Chapter 4

1088 Words
Mawar hitam menyimbolkan loyalitas akan cinta tetapi di saat bersamaan juga menyimbolkan kesedihan berkepanjangan akan cinta. *** Sasi benar-benar tidak tidur. Dia memang memejamkan mata, tetapi bukan tidur. Pikiran dan hatinya terpusat pada Elard. Kepergian Elard yang tiba-tiba tanpa penjelasan, membuat dirinya menduga-duga. Kemungkinan-kemungkinan yang sifatnya positif ataupun negatif, seliweran. Tak ada wajah-wajah sehat saat semua berkumpul di meja makan. Adia tak henti menguap. Sasi sudah memintanya untuk tidak ke restoran, tetapi Adia memaksa untuk tetap bekerja. Sasi sendiri juga terlihat lemah. Di bawah matanya muncul bayangan gelap yang semakin nyata karena wajah Sasi yang memucat. Mahesa terlihat jauh lebih parah. Tak hanya wajah yang pucat, kedua matanya memerah dan berair. Bayangan hitam juga terlihat sangat jelas. Dia bahkan menguap dengan suara keras dan membuat kedua wanita muda itu tertawa. "Gak tidur, Kak?" tanya Sasi. Mahesa menatap Sasi dan tertawa geli. "Memangnya ada di antara kita yang benar-benar bisa tidur?" "Hahaha.... Benar juga. Saya tidur kaget-kagetan," ujar Adia. Pandangannya beredar ke atap. "Tapi, sepertinya ada yang tertidur pulas." Mahesa melihat wajah Sasi yang merengut. Arah pandangan Adia sudah jelas ke lantai atas, merujuk pada Elard. Sudah siap menjelaskan, terdengar dering dari ponselnya. Setelah membaca siapa yang menelepon, Ia segera menerima tanpa berpindah posisi. "Kamu sudah sampai?" tanya Mahesa tanpa salam pembuka. Di seberang, Elard menjawab bahwa ia baik-baik saja dan dalam perjalan ke rumah sakit setelah dari kantor polisi. Ada hal yang ingin didiskusikan dengan Mahesa, tetapi Elard berkata nanti setelah pemakaman dan semua urusan selesai. Kemudian Elard minta disambungkan dengan Sasi karena ponsel gadis itu belum boleh dinyalakan. Mahesa tersenyum kecil dan menatap Sasi yang juga menatapnya bertanya-tanya. "Ada yang kehilangan sepertinya. Hahaha.... Ini telpon buatmu." Mahesa menyodorkan ponselnya. Sasi mengernyit dan menerima ponsel Mahesa. "Halo?" "Kamu bisa tidur?" Suara khas Elard tak hanya mengalir melalui telinga kanan, tetapi juga ke hati, dan kemudian ke seluruh jiwa Sasi yang berjam-jam sebelumnya terus memikirkan Elard. Manisnya cara Elard bertanya, membuat Sasi senang sekaligus malu. Tidak. Saya tidak bisa tidur. Saya tidak menemukanmu di kamar. Kamu pergi begitu saja, dan saya kepikiran, cetus Sasi dalam hati. "Iya," jawab singkat Sasi untuk Elard. "Sungguh?" Rasanya memang sulit menyembunyikan sesuatu dari Elard. Lelaki itu seolah sudah sangat mengenali Sasi. "Tidak terlalu bisa tidur," jawab Sasi pelan. "Jangan berpikir banyak, Ik Schat. Kita pasti menemukan jawaban-jawaban dari setiap pertanyaan. Kita akan mengurainya sama-sama. Sabar, ya." Sasi diam. Hatinya entah bagaimana mengembang. Kata-kata Elard membuatnya sangat nyaman. "Kamu di mana?" tanya Sasi. "Saya harus pulang ke Jakarta." "Kenapa?" Hening. "Susan Aleiyah mengalami kecelakaan dan meninggal." Sasi terkejut. Wanita yang identitasnya baru diketahuinya kemarin malam sebagai ibu kandung Adelard Blenda, wanita yang menyebabkan kestabilan rasa dan berpikir Elard menjadi kacau, wanita itu kini meninggal. "Kamu baik-baik saja?" "Saya tidak apa-apa. Saya putra satu-satunya. Dan dia adalah ibu saya. Saya ingin mengurusnya," jawab Elard. "Kalau kamu butuh saya untuk...." "Saya butuh kamu untuk baik-baik saja, Sasi," potong Elard. "Turuti kata-kata Mahesa. Jangan keluar dari rumah, bahkan juga jangan ke taman. Tunggu saya. Kamu bisa?" Sasi mengangguk. "Iya." "Saya akan minta Mahesa memberikanmu nomer baru. Kamu harus memegang ponsel." "Iya." "Sudah dulu, ya." Sasi diam. Sasi masih enggan. Seketika ia merasa sedih. Air mata mengambang di pelupuk. Kamu akan cepat pulang, 'kan? Kamu cepat pulang, ya, batin Sasi menggumam harap. "Saya akan cepat pulang." Sasi membelalak. Entah ini adalah ikatan batin atau Elard asal menebak, tetapi hal itu membuat perasaan Sasi senang sekaligus sedih. Senang karena Elard memahami isi hati dan pikirannya. Sedih karena mereka berjauhan lagi. "Hati-hati." Tak lama ponsel kembali diserahkan pada Mahesa. Melihat masih ada sambungan telepon, Mahesa menempelkan ponsel ke telinga. "Bagaimana?" Elard meminta Mahesa memberikan nomer baru untuk Sasi. Ini agar memudahkan bagi semua untuk saling berkomunikasi. Mahesa menyanggupi dan tak lama ponsel ditutup. Dilihatnya wajah Sasi yang berubah tak lagi sendu. Mahesa tersenyum. Dalam hati berharap, sendu itu memang selamanya akan hilang. *** Elard tak banyak bicara. Ia melakukan semua yang terbaik untuk ibunya. Ia juga melakukan penghormatan yang khidmat untuk sang ibu saat peti jenazah dimasukkan ke linga lahat. Desir kesedihan menoreh di hati Elard melihat peti mati ibunya turun perlahan. Bertahun-tahun sosk sang ibu menetap di kepala dengan segala hujaman kematian. Sekarang, saat ibunya benar-benar tiada, ada ketidakikhlasan. Mungkin karena belakangan, ia sudah berdamai dan memaafkan sang ibu. Maafkan saya, Ma. Saya terlambat membuka hati. Sejujurnya, saya merindukanmu di tengah dendam saya. Maafkan saya. Ma.... Saya tahu ada yang salah. Meski sudah terlambat, tetapi saya akan mengungkap semua, demi bakti saya yang terakhir untukmu. Yang tenang, ya , Ma. Bagai sebuah restu dari alam baka, angin dingin menyelusup melalui tengkuk Elard dan di sela jemari tangan kanan Elard. Jemari Elard menekuk seolah sedang menggenggam. *** Matahari tak benar-benar benderang. Ada awan abu-abu yang menemani. Daniel Geofrey, berdiri diam di ujung dermaga batu. Tatapannya lurus ke ujung bumi. Mengabaikan sekitar termasuk debur ombak yang menyambar tepian dermaga dan kemudian memberikan percikan kecil di kemeja dan celana hitam yang dikenakannya. Wajahnya begitu keras. Namun, matanya sarat kedukaan. Mata Daniel membengkak, hitam, dan bagian retinanya merah. Jelas pria tua itu tidak tidur dan juga menangis. Kepergian yang terkasih. Cinta yang tak pernah luntur. Disimpan sangat rapi. Di sela-sela waktunya, yang ia kenang hanya Susan. Saat pertama kali Susan menghubunginya, dia sudah lupa akan usia. Buminya kembali pada masa yang jauh lebih muda. Saat keduanya pertama kali bertemu. Hidupnya kembali pada yang benar-benar hidup. Ia kembali merasakan jantungnya punya gerak. Debar-debar tidak keruan. Kekasih yang dicintai, terpaksa pergi. Sakitnya, kepergian sang kekasih adalah takdir kematian yang diciptakan Daniel sendiri. Entah akan bagaimana Daniel menanggung dukanya. Daniel menatap setangkai mawar hitam di tangan. Diingatny kenapa Susan begitu menyukai mawar hitam. *** Susan yang masih mengenakan seragam SMA, membuang mawar merah pemberian Daniel. Keduanya berada di tepi pantai. Pantai yang berbeda tapi suasana yang serupa. Memutuskan bolos, di pagi yang sedikit mendung, keduanya ke pantai. "Kenapa dibuang?" sungut Daniel memandang mawar merah yang dibeli khusus untuk Susan. Kini mawar itu berulang kali disapu maju mundur oleh ombak. Rusak dan berpasir. "Kamu menganggap saya murahan?" tanya sengit Susan. "Kok, murahan? Saya gak ada mikir gitu." "Saya gak suka mawar merah." "Lalu? Mawar putih?" "Kamu lagi nyindir?" bentak Susan. Matanya berair. "Saya sudah gak putih lagi dan semua karena apa yang kamu lakukan!" Daniel segera memeluk Susan yang histeris. Hatinya pedih setiap Susan merendahkan diri sendiri atas apa yang sudah mereka lakukan. Perbuatan dosa yang dilakukan dengan kesadaran penuh akan cinta. Yang sayangnya itu belum waktunya. "Saya hanya ingin memberikan yang terbaik untukmu. Maafkan saya. Jangan berpikiran aneh-aneh. Mawar apa yang kau sukai?" "Mawar hitam." "Kenapa?" tanya Daniel bingung. Susan mengeratkan pelukannya. "Karena..., saya tidak yakin cinta kita akan bahagia." Setetes air mata mulai bergulir. "Kita pasti bahagia, Susan." Daniel pun mengeratkan pelukannya. *** "Bahagia...." Daniel bicara lirih dan kemudian melemparkan mawar hitam itu ke lautan. Seketika mawar hitam di seret ombak surut. Di ombang-ambing, dihantamkan ke bebatuan dermaga. Menyedihkan pada kecantikannya yang kelam. Tetap sendiri dan abadi pada cinta yang tak bahagia. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD