Chapter 1

1303 Words
Bagai benang sulam yang kusut, perlu diurai agar bisa dipintal baik. *** Kamar yang begitu putih, memendarkan warna serupa mutiara ketika lampu menyala. Begitu kontras dengan. Hampir semuanya putih, hanya beberapa oenamen yang berwarna cokelat, hijau, biru, dan hitam. Membuat warna-warna itu mencolok indah. Seperti Sasi yang mengenakan baju santai warna putih, bersandar di kepala tempat tidur yang berwarna putih, menjadi menonjol karena rambutnya yang hitam dan selimutnya yang biru. Di sisinya da Adia dan di hadapannya ada Adelard; duduk di tepi tempat tidur. Mahesa duduk di kursi rias, tepat di sebelahnya. Sasikirana Geofrey, Adelard Blenda, dan Adia, terkesiap menatap Mahesa dengan ekspresi yang sama; melongo dan membelalak. Informasi Mahesa benar-benar di luar dugaan dan nalar. Tak ada yang bisa menduga kalau kenyataan akan Sasi dan ayahnya, ternyata sesuatu yang dramatis. "Bohong, 'kan, Kak?" tanya Sasi yang mulai menegakkan tubuhnya. Kelopak matanya berkedip. "Tidak Sasi. Itu memang kenyataannya. Daniel Geofrey, yang selama ini kamu panggil Papa, tak lain adalah kakak tirimu sendiri. Kalian tidak pernah ada hubungan ayah dan anak, hubungan kalian adalah adik dan kakak." Mahesa mengulang penjelasannya. Mahesa mengambil jemari Sasi, membelainya lembut. "Sasi, kamu bukan putri bungsu Daniel Geofrey. Kamu adalah adik tiri Daniel Geofrey. Kenyataan itu tidak bisa diubah." "Ta...tapi bagaimana...?" Sasi tak sanggup melanjutkan. Dia bingung dan kalut. Fakta yang diterimanya membuat Sasi tidak tahu harus bagaimana. Jiwanya terguncang. Selama puluhan tahun, Sasi mengenal Daniel Geofrey sebagai ayahnya. Akte kelahirannya dan semua dokumen mencantumkan statusnya sebagai anak sah dari Daniel Geofrey. Mendapati kenyataan ini, berarti semua identitas tentang Sasikirana sudah dipalsukan sejak dirinya masih bayi. "Panjang lagi ceritanya. Nanti pasti saya ceritakan. Saya mau menyampaikan yang lebih genting dari sekedar kenyataan kamu adalah adik tiri Daniel." "Saya mau ceritanya sekarang!" tuntut Sasi dengan air mata mengalir deras. "Siapa nama ayah saya? Saya tidak pernah tahu nama kakek saya.... Kakek saya berarti adalah ayah saya sendiri?" Sasi menutup mulutnya sendiri. "Tenang, Sas. Kasih Kak Mahesa waktu." Adia merangkul Sasi dan membelai lembut lengan Sasi. Sebagai sahabat, Adia dapat merasakan jiwa Sasi yang terguncang. Dirinya yang orang luar saja syok, apalagi Sasi. "Ayahmu yang juga adalah ayah Daniel, bernama Albert Geofrey dan ibumu bernama Saraswati. Keduanya.... Meninggal." Tidak wajar, lanjut Mahesa dalam hati. "Lalu..., lalu bagaimana? Bagaimana ceritanya mereka meninggal? Lalu kenapa saya harus lari? Kenapa?" tanya Sasi histeris. Kembali Adia mencoba menenangkan. "Sasi. Saya tahu berjuta tanya ada di hatimu yang menuntut jawab. Tapi, pasti ini juga berat untuk Mahesa. Beri dia waktu menjelaskan semua," ujar halus Elard. Gadis itu menurut dan terdiam walau masih menangis. Diam-diam Mahesa kagum, ternyata Elard masih punya pengaruh pada Sasi. "Apa yang membuatmu harus lari adalah demi keselamatanmu sendiri. Ini terkait dengan harta warisan. Ini juga terkait kenapa kamu tidak diberi keleluasaan bekerja di luar. Daniel ingin menguasai semua dan Daniel tidak mau ada orang yang tahu terlalu banyak tentang dirimu." "Warisan apa?" tanya Sasi. "Albert membagi warisan menjadi dua dengan perincian yang jelas. Tetapi Daniel tidak terima. Berkali-kali isi surat wasiat diubah. Ayah saya adalah sahabat Daniel, tetapi beliau menjadi pengacara Albert. Ayah saya tahu isi surat perjanjian warisan yang baru. Pagi itu, Daniel datang bersama centeng-centengnya ke vila Albert. Dia menuntut perubahan lagi. Tetapi kali itu Albert sudah tidak mau memenuhi keinginan Daniel. Beliau tetap kokoh dengan isi surat perjanjian terakhir. Ayah saya ada di ruangan lain. Beliau sudah merasa keadaan semakin genting. Beliau memang punya kopinya, tetapi beliau melihat kamera Albert. Ayah saya mengambil dan memotret lembar perlembar surat perjanjian. Saya tidak yakin detailnya, yang pasti ayah saya pergi keluar bersama ibumu dan kamu yang masih bayi. Kemudian ibumu menuntut untuk turun. Ibumu mengkhawatirkan Albert. Beliau menyuruh ayah saya pergi dan menjaga dirimu. Ayah saya tahu, Daniel seperti anjing herder, sekali menggigit akan sulit dilepas. Beliau mengatur strategi baru demi melindungimu dan saya. Ayah menitipkanmu pada saya dengan segudang cerita. Ayah saya menyembunyikan film dan kopian dokumen di makam kakek saya. Ayah juga mengingatkan saya, untuk mengancam Daniel jika Daniel datang." "Mengancam bagaimana?" tanya Elard penasaran. "Saya berdusta jika ada orang lain yang menyimpan kopian wasiat. Saya akan menyerahkan semua pada Daniel, jika Sasi menikah. Dan saya harus tetap berada di dekat Sasi sampai Sasi menikah." "Memangnya kenapa jika Sasi tidak menikah?" tanya Elard lagi. "Setengah warisan harus diserahkan pada Sasi saat usianya menginjak 25 tahun." "Tapi di usia 23 tahun, saya justru memutuskan tali pertunangan." Elard tak henti memaki dirinya sendiri. "Jika Sasi menikah, maka Sasi hanya mendapat sepuluh persen bagian dan tunjangan bulanan. Semua perusahaan juga properti menjadi milik Daniel. Termasuk vila Albert. Lain jika Sasi meninggal atau menandatangani perjanjian perwalian seumur hidup dengan Daniel, maka penguasaan atas semua aset Sasi berada di tangan Daniel. Sasi tidak akan memiliki apa-apa. Hidupnya sepenuhnya akan tergantung pada Daniel." "Itu kenapa waktu Kak Mahesa melarang saya tanda tangan atas semua dokumen yang disodorkan?" tanya Sasi "Iya." "Sampai kapan Sasi sembunyi?" tanya Elard. "Sampai semua kebusukan terbongkar. Kau masih setia, 'kan, Elard? Ini akan menjadi perjalanan yang melelahkan dan menyakitkan. Akan ada yang terluka." Mahesa menatap Elard tajam, begitu juga sebaliknya. Elard mengangguk mantap. Apa pun, demi Sasi, Elard bersedia. "Adia?" tanya Mahesa. "Tidak akan ada lagi yang memisahkan saya dengan saudari saya." Adia dan Sasi saling menatap dan berpelukan. Tak perlu ikatan darah untuk menjadi saudara sehati. "Sementara ini dulu. Saya habis dari Jakarta. Saya lelah. Besok akan saya ceritakan hal lain. Sekarang kita istirahat dulu." Anjuran Mahesa dijawab anggukan kepala saja. Mahesa yang lebih dulu berdiri dan melangkah ke pintu. Kemudian dia teringat sesuatu. Dia mengeluarkan foto lama dari saku dan kembali mendekati Sasi. "Sas, ini wajah ibumu." Sasi menerima foto usang dari Mahesa. Wajahnya tertegun menatap foto usang itu. Mata madunya tak lepas dari sosok wanita dengan rambut sebahu yang dibiarkan terurai dan terlihat sedikit berantakan yang sepertinya sednag dimainkan angin. Wajah wanita itu sangat cantik. Ada bagian dari wajahnya yang menyerupai Sasi. Elard merubah posisi duduknya dan kini berada di sisi kiri Sasi. Ia dan Adia ikut melihat foto usang itu. "I...ini ibu saya?" tanya Sasi tanpa melepaskan matanya dari sosok wanita dalam foto. "Iya. Beliau ibumu, Saraswati," tegas Mahesa. "Mama...," gumam Sasi lirih ditemani air mata yang langsung luruh, mengalir di pipinya. Dibelainya sosok sang ibu dalam foto dengan jemarinya. "Di kirinya adalah ayah saya, Lukman," ujar Mahesa. Lukman, memiliki karakter yang sama dengan Mahesa. Wajah kotak dengan tulang rahang menonjol. Matanya yang menyipit karena tersenyum, mengingatkan semua akan gaya Mahesa jika tersenyum atau tertawa. Di sisi lain Saraswati sudah dipastikan Daniel Geofrey. Wajah muda Daniel terlihat berbeda, tepatnya pada ekspresi. Daniel muda memiliki ekspresi wajah yang hangat dengan tawa lebar. Selagi ketiganya mengamati foto usang, tiba-tiba Sasi mendekatkan foto. Matanya menyipit dan wajahnya serius berpikir. Ada sesuatu di foto itu yang menarik perhatiannya. "Kenapa, Sas?" tanya Elard yang lebih dulu melihat perubahan pada sikap dan wajah Sasi. "Ini kan rumah yang di Bogor." Mahesa dan yang lain terkejut. Ketiganya kini menatap Sasi bingung. "Kalian punya rumah di Bogor?" tanya Elard. "Bagaimana kamu tahu?" tanya Mahesa. "Kak Mahes, lupa? Sejak SD kelas empat, setiap tahunnya, di musim libur. Saya selalu diliburkan ke luar kota. Itu ke Bogor. Kenapa saya tidak bisa memberitahukan setiap Kak Mahes bertanya? Karena Papa..., maksud saya dia, dia melarang saya memberitahukan siapa pun atau saya tidak akan pernah merasakan yang namanya liburan." Mahesa tidak pernah menduga Sasi akan dibawa ke rumah lama di Bogor. Selama ini ia mengira Sasi dibawa ke vila Albert di Bandung. Mahesa berpikir, Daniel mungkin menebus dosa masa lalu dengan mendekatkan Sasi dengan kenangan akan Albert, meski Sasi tidak tahu-menahu perihal Albert. Kenapa ke Bogor? Kenapa bukan ke vila? Apa alasanmu Daniel Geofrey? Ada sesuatu. Pasti ada sesuatu, batin Mahesa bertanya-tanya. "Apa kamu sendirian di sana?" tanya Mahesa. Sasi menggeleng. "Ada pengurus rumah dan cucunya. Seorang wanita tua, saya memanggilnya Nenek Asti dan cucunya masih kecil, namanya Riki." "Hanya itu?" "Iya. Hanya ada mereka berdua." Pikiran Mahesa buntu. Ia merasa ada sesuatu. Ada juga yang janggal. Namun, ia tidak tahu apa. Tak ada yang bicara, semua terdiam dengan pikiran masing-masing. Kenyataan yang disembunyikan sudah naik ke permukaan satu per satu. Tapi, masih ada kepingan puzzle yang menyebar. Takdir. Ikatan. Mati. Hidup. Masing-masing terlahir membawa cerita. Malam ini diakhiri dengan jawaban baru akan suatu misteri. Bukanlah penyelesaian. Masih merupakan jalan yang panjang. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD