Chapter 16

940 Words
Aku hanya ingin membaginya denganmu. *** Sasi sudah merebahkan tubuhnya. Ia hanya menyalakan lampu tidur di nakas, hanya agar tidak terlalu gulita saat pikirannya melayang ke mana-mana. Cerita Elard membuatnya tidak bisa tidur. Ia tak menduga ternyata dirinya dan Elard memiliki keterikatan akan kisah masa lalu pendahulu. Sasi bertanya-tanya apakah Tuhan saat itu sedang menggerakan hati Elard untuk memilihnya sebagai tunangan karena ada ikatan takdir di masa lalu yang belum selesai. Terdengar ketukan pintu yang sangat pelan. Sasi mengernyit heran. "Iya?" "Kamu sudah tidur?" Itu suara Elard. Sasi segera bangun dan memeriksa jam di nakas. Sudah jam dua belas malam lebih. "Belum. Masuklah." Perlahan pintu dibuka. Elard masuk perlahan. Perasaannya aneh mendapati Sasi dengan baju tidurnya yang berwarna biru air. Rambut hitamya sudah digerai dan menyisakan gelombang menggoda dibagian bawah. Temaramnya kamar, makin membuat Elard salah tingkah. Dan akhirnya memaku di tengah kamar, membuat Sasi bingung. "Kenapa?" Saat Sasi bertanya. Elard melihat ajakan liar yang menggoda. Senyum yang begitu manis seolah meminta Elard melakukan sesuatu pada bibir itu. "Elard?" Semakin Sasi bersuara, semakin Elard jatuh pada imajinasi liarnya yang tidak-tidak. Sasi yang berkilauan, senyum yang merona. Dan kibasan rambut yang menggoda untuk disusupi. Elard teringat saat dirinya di perpustakaan memainkan helai-helai rambut Sasi. Saat ini, Elard ingin mengulangi. Sasi sendiri mulai salah tingkah dengan cara Elard memandanginya. Begitu tajam. Begitu liar. Kilatan di mata Elard justru membuat Sasi merasa sedang dibelai. Tubuhnya terasa hangat. Harus berhenti atau dirinya menjadi liar sendirian. Sasi tidak tahu jika Elard pun sudah liar dengan imajinasinya. "Elard! Ada apa?" Sasi bersuara dengan nada tegas dan sedikit keras. Agar Elard bereaksi. Berhasil. Mata Elard mengerjap beberapa kali dan kemudian salah tingkah sendiri. Tersenyum malu, ia mendekati Sasi. Elard mematikan segera imajinasinya. Elard duduk di tepi tempat tidur. "Kamu sudah tidur?" "Belum. Kenapa?" Dekatnya Elard, membuat Sasi berdebar-debar. "Ini buka harian Mama." Elard menunjukkan buku bersampul kulit Sasi menatapnya takjub. Ia melihat ada lipatan kertas yang tersembul. Elard melihat arah tatapan Sasi, membuka buku harian, dan menyerahkan kertas itu ke Sasi. "Ini pesan terakhir Daniel untuk Susan." Sasi menerima dengan penasaran. Perlahan dibukanya lipatan kertas itu. Dilihatnya sketsa tubuh seorang wanita yang memunggungi si pembuat gambar. Ia seperti tanpa busana, hanya menutupi dadanya dengan kain. Wajahnya menoleh ke samping kanan dan ia sangat cantik. Dengan hidung yang mancung. "Ini mamamu?" Elard mengangguk. "Dan yang menggambar itu Daniel." Sasi membelalak. "Serius?" "Baca puisi satu bait di pojok kanan bawah. Ada inisial namanya juga." 'Cinta kita adalah bahagia yang juga sedih dan sedih yang juga bahagia. Keduanya bukan pilihan melainkan takdir. Percayalah abadi. Dariku untukmu. Sepenuh hati. DG' "DG adalah inisial nama Daniel Geofrey bukan?" Sasi mengangguk. "Puisi ini?" "Daniel yang tulis." Sasi tak menyangka Daniel yang selama puluhan tahu ia kenal sebagai 'ayah' yang dingin dan tak punya perasaan, bisa sebegini romantis. Jika diingat, antara Daniel dan Rosa tidak pernah ada keintiman apalagi kemesraan. Bahkan di acara-acara tertentu, keduanya muncul bersamaan sebatas formalitas. Dalam hati Sasi bertanya-tanya apakah Rosa tahu akan ini? "Saya belum membaca buku harian Mama. Saya ingin membacanya bersamamu," pinta Elard. Ada perasaan senang sekaligus bahagia yang membuncah. Elard kini terbuka pada dirinya. Membiarkan dirinya masuk. Ini yang sejak dulu Sasi inginkan. Menyelam dan mengenali Elard sebagai tunangan. Mengingat itu, terbersit lagi sesal di hati Sasi. Seketika mempengaruhi ekspresinya. "Maaf," ucap Elard masygul. Cukup sadar diri jika Sasi masih membatasi diri terhadap dirinya. Rasa benci itu pasti sangat menguasai Sasi. Elard sudah berdiri, tetapi tangan Sasi menyulusup di sela telapak tangan Elard yang lebar. "Ayo, kita baca bersama." Sasi tersenyum manis. *** Leher Sasi mulai terasa sakit. Pinggangnya apalagi. Posisinya membaca hanya terasa nyaman di awal, tetapi semakin lama justru semakin tidak nyaman. Ia tidak bersandar duduk, melainkan sedikit merosot, dan yang bersandar adalah kepala hingga pundak. Ia baru selesai membaca sampai pada keresahan Susan untuk menyampaikan pada Daniel, perihal rencana pertunangannya dengan Aaron. Telihat huruf atau kata yang terhapus samar, seperti terkena air. Sasi menduga kalau saat menulis ini, Susan terus menangis. Sasi menoleh dan terkejut ternyata Elard sudah tidur. Kedua tangan terlipat di d**a. Kepalanya miring ke kanan dengan posisi tubuh yang masih sama seperti Sasi, tidak oleng, tidak juga jatuh ke sisi Sasi. Jika Sasi saja sudah merasakan sakit dan pegal, tidak kebayang bagaimana Elard. Ditutupnya buku harian Susan dan disimpannya di bawah bantal. Ditatapnya sekali lagi Elard. Rasa kasihnya tak bisa ditahan. Dibelainya kepala Elard dimulai dari kening. Sasi merasakan hangat yang tak biasa. Tidak ada keringat, mungkin karena pendingin ruangan. Tapi, itu justru aneh. "Elard...." Tak ada jawaban dari Elard. Sasi memegangi pipi Elard yang juga hangat. "Elard...." "Nggg...." Elard menjawab seperti mengigau. Matanya masih terpejam. "Elard.... Tidurnya yang benar." "Nggg...." Elardd memerosotkan tubuhnya hingga merebah. Matanya tak sedikitpun terbuka. Tangannya menarik selimut hingga leher. "Dingin?" tanya Sasi yang mulai khawatir. Tak lagi menjawab. Sasi menaikkan suhu kamar sedikit agar tak terlalu dingin. Kemudian turun dari tempat tidur. Keluar kamar berniat ke dapur untuk mencari baskom. Baru turun, Mahesa baru sampai rumah. "Baru pulang, Kak?" Sasi meliirik pada jam di dinding yang menunjukkan hampir pukul dua malam. "Kamu mau ngapain?" tanya Mahesa menghampiri Sasi. "Butuh sesuatu?" "Mau ke dapur cari baskom." "Buat apa?" "Nggg..., buat kompres." Sasi agak tidak enak hati jia bilang kalau Elard ada di kamarnya, meski dirinya yakin Mahesa tidak akan apa-apa. "Kenapa? Ada yang sakit? Kakimu?" Mahesa panik dan menatap Sasi keseluruhan. "Nggg..., Elard yang sakit." Mahesa melongo. "Elard sakit? Serius? Dia bisa sakit?" "Ih, Kak Mahesa." Mahesa tersenyum menggoda. "Kok, kamu tahu Elard sakit?" "Nggg..., Elard tidur di kamar saya." Mahesa melotot. "Eh, bukan begitu." Sasi menggerakkan dua tangan ke kanan kiri dengan cepat di depan wajah Mahesa. "Ini bukan seperti yang dipikirkan." "Oh..., ya...." Sasi memukul kaki Mahesa dengan kurknya. Membuat Mahesa mengaduh. "Memang enggak lagi apa-apain. Dia tadi ke kamar untuk mengajak saya membaca buku harian Susan. Tapi, dia ketiduran dan sepertinya susah bangun. Badannya juga hangat." "Kamu kembali ke atas. Saya belikan plester kompres untuk dewasa dan penurun panas." Sasi mengangguk. Dalam hati bersyukur memiliki Mahesa sepanjang hidupnya. Yang sudah berperan sebagai orang tua juga kakak. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD