Chapter 15

1085 Words
Dunia memang selebar daun kelor. Begitu juga takdirmu dan takdirku. *** Sasi sudah mandi setelah memasak untuk makan malam istimewa. Sudah juga berias. Tidak berlebihan, hanya sapuan bedak dan perona bibir warna peach. Pakaiannya pun yang terbaik yang dikenakan. Gaun biru terusan dengan bunga-bunga kecil berwarna merah. Rambutnya dikucir sebagian di bagian tengah, membiarkan sisanya terurai. Ia tidak keluar kamar. Gelisah menanti. Berulang dibacanya pesan Elard. Dibacanya juga jam terkirimnya. Harusnya sebentar lagi dia pulang. Sasi kemudian menimbang antara menunggu saja di kamar sampai Elard datang dan mengetuk pintu. Atau turun ke bawah. Gengsinya muncul. Jika menunggu ke bawah, maka Elard akan berbangga hati. Tapi, diam saja di kamar, justru membuatnya makin gelisah. Sudah mendekati pukul delapan malam. Toleransi Sasi atas kesabaran sudah habis. Dari perhitungan waktunya, harusnya Elard sudah sampai sekitar dua jam yang lalu. Melupakan yang namanya gengsi, Sasi meraih lagi kurknya, dan melangkah keluar kamar. Hatinya benar-benar gelisah. Ia takut terjadi apa-apa dengan Elard. Dari tadi dia mencoba menelepon Elard dan juga mengirimi pria itu pesan. Tak ada satu pun yang terjawab atau terbalas. Sampai di lantai bawah, Sasi memutuskan mencari Mahesa di kamarnya. Ia berniat meminta bantuan Mahesa untuk mencari tahu perihal Elard yang katanya akan kembali ke Bandung. Ia benar-benar khawatir terjadi sesuatu dengan Elard. Karena tak mendapati Mahesa di kamarnya, Sasi memutuskan ke perpustakaan. Dibukanya pintu perpustakaan tanpa mengetuk dan hal mengejutkan terjadi. Menyesakkan dadanya. Dan rasa terkejut berubah menjadi kesal teramat sangat. Mungkin pun marah. Didapatinya Elard, lelaki yang membuatnya menanti-nanti. Lelaki yang membuatnya berpikir hal menakutkan. Duduk santai di salah satu sofa, dengan kepala direbahkan ke belakang pada sandaran sofa. Elard terkejut dengan kemunculan Sasi. Tatapan Sasi yang tajam, mudah dimaknai sebagai kekecewaan. Elard jadi salah tingkah. Ia tadi terburu-buru ingin mendiskusikan banyak hal dengan Mahesa. Tak terpikir menemui Sasi dahulu. "Sasi. Hai," sapa Elard kagok. Salah tingkah sendiri. Perlahan dia berdiri. "Sudah dari jam berapa di sini?" tanya Sasi dingin juga sengit. "Nggg..., anu..., tadi..., saya...." Elard gagap. Ia sadar sudah berbuat salah. Harusnya ia segera mengabari Sasi perihal kedatangannya sebelum menemui Mahesa.  Elard melirik Mahesa, meminta bantuan. Tapi yang dilirik justru ikut menatap Elard dengan tatapan geli. Mahesa menikmati sikap Elard yang lebih manusiawi sebagai laki-laki yang mencintai seseorang. Bukan Elard yang dulu Mahesa kenal sebagai laki-laki tanpa hati dan jiwa. "Tidak usah memberitahukan apa-apa kalau memang sekedar basa-basi. Saya gak butuh!" Sasi memutar tubuhnya. Elard bergegas menghampiri Sasi dan berdiri di hadapan gadis itu. Melihat Sasi yang rapi, menawan, membuat Elard semakin merasa bersalah. Jelas Sasi mempersiapkan dirinya untuk menyambut kedatangannya. "Maaf. Saya tadi...." "Gak perlu menjelaskan apa-apa," potong Sasi sinis. Tubuhnya yang lebih rendah, membuatnya harus menelengkan kepala sedikit untuk bisa mengirimkan tatapan keji untuk Elard. Bukannya minder, Elard justru gemas dengan pose Sasi yang sedang menatapnya. Senyumnya lepas tanpa kendali dan itu semakin fatal. Sasi seketika merasa sedang diremehkan. "Minggir!" bentak Sasi sambil berusaha mendorong tubuh Elard. Hal yang sia-sia, karena tentunya Elard lebih kuat. "Saya tidak bermaksud melupakanmu atau mengabaikanmu, Sasi. Tapi, ini ada hal penting yang harus disampaikan ke Mahesa." "Iya. Saya paham, kok. Saya paham kalau saya bukan yang utama. Kan kita bukan siapa-siapa." Sasi menoleh ke arah lain, menahan air mata yang ingin jatuh. "Saat menjadi siapa-siapa saja diabaikan apalagi saat bukan siapa-siapa." Elard rasanya ingin membenturkan kepalanya ke tembok. Rasanya apa pun yang diucapkan menjadi salah dan bumerang kesialan bagi dirinya. "Saya ini sudah akan menemuimu," ujar Elard putus asa. "Ha, iya. 'Akan'. Akan itu bisa panjang waktunya. Besok pagi pun bisa menjadi akan." Elard menggaruk kepalanya kesal. Membuat rambutnya yang lebat menjadi berantakan. Sasi yang melihatnya menjadi gemas ingin merapikan. Tapi gengsinya sudah menguasai. "Baiklah. Maafkan saya. Saya salah untuk banyak hal." Elard memilih tak memberikan penjelasan lagi. Merendah sepertinya memang jalan terbaik. "Gak perlu minta maaf. Kamu gak perlu jelasin apa-apa, kok." Tiba-tiba Mahesa sudah berdiri di sisi Sasi. Memeluk gadis itu dengan sayang dan menatap Ealrd dengan kasihan bercampur geli. "Sudah dulu marahnya. Dilanjut nanti abis makan. Kamu gak lihat penampilan Elard yang lusuh begini," ujar Mahesa. Sasi perlahan mulai memperhatikan Elard yang penampilannya sudah berbeda dari Elard biasanya. Pakaian yang dikenakan bukan jenis bahan berkelas dan iya, Elard terlihat kumal. "Dia pinjam pakaian orang dan dia tadi ke sini pakai bis antar propinsi," lanjut Mahesa. Sontak Sasi memekik kecil. Ditatapnya mata Elard yang lelah. Ada penyesalan karena dia begitu sengit. "Kenapa?" tanya Sasi pelan. "Seseorang mengikuti saya," ucap Elard. "Siapa?" Elard menggeleng. "Itu kenapa Elard tadi langsung menemui saya. Sudah ngambeknya. Biarkan Elard membersihkan diri dulu dan makan." Mahesa menatap Elard. "Sasi memasak khusus buatmu, lho." Sasi mencubit kuat pinggul Mahesa sedang Elard tersenyum bahagia. Terima kasih. Masih ada kesempatan bagi saya. Elard membatin dan menatap Sasi sayang. *** Elard menikmati makanan Sasi dengan lahap. Ia bahkan tambah dua kali, membuat Sasi dan Mahesa terheran-heran. Elard selama ini memiliki gaya makan yang tenang. Ia bahkan tidak menambah. Sekali makan sudah cukup baginya. "Lapar? Atau doyan?" tanya Mahesa. "Dua-duanya," jawab Elard dengan sengiran jenaka. Ia kemudian menoleh ke arah Sasi yang duduk di sebelah kirinya.  "Tapi, karena ini masakan yang dimasak khusus Sasi untuk menyambut saya, maka saya tidak akan sia-siakan." Mahesa tertawa lebar. Tak menyangka Elard bisa begitu jago menggombal. Sedangkan Sasi, meski melotot sengit, tapi tak urung dalam hatinya berbunga-bunga. "Gak usah ngegombal kalau ternyata juga saya tidak penting," ungkit Sasi. "Lagian ini kan bukan pertama kalinya saya memasak." "Tapi, masakan yang ini dikhususkan untuk saya." Elard tersenyum manis. Sedang Sasi melengos dan Mahesa tertawa. Mahesa sudah menyelesaikan makannya terlebih dahulu. Ia mengabaikan puding karena ingin segera menemui Gusti. Sudah ada Elard, jadi Mahesa bisa keluar. Setelah makan, Elard mengajak Sasi menuju perpustakaan. Ada yang ingin dia ceritakan perihal ibunya. Di dalam perpustakaan. Sasi dan Elard duduk bersisian. Salah satu tangan Elard berada di belakang Sasi, di bagian sandaran bahu. Elard memposisikan tubuhnya menghadap Sasi. Memandangi wajah Sasi dari samping. Wajah yang meneduhkan sekaligus merindukan. Rambut yang dikuncir sebagian dan menggerai sisanya, menggoda tangan Elard untuk membelai sebagiannya. Kelembutan rambut Sasi, bermain indah di sela-sela jemari Elard. Membuat lelaki itu ketagihan. Ia tak sadar jika Sasi sudah menoleh. Sasi melihat wajah Elard yang letih. Terbersit iba dalam diri Sasi. "Bagaimana keadaanmu?" Pertanyaan sederhana, tapi mampu mengembalikan imaji liar yang sempat muncul pada realita. Elard kembali salah tingkah yang membuat Sasi bertanya-tanya. "Kenapa?" tanya Sasi polos. "Tidak. Tidak apa-apa. Kamu cantik." Sontak wajah putih Sasi bersemu merah. Saya rindu, batin Elard. "Katanya ada yang mau diomongkan," ujar Sasi. Cepat-cepat mengalihkan topik sebelum debaran dadanya di dengar Elard. "Ehm. Iya. Ini perihal ibu saya. Ibu kandung saya." Elard mulai bersikap serius. Begitu juga Sasi. "Saya rasa, Daniel punya sisi romantis di kehidupannya yang kejam." "Kenapa?" "Ibu saya adalah cinta pertama Daniel." Sasi terkejut. Bibirnya terbuka sedikit. Ia tak menduga punya ikatan takdir yang aneh dengan Elard. "Bagaimana? Bagaimana mereka bisa menjadi kekasih." Elard membelai lembut pipi Sasi yang tanpa penolakan. "Kisahnya panjang. Dengarkan, ya." ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD