah dramatis, dan kemudian kini tidur bersama dalam satu kamar, tentu menjadi tanya berikut. Apakah keduanya sudah kembali jatuh cinta? Elard berdeham sebelum duduk di seberang Sasi dan Adia, di dekat Mahesa yang duduk di sisi ujung meja. Berbeda dengan Sasi yang terlihat tidak acuh, Elard sedikit salah tingkah mendapati tatapan Mahesa dan Adia yang masih tertuju padanya dengan senyum simpul yang aneh. "Bagaimana keadaanmu?" tanya Mahesa sembari menyendokkan nasi goreng ke piringnya sendiri. "Baik," jawab Elard sedikit bingung dengan perhatian Mahesa. Ia menerima sendok nasi dan ikut mengambil nasi goreng daripada roti. "Masih panas?" tanya Adia. Kedua alis Elard menaut. Tak mengerti arah bicara Adia. Tapi, ia kemudian menduga jika Adia sedang menggodanya akibat kejadian tadi di kamar Sasi. "Tidak terjadi apa-apa." Hening. Elard yang sudah memegang sendok dan garpunya, keheranan terhadap Mahesa, Sasi, dan Adia yang sedang menatapnya. Ia merasa sudah memberikan jawaban yang salah. "Oh, udaranya? Tidak terlalu panas. Ini masih pagi." Adia langsung memalingkan wajah untuk menyembunyikan wajahnya. Mahesa sendiri tersenyum simpul. Sedang Sasi justru mendelik kesal. "Ada beberapa kasus, penderita panas tinggi, akan terserang amnesia sesaat," ucap kalem Mahesa yang mulai menyendokkan makanan ke mulut. "Kamu lupa?" tanya Sasi dongkol. "Apa?" Elard menatap orang-orang dengan kebingungan teramat sangat. Ia benar-benar tidak mengerti ke arah mana pertanyaan 'panas' itu. "Semalam kamu ketiduran di kamar Sasi. Tubuhmu cukup hangat. Memangnya tadi pagi saat bangun, tidak merasakan ada plester penurun panas?" tanya Mahesa. Elard teringat Sasi melakukan sesuatu di keningnya. Ada yang ditarik hingga ia merasakan celekit aneh. "Mungkin plesternya sudah diganti dengan sentuhan lembut nan hangat. "Adia melirik ke arah Sasi yang seketika melayangkan cubitan ke pergelangan tangan Adia. Sontak Adia mengaduh. "Saya semalam panas?" tanya Elard lugu. Ia benar-benar tak ingat. Yang ia rasa memang tubuhnya terasa sakit dan ngilu. Saat membaca buku harian Susan, matanya pun sangat pedih. "Iya," jawab Mahesa karena sepertinya Sasi malas menjawab. Mungkin masih kesal dengan kebingungannya Elard. "Saya tidak ingat. Maaf." Saat mengucapkan maaf, Elard menatap Sasi. "Maaf saya sudah merepotkanmu." Sasi menjadi tidak enak hati. Tadinya ia sangat dongkol. Sudah Elard mempermainkannya degan kata cium, sekarang pura-pura lupa sakit yang ternyata memang tidak ingat. "Tidak apa-apa. Saya gak repot. Kak mahesa yang repot karena tengah malam keluar membeli obat dan plester penurun panas." "Terima kasih." Elard menatap Mahesa yang dibalas anggukan saja dari Mahesa. "Semalam Kak mahesa menemui teman yang polisi itu?" tanya Sasi. "Iya. Saya perlu memeriksa sendiri keadaan vila ayahmu. Vila Albert." "Bagaimana?" tanya Elard. "Benar kata Gusti. Vila itu sekarang semakin dijaga ketat. Jumlah penjaganya pun bertambah. Nggg..., Gusti ada membicarakan rencana lain setelah saya menceritakan tentangmu yang dibuntuti." Mahesa menatap Elard dan kemudian menatap Sasi juga Adia. "Apa?" tanya Elard. "Dikejar atau mengejar." Tak ada yang menyahut. Semua diam menunggu penjelasan Mahesa. Ini seperti pilihan yang akan memiliki resiko yang sama. Keputusan harus dibuat dengan bijaksana. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD