Chapter 3

1130 Words
Aku kehilangan surga saat aku kecil. Sementara. Dan aku kehilangan surgaku lagi saat aku dewasa. Selamanya. *** Tak ada yang benar-benar bisa tidur. Bahkan Adia yang memilih tidur di kamar Sasi, juga tak benar-benar nyenyak. Ia seringkali terjaga untuk memastikan Sasi baik-baik saja dan mau istirahat. Tapi, Sasi tidak bisa. Berulangkali ia memandangi foto usang itu dengan perasaan campur aduk. Terutama saat memandangi wajah ibunya yang begitu ceria. Begitu cantik. Begitu muda. Begitu tragis. Hati Sasi menjadi pilu. Mama.... Ini saya Sasi. Banyak yang ingin saya tanyakan sebagai nostalgia, tapi.... Tidak bisa. Sekejap saya sudah yatim juga piatu. Air mata meluruh tanpa bisa dibendung Sasi. Sayup terdengar bunyi pintu garasi dibuka, mesin mobil menyala. Ada yang pergi. Siapa? Kak Mahesa? Dia pergi lagi? Sasi menengadahkan wajah, memeriksa waktu dari jam di dinding. Mendekati Subuh. Perlahan Sasi menurunkan kakinya dan mengambil kurk yang diletakkan di sisi tempat tidur. Setelah memastikan Adia tidak terjaga lagi, Sasi berdiri dan keluar kamar. Tepat di depan kamarnya adalah kamar Elard. Tak ada suara, begitu senyap. Pikirannya berkata Elard mungkin sudah tidur. Namun, hatinya berkata kalau tidak mungkin Elard tidur. Tidak punya alasan kenapa Elard tidak tidur, seperti insting. Ingin memastikan, Sasi mendekati kamar Elard, mengetuknya perlahan, kemudian malu sendiri. Sasi malu karena merasa seperti seorang kekasih yang penasaran dengan keadaan pasangannya, sampai harus mengetuk pintu kamarnya untuk memastikan sang pujaan hati baik-baik saja. Padahal statusnya dan Elard kini bukanlah apa-apa dan bukan siapa-siapa. Karena tak ada jawaban, Sasi sedikit merasa lega. Dengan begitu ia tak perlu berhadapan dengan Elard. Sasi kemudian mengambil kesimpulan yang pergi adalah Mahesa. Namun, baru berbalik dan hendak menuju kamarnya, dalam diri Sasi menuntut untuk memeriksa kamar Elard. Hatinya berdegup. Menuntut Sasi untuk mengabaikan malu dan membuka kamar Elard. "Elard...," panggil Sasi dengan suara pelan. "Kamu tidur...?" Jemari Sasi memegang kenop pintu sembari menunggu jawaban. Nihil. Sunyi. Sasi kemudian memutar kenop pintu. Membuka sangat pelan daun pintu. Dan yang ia lihat hanyalah kegelapan yang samar karena masih mendapat cahaya dari luar. Sasi tidak pernah tahu bagaimana Elard tidur. Apakah ia suka gelap ataukah suka dengan cahaya. Tangan Sasi terjulur ke dinding, meraba mencari sakelar lampu. Tap! Lampu menyala. Sesaat Sasi mengerjapkan mata untuk menyesuaika retinanya dengan tangkapan cahaya. Dan Sasi terkejut. Kamar Elard kosong. Bagian sisi tempat tidur ada yang kusut, tanda Elard memang sudah masuk kamar, dan duduk. Ada nyeri di dalam d**a. Kecewa karena ditinggal begitu saja oleh Elard. Katanya mau jagain. Katanya siap ngejaga. Mana? Sama saja seperti dulu. Janji akan menjadi pelindung. Tapi memutuskan pertunangan begitu saja tanpa penjelasan. Sasi menutup amar Elard dan kembali masuk ke kamarnya dengan membanting pintu. Membuat Adia terjaga. "Sas? Dari mana?" "Maaf. Kamu kebangun, ya. Ayo, tidur." Sasi mendekat dan mulai merebahkan diri di sisi Adia. "Elard baik-baik saja, 'kan?" tanya Adia dengan menggumam dan mata masih terpejam. "Hah?" Senyum lemah terukir di wajah Adia. "Kamu keluar untuk melihat keadaan sang pujaan hati, 'kan?" "Idih!" pekik Sasi malu. Dicubitnya pipi Adia gemas. "Sok tau." "Sakit, ah!" Adia menepis tangan Sasi dan tertawa kecil. Sebagai sahabat, ia tak bodoh untuk tahu jika Sasi memikirkan Elard. "Dia baik-baik saja, 'kan?" Sasi menatap langit-langit kamar. "Dia baik-baik saja." *** Sepanjang perjalanan Bandung ke Jakarta, Elard selalu terhubung dengan Azka atau dengan ayahnya, Aaron Blenda. Azka terus mendampingi kasus kecelakaan ibunya. Memantau dan bertanya kemungkinan-kemungkinan dengan pihak kepolisian. Sedangkan ayahnya, menghubungi banyak kerabat, termasuk orang tua Susan yang tak lain adalah kakek dan nenek Elard. Elard juga berkomunikasi dengan ibu tirinya, Veronica. Tak henti ia bersyukur memiliki ibu tiri yang begitu mulia. Ibunya mau pontang-panting menyiapkan segala sesuatunya terkait prosesi pemakaman di rumah Susan. Waktu tempuh menjadi pendek karena jalanan tak ramai. Pukul enam pagi, matahari sudah mulai menyemburatkan sinarnya dengan tenang. Tak ada lagi gelap. Elard lebih dulu ke kantor polisi setempat. Di sana masih ada Azka yang menunggu sesuai permintaan Elard. "Bagaimana?" tanya Elard setelah memeluk adiknya itu sekilas. "Kecelakaan murni, Kak. Saksi mata mengatakan kalau Tante Susan menghindari mobil di hadapannya dan membanting setir. Ada kadar alkohol di dalam darahnya. Tidak besar. Tapi, polisi tetap menyimpulkan, itu juga yang jadi penyebab Tante Susan lalai." Elard mengusap wajahnya. Sepanjang jalan, ia punya spekulasinya sendiri. Ada yang tidak benar dengan kematian ibunya. "Mobil mana?" tanya Elard. "Di tempat penyitaan barang bukti. Ada di parkir belakang. Mau lihat?" Elard mengangguk. "Kita lapor dulu." Keduanya kini sudah berdiri di depan mobil merah Susan, didampingi seorang polisi. Elard dan Azka diperkenankan memeriksa mobil sampai ke bagian dalam. Memastikan tidak ada barang berharga yang tertinggal. Tatapan Elard nanar mendapati mobil ibunya yang sebagiannya hancur. Ia tak bisa membayangkan bagaimana ibunya yang sendirian, menyetir di kegelapan malam, dan kemudian maut sudah di depan mata. Dibukanya pintu mobil depan, bagian sopir. Seketika terasa udara hangat menyapa Elard dan dengan cepat berubah menjadi sangat dingin. Kehangatan itu seperti sapaan singkat dan sapaan terakhir sang ibu yang puluhan tahun sudah membuatnya menderita. Puluhan tahun ia keholangan kasih sayang ibu kandungnya. Puluhan tahun dendam dirawat di hatinya. Namun, mengingat usaha ibunya di dua tahun terakhir untuk mencoba mendekatinya, hati Elard pun luluh. Terselip rasa berdosa dalam diri karena tidak terlalu menanggapi Susan. Setitik air mata jatuh. Air mata pertamanya untuk sang ibu yang pernah melahirkannya juga pernah menyayanginya. Mama..., maafkan Elard. Maaf, karena di tahun-tahun terakhir, saya tidak membuka hati pada kasih sayangmu. Maaf, Ma. Maaf.... Kata maaf yang terus terulang di hati Elard, menambah deras aliran air matanya. "Kita ke rumah sakit, Kak. Menjemput Tante Susan. Ini sudah terlalu lama. Kasihan." Azka mengingatan. Elard menghapus cepat air matanya. Ditutupnya kembali pintu mobil. Saat akan beranjak, Elard memangkap warna lain di kanan mobil. Samar, tetapi terkena matahari pagi, warna itu terlihat. Hijau. "Apa ini murni kecelakaan tunggal?" tanya Elard pada polisi yang mendampingi. "Sementara begitu, Pak. Tidak ada kecelakaan lain selain dari mobil ini." "Berapa kadar alkohol ibu saya?" "Kisaran sepuluh persen." "Itu belum kategori mabuk. Apakah ini tidak aneh jika kecelakaan tunggal? Anggaplah ibu saya mabuk, setidaknya ada korban lain, bukan? Korban lain maksud saya selain rumah yang dirusak, korban lain yang juga berkendaraan. Sepeda motor atau mobil lain misalnya," buru Elard. Polisi yang mendampingi tercenung. Ia menatap tajam Elard. "Ada kecurigaan lain dari pihak keluarga?" Elard diam. Ia merasa polisi di hadapannya justru sedang mengorek informasi darinya. Dia memang punya kecurigaan, tetapi enggan disampaikan begitu saja. Apalagi setelah tahu jika Daniel memiliki koneksi yang kuat di kepolisian. "Tidak. Tidak ada. Kapan saya bisa mengambil mobil ibu saya?" tanya Elard, mengalihkan pembicaraan. "Setelah mobil almarhum diperiksa, Anda bisa bawa pulang. Akan ada surat resmi untuk itu." Elard mengaggukkan kepala. Ia dan Azka kemudian berpamitan. Azka dan Elard memisahkan diri karena parkir kendaraan yang berbeda. Saat Elard akan membuka pintu, seseorang memanggilnya. Polisi yang tadi mendampingi melihat mobil Susan, datang menghampiri dengan langkah cepat. "Pak Elard, pertanyaan Anda tadi, karena timpaan warna hijau di mobil almarhum, bukan?" Elard terkejut. Ia tak menduga polisi itu bisa menyimpulkan dengan tepat. Ditatapnya dalam mata si polisi. Ia tidak tahu nama si polisi karena yang bicara sebelumnya adalah Azka. Ia juga hanya menggunakan kaos tanpa name tag. Ada keraguan. Polisi ini sampai harus mengejarnya, membuat Elard bertanya-tanya. Mungkinkah ada keterkaitan si polisi dengan Daniel? ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD