PART 2

1609 Words
                               HAPPY READING Mataku mengerjap. Perlahan terbuka ketika gorden kamarku tersingkap hingga sinar matahari masuk melalui celanya. Aku menguap pelan. Menatap jam dinding yang menunjukkan pukul tujuh pagi lewat beberapa menit. Menyingkap selimutku, aku pun segera keluar dari kamar. Bibirku tersenyum ketika mendapati Ibu dan kak Alex yang sudah bertengger manis di meja makan. Mereka menyapaku dengan bersamaan. Kemudian aku mendudukkan pantatku pada kursi disamping ibu. "Kenapa tidak membangunkan aku?" "Tidurmu nyenyak sekali Julie. Aku tidak tega membangunkanmu" "Yaaah ... Kau benar. Hari ini aku capek sekali. Badanku rasanya ingin tumbang" "Mau ku izinkan kerja hari ini?" Aku menggeleng pelan lalu memasukkan beberapa potong lauk kedalam mulutku. Mengunyahnya perlahan hingga tertelan habis. "Tidak perlu. Tanggung sekali. Besok weekend kan?" "Tapi bagaimana jika kau pingsan disana sayang?" "Buu ... Kau berlebihan. Aku hanya akan duduk di depan meja resepsionis. Aku tidak melakukan pekerjaan yang berat kau tau" "Kalau begitu biar Alex yang mengantarmu" "Hotel dan kantor Alex berlawanan. Dan ini hampir siang. Aku tidak ingin Alex terlambat" "Aku tidak keberatan terlambat karenamu Julie" "No brother! Sungguh aku tidak ingin merepotkanmu. Aku juga sudah ada janji dengan Sarah. Ia akan menjemputku" "Oke baiklah. Aku tidak memaksamu tuan Putri" "Terimakasih panglima sudah mau mengerti" Dan hal selanjutnya adalah kekehan ibu yang menggelegar di meja makan. Sudut matanya hingga tertarik membuat kerutan-kerutan khas kulit di usianya yang tak lagi muda. Aku memandanginya lama. Menatapnya dengan lamat-lamat. Ya Tuhan bagaimana hidupku jika tidak ada wanita sehebat ibu. Wanita yang tidak pernah mengeluh didepanku ini. Wanita yang selalu tegar meski separuh jiwanya sudah hilang. Cinta abadinya pada ayahku masih ia pertahankan. Dia adalah sosok wanita luar biasa yang pernah aku kenal. Ya ibuku. "Bu?" Panggilku pelan. Bahkan nyaris berbisik. Ibu menoleh. Menatapku dengan alis yang terangkat satu. "Kenapa Lia?" "Ibu tidak ingin menikah?" Aku tahu pertanyaanku sangat amat begitu konyol. Pertanyaanku barusan hanya dibalas oleh ibu dengan kekehan ringan dari mulutnya. Padahal disebrang sana, Alex tersedak makanannya akibat pertanyaan konyolku. Hingga mata kakakku itu berkaca-kaca. Sedangkan ibu, wanita yang menjadi sumber utama pembicaraanku hanya  terkekeh ringan sambil tangannya sibuk menuangkan air minum pada gelasku. Lalu ia berkata pelan padaku "Kenapa tiba-tiba sekali bertanya begitu Lia?" "Ibu berhak bahagia. Aku tidak akan melarang jika Ibu ingin menikah lagi" "Lia ... ?" "Hm? Kenapa Bu?" "Dulu, waktu pernikahan Ibu, Ibu pernah berjanji. Ibu akan mencintai, setia, dan menemani Ayahmu hingga maut yang memisahkan. Jadi Lia pasti paham maksud ibu kan?" Kepalaku hanya mengangguk lemah. Dengan sekali teguk, aku menandaskan air yang tadi dituang ibu pada gelasku. Lalu aku kembali menatap wanita sempurna versiku itu. Menatapnya dalam-dalam pada iris matanya yang sama sepertiku itu "Bu, Julia tahu. Tapi Ibu yakin akan hidup sendirian di usia senja nanti? Ibu tidak ingin bahagia?" "Julia dengar, tidak ada orang yang tidak ingin bahagia. Semuanya ingin bahagia sayang. Dan cukup sampai saat ini Ibu merasa sangat amat bahagia. Meskipun Jiwa dan raga ayahmu pergi, tapi hati dan cintanya masih utuh dalam bilik hati Ibu. Ibu mencintai Ayahmu. Bukan dulu ataupun hingga sekarang. Tapi dulu sampai nanti jika Ibu pergi nak" "Buuu ..." Ya Tuhan ... Hatiku bergetar. Rasa cinta ibu benar-benar luar biasa. "Ayahmu memang pergi. Membawa separuh jiwa Ibu. Namun Ayahmu tidak seegois itu Nak. Meski ia pergi membawa separuh jiwa Ibu, ia masih meninggalkan dua hatinya untuk Ibu. Sumber kekuatan dan kebahagiaan Ibu. Kau dan Alex. Kalian adalah lampu dalam kegelapan dalam hidup Ibu" "........." "Jadi, jika kau tanya apa Ibu bahagia? Tentu saja. Tidak ada yang bisa menggantikan kebahagiaan ibu selain dirimu dan Alex" "Buu ... Ya Tuhan ... Aku ... Aku ... dan Alex mencintaimu" "Ibu lebih mencintai kalian sayang" "Aku tidak mengerti jika Ibu begitu mencintai Ayah" "Yang pergi adalah raga dan jiwanya. Tidak hatinya. Namanya masih setia pada buku hati Ibu" "I Love you Bu ..."                    THE WONDERFUL PAST Mataku menekuri beberapa daftar tamu hari ini. Tadi pagi, Direktur utama hotel tempatku bekerja meminta bantuanku untuk mencarikan nama VIP yang check in pada dua hari yang lalu. Aku tidak tahu kenapa. Yang jelas, Direktur bilang salah atau tamu VIP nya yang aku ketahui bernama Dave itu sedikit bermasalah.  Aku hanya menurut sebagai bawahan. Dan setelah beberapa menit berkutat dengan data manual, aku menghela nafas pelan ketika ekor mataku menangkap satu buah nama yang sejak tadi membuatku greget sendiri. Dengan cepat kakiku melangkah menuju ruangan Direktur di ujung koridor Hotel. Sesampainya di ruangan pak Ronald selaku Direktur, aku mengetuk pintunya pelan. Suara perintah yang menyuruhku untuk masuk membuat tanganku otomatis memutar kenop pintu.  "Sir, data yang anda minta sudah saya temukan dan----" suaraku tertahan dan mengambang begitu saja ketika netraku mendapati Pak Ronal tidak sendiri diruangannya. Melainkan ada sosok lain. Aku terkejut? Tentu saja. Bagaimana bisa sosok jakung yang kini terlihat menyeringai oleh kehadiranku itu berada disini? Hei! Ini bukan Apartemennya. Bukan juga ranjangnya yang selalu menjadi alasan untuk pertemuan kita. Ini tempat kerjaku. Catat! Tempat kerjaku! Dan sialnya, laki-laki itu malah menaikkan salah satu alisnya yang semakin menambah kadar ketampanannya. Ooh my f*****g heart. "Oh Julia kau datang? Duduk dan kemarilah!"  Suara pak Ronal membuatku tersadar akan lamunanku pada laki-laki tampan yang menyebalkan didepanku itu. Atas perintah atasanku, kakiku bergerak mendekatinya. Mendudukkan diriku tepat didepannya. "Ini ... Data yang anda minta Sir. Seseorang bernama Dave memang melakukan check-in dua hari lalu. Dan dia baru saja--" "Iya Julia saya mengerti. Terimakasih sudah membantu. Sebelumya perkenalkan ini Tuan Damian. Dan aku dengar kalian saling mengenal?" Damn it Damian! "A-aah! Y-ya! Kami--maksud saya, saya dan Tuan Damian memang saling kenal. Saya--" "Kita teman. Ya! Teman. Bukan begitu nona Julia?" Ya ... Ya ... Ya ... Teman ranjangkan maksudmu Mian!! "Baiklah kalau begitu buat dirimu nyaman Julia. Tolong temani Tuan Damian sebentar. Biar aku mengurus datanya" Apa??! Menemani Damian? Yaampun ini bukan pilihan terbaik Sir!! Dan yang hanya bisa aku lakukan menganggukkan kepala hingga Direktur menghilang dibalik pintu ruangannya. Mataku refleks menoleh cepat menatap Damian yang kini juga menatapku dengan pandangan tajamnya. "Bisa kau jelaskan kenapa kau berada ditempat kerjaku Tuan Raves?!" "Apa tidak ada sambutan hangat dan panas untukku?" "Jangan banyak tingkah Mian!" "Kau galak sekali sih sayang" "Damian please ..." "Apa?" "Aku akan pergi jika kau masih bertingkah bodoh!!" "Astaga Julie!! Kau mengerikan sekali. Baiklah-baiklah aku---" "Apa lagi?!!!" seruku kesal ketika laki-laki didepanku ini malah menghentikan kalimatnya. Matanya beralih menatapku dari ujung kepala hingga ujung kaki. Tatapan matanya menilaiku dengan pandangan menajam. "Kau mau menggoda siapa dengan pakaian ketat begitu hah?!!" Aku menganga. Menatapnya dengan pandangan tak percaya. Apa katanya? Menggoda dengan pakaian ketat? Dasar sinting! Hei, ini seragamku. Dan memang sudah seperti ini bentuknya. Press body. Damian sialan!  "Jangan berlebihan! Ini memang seragamku. Dan aku tidak sedang ingin membahas masalah seragam oke? Aku ingin kau---" "Ckck! Iya-iya! Aku tahu! Dengar, tempat kerjamu ini tempat umum baby jadi wajar aku berada disini" "Alasan! Kau jangan macam-macam ya Mian" "Ya Tuhan Julie!!! Sumpah aku tidak menguntitmu. Aku memang ada perlu kemari" "Perlu apa?! Kau tidak mungkin check-in atau kau---" Damian menggeleng keras ketika tatapanku padanya menajam. Ia beringsut dari duduknya. Mendekat kearahku, ia berniat memberiku sebuah kecupan di bibir namun dengan cepat aku menghindarinya. Ini masih diruangan boss ku sialan! "Jangan macam-macam Mian! Ini kantor boss ku!" Helaan nafasnya terdengar berhembus kasar. Dan setelahnya ia mengangkat kedua tangannya tanda menyerah. Ia lebih memilih menghempaskan tubuhnya pada punggung sofa sambil mengusap wajahnya kasar "Oke-oke. Sorry. Tapi sungguh Julie, aku kemari tidak ada hubungannya denganmu sama sekali. Apalagi sampai aku membeli hotel karenamu seperti yang kau asumsikan di otak cantikmu itu. Bukan aku sama sekali" "Kau melakukannya 2 bulan yang lalu tuan Raves! Kau lupa pernah membeli kafe tempatku bekerja karena cemburu tak beralasan mu itu hah?!!" Damian meringis. Ia terkekeh kecil lalu kembali menegakkan tubuhnya. "Ya ... Itu kan dulu. Waktu aku masih belum tau seperti apa kau. Aku hanya takut kau lari dengan teman kerjamu itu!" "Alasan! Siapa tau kau melakukan hal yang sama saat ini" "Tidak Julie! Aku bersumpah tidak melakukannya. Aku kemari karena benar-benar ada urusan yang mendesak" "Apa? Katakan padaku. Agar aku tidak berburuk sangka padamu!" "Kita makan siang bersama oke. Nanti aku ceritakan" "Dirimu sekali ya. Ada udang dibalik batu!" "Ya Tuhan! Jika bukan di ruangan bossmu, aku sudah melahap habis bibir manismu itu saat ini" Aku hanya memutar bola mata malas mendengar kevulgarannya. "Haruskah kita memesan salah satu kamar VIP di sini?" "Jangan gila Damian!!" "Oke-oke aku hanya bercanda sayang. Kau galak sekali" "Kau menyebalkan" "Yasudah ayo pergi. Setelah ini aku harus mengurus b******n tengik itu" Aku hanya mengerutkan keningku karena umpatannya barusan. Memilih mengikutinya dibelakang tubuhnya yang menjulang tinggi. Hingga akhirnya aku dan Damian sampai pada restoran yang berada di ujung jalan dekat Hotel.  Aku ingat tempat ini. Ini adalah tempat dimana aku dan Damian pertama kalinya bertemu. Dimana aku dengan cerobohnya tidak sengaja menumpahkan kopi pada jas Damian. Kala itu aku yang mendapat tugas untuk menemui klien dari Direktur Ronal. Yang tak lain Kliennya adalah Damian. Aku yang bodoh karena high heels ku yang tiba-tiba patah. Mengakibatkan kakiku tergelincir. Padahal aku tengah membawa kopi untuk Damian waktu itu. "Julie?" Aku tersentak ... Damian segera menarikku ketika aku hanya bergeming, berdiri disampingnya. Bukan apa-apa, hanya saja aku sedikit risih ketika beberapa pasang mata melirikku dan Damian. Aku tahu. Oh ayolah, aku sedang bersama dengan seorang Damian. Bukan sekedar laki-laki biasa. "Kau ingin makan apa?" "Mian ..." "Apa?" "Bukankah seharusnya kita pindah?" "Pindah kemana?" "Kemana saja. Aku merasa kurang nyaman disini" Damian menghela nafas. Lalu kepalanya berputar untuk melihat sekelilingnya "Kau masih perduli dengan orang-orang?" "........." "Jangan pedulikan mereka. Kita disini untuk makan oke" "Tapi Mian ..." "Apa aku perlu mengusir mereka? Memboking kantin hotel untuk makan siang kita?" "Tentu saja tidak Damian! Aku hanya--" "Oke tidak ada masalah. Kalau begitu yang kita lakukan harus makan siang. Bukan perdebatan" "Deal" Dan kami berdua berakhir dengan saling diam sambil adu pandang. Aku mencoba menulikan telinga dan membutakan pandangan pada orang-orang sekitar. Persis kulakukan seperti anjuran Damian.               ToBeContinued               See you next part
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD