Chapter 2

795 Words
Langit para Dewa diguncang hebat. Seorang pendeta di neraka berteriak akan keadilan. Sepertinya ada yang harus dibenarkan dari apa yang disalahkan. *** Kamar yang temaram. Hanya dipijari lampu meja kerja berwarna cokelat dan Mahesa duduk diam. Wajah perseginya begitu muram. Salah satu jemarinya mengetuk meja seperti alunan detik pada jam di dinding. Kenyataan baru mengejutkan. Sebuah praduga baru. Mahesa merasa benang kusut yang tadinya ia sangka akan mudah diurai, justru semakin tidak jelas bentuknya. Ia sampai tidak tahu harus memulai dari mana. Semua informasi menjadi melompat-lompat. Daniel orang yang pintar, Mahes. Kamu harus terus waspada. Kamu harus jauh lebih pontar darinya. Kamu harus menjadi dirinya untuk tahu bagaimana dia berpikir. Kata-kata ayahnya itu terngiang di kepala Mahesa. Menjadi Daniel begitu rumit. Dosa terlalu besar dan banyak, membuat jalan pikir Daniel berliku dan sulit diikuti. Pitu kamarnya diketuk perlahan dan terdengar suara Elard, "Mahes." Mahesa berdiri. Saat pintu dibuka, Mahes melihat betapa gusarnya Elard. "Kenapa?" "Saya bisa masuk?" Mahesa mengundurkan diri, memberi jalan bagi Elard untuk masuk, dan kemudian menutup pintu kamar. "Saya harus kembali ke Jakarta saat ini juga." Mahesa terkejut. "Kenapa? Ada masalah di Jakarta?" Elard terdiam, berkacak pinnggang. Pandangannya turun ke bawah. Bingung baginya menjelaskan situasinya pada Mahesa. Namun, ia tak punya pilihan. "Ibuku meninggal." "Hah?" Berita yang tak terduga di saat tak terduga. "Duduk dulu." Mahesa kemudian bingung sendiri ke mana ia musti mempersilakan Elard duduk. Karena hanya ada satu kursi di kamarnya, Mahesa kemudian duduk di tempat tidur, sedang Elard duduk di kursi meja belajar. "Bagaimana ceritanya? Ibumu sakit apa?" Mahesa mengenal Veronica sebagai sosok wanita yang aggun sekaligus energik. Tak terlihat lemah bahkan tak pernah terdengar kabar sakit. "Bukan." "Bukan?" "Ini ibuku yang lain. Ibu kandungku." Mahesa terkejut. Ia tak pernah menyelidiki detail anggota keluarga Elard saat dulu untuk pertama kalinya Elard meminta Sasi sebagai tunangannya. Ia hanya menyelidiki detail Elard dan perusahaannya. Ini berita tak terduga. "Ibu kandungmu meninggal?" "Ya." "Boleh tahu kenapa?" "Kecelakaan." Mahesa mengangguk-angguk. Rasanya tidak tepat waktu menanyakan detail bagaimana kecelakaannya. Masih ada waktu. Mahesa berdiri dan mengambil ponsel di meja belajar. "Aku akan suruh orang untuk menemanimu. Jangan menyetir sendiri." "Jangan, Mahes," cegah Elard. "Saya bisa menyetir sendiri. Kamu masih butuh orang untuk menjaga Sasi juga Adia." "Ini sudah mau subuh. Kamu belum tidur sama sekali. Dan kita sedari tadi digadapkan pada ketegangan. Bandung–Jakarta tidak dekar, Elard." "Saya baik-baik saja. Saya hanya kepikiran Sasi. Saya tahu orang-orangmu bisa dihandalkan, tetapi..., jika bukan saya sendiri yang menjaga Sasi, perasaan saya tidak nyaman." Mahesa menatap wajah kusut Elard. Dalam hati bertanya-tanya, jika begitu pedulinya Elard kepada Sasi, lalu kenapa dulu ia memutuskan pertunangan dan menyebabkan ini semua menjadi porak-poranda. Ada hal yang patut disyukuri dan ada hal yang menjadi sesal. Kejadian ini, justru menjadi jalan bagi Mahesa untuk membuka takbir misteri kematian ayahnya dan kematian orang tua Sasi, dan itu yang Mahesa syukuri. Tapi, menjadi sesal karena ini kemudian menjadi membahayakan bagi banyak orang yang terlibat. Mahesa menepuk pundak Elard. "Sasi akan dalam pengawasan saya penuh. Kamu jangan berpikir banyak." Elard mengangguk-angguk. Pikirannya bercabang. Perasaan dilema bercampur dengan kekhawatiran. Ada yang salah dengan meninggalnya Susan. Itu hanya sebuah praduga yang sebenarnya kurang tepat. Tapi, hatinya mengatakan ini ada kaitannya dengan Daniel. Terakhir kali ia menelepon ibunya, ia ada di sebuah klub malam yang entah di mana. Masih didengarnya suara musik khas hiburan malam. Pun begitu, suara Susan sangat jelas, tidak ada nada mengambang yang mengindikasikan mabuk, hanya suara napas memburu yang mengesankan Susan melangkah cepat. Masih terngiang dialog antara dirinya dan Susan. *** "Elard?" "Ya, Ma?" Elard mendengar napas ibunya yang naik turun tidak teratur. Mungkin ibunya meninggalkan klub malam dengan langkah terburu-buru untuk bisa masuk ke dalam mobil. "Apakah kamu masih bertemu Sasi?" tanya Susan. "Kenapa?" "Mama tidak suka kalau kamu masih sama Sasi." "Mama mulai mengatur?" Elard mulai tidak suka dihasut. "Tidak. Bukan begitu. Jangan salah paham lagi. Hanya saja..., ada yang salah dengan Daniel." *** Tubuh Elard diguncang lembut oleh Mahesa. Mengembalikan dia pada hari ini. "Ada apa?" Mahesa sangat tahu jika ada sesuatu yang sedang dicoba untuk disembunyikan oleh Elard. "Saya bingung." Elard menumpu sikutnya di meja dan jemarinya mengelus dagu dengan kasar. "Saya bingung apakah ini perlu disampaikan." Mahesa mengernyit. "Jika ini ada kaitannya dengan Sasi, Daniel, atau salah satu di antara kita, maka sampaikan. Kita sudah sepakat bahwa segala informasi tidak disembunyikan." Untuk yang kesekian kalinya, Elard melepaskan napas panjang. Mempersiapkan diri. "Ibuku adalah kekasih Daniel di masa muda." Seperti yang sudah diduga Elard. Mahesa terkejut. Kedua matanya membulat tak percaya. Benang takdir yang aneh antara Adelard Blenda dan Sasikirana Geofrey. Begitu banyak yang terduga. Itu semua terjadi hanya sehari semalam. "Dia bahkan punya hubungan cinta di masa lalu dengan Daniel Geofrey, sebelum akhirnya menikah dengan ayahku. Dia.... Dia tahu perihal Sasi." Begitu terkejutnya, Mahesa goyah. Langkahnya mundur dan kemudian kembali duduk di tepi tempat tidur. Kali ini pikirannya buntu. Yang bisa dipikirkannya adalah bahwa Tuhan sedang bekerja cepat. Atau mungkin tuntutan dari yang sudah pergi karena menderita sedang memaksa untuk dikuak. Tuntutan akan kebenaran. "Seberapa banyak yang ibumu tahu tentang Sasi? Dan... Dan apakah Sasi tahu perihal ibu kandungmu?" ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD