PART 3

1682 Words
                    HAPPY READING . . . . "Jadi, apa penjelasanmu soal keberadaanmu siang ini di tempat kerjaku?" "Ya Tuhan sebegitunya kau mencurigaiku Baby" "Ooh! Itu perlu Damian. Laki-laki menyebalkan sepertimu memang sudah sepatutnya dicurigai. Jadi sekarang cepat katakan!" "Dave" Keningku berkerut. Mataku mengerjap dua kali menatap Damian yang kini tengah sibuk mengunyah dessert yang ia pesan. "Dave? Tunggu! Dave tamu VIP di hotel ku maksudmu?" Damian mengangguk. "Ya. Pria sialan itu adikku" "APA?!! Ya Tuhan, tunggu sebentar. Dave dia-- yaampun kepalaku pusing" "Ckck! Tiga hari yang lalu ia kabur dari Rumah dan melarikan diri. Membawa beberapa aset saham pabrik s**u milik daddy. Setelah Daddy tahu, beliau mengerahkan seluruh anak buahnya untuk mencari bocah tengik itu. Dan yaah ... Dia ketahuan sembunyi di hotel. Maka dari itu aku meminta bantuan bossmu untuk mencari nama Dave Raves dalam daftar tamunya" "Aku tidak pernah tahu jika kau memiliki adik laki-laki. Bukannya adikmu hanya Irina?" "Sekarang kau tahu kan" Aku mendengus lalu mencomot beberapa salad buah yang Damian pesankan untukku. Aku meliriknya dengan pandangan yang masih penasaran. Aku masih ingin banyak penjelasan darinya. Masih penasaran dengan adiknya yang baru saja aku ketahui maybe? "Lalu apa yang terjadi dengan Dave?" "Martin, sekertaris ku akan membawanya kembali ke hadapan Daddy" "Eummm ... Dia tahu hubungan kita?" "Siapa? Dave maksudmu?" Kepalaku mengangguk. Menanti jawaban Damian selanjutnya. Dan aku melotot ketika Damian dengan entengnya mengangguk sambil mengangkat kedua bahunya "Ya" "Ya apa?!! Yang jelas Damian!" "Kau kenapa sih baby. Sensitif sekali jika menyangkut hubungan kita dengan keluargaku. Aneh sekali" "Bukan aneh Damian. Tapi aku takut" "Apa yang kau takutkan? Mereka bukan Hantu. Mereka tidak menggigit" Sial! Kau tidak mengerti Damian! "Aku takut jika orang tuamu mengetahui tentang kita. Mereka tidak akan suka padaku" "Mereka tidak seperti itu sayang. Berfikirmu kejauhan" "Pokoknya aku tidak mau Damian. Bilang pada Dave agar ia menutup mulutnya. Aku masih belum siap" "Iya. Kau tidak usah khawatir. Nanti aku bicarakan pada bocah tengik itu" "Aku hanya takut Damian ... " "Iya sayang aku tahu. Kau jangan khawatirkan apapun oke? Sekarang ayo pergi. Aku antar kau kembali ke hotel" "Kau akan kembali ke kantor?" "Tidak. Aku akan mengurus Dave dulu. Setelah itu aku akan kembali ke kantor" "Nanti kau akan menjemputku kan?" "Aku hubungi nanti. Jika urusan Dave selesai, aku akan menjemputmu" Aku hanya mengangguk. Damian segera membayar lunch dan setelahnya ia mengantarku kembali ke Hotel. Kecupan singkat di dahiku Damian berikan ketika ia menghentikan mobilnya di pelataran hotel. Dan aku yang bersiap untuk membuka pintu mobilnya tertahan. Tangan besar Damian menahan lenganku. Alisku terangkat menatapnya. "Apa? Kau harus pergi Damian bukankah kau memmpphhh ..." Kata-kataku mengambang begitu saja saat Damian dengan tiba-tiba menarikku mendekat pada tubuhnya. Melumat bibirku dengan tergesa-gesa. Bahkan tanpa aba-aba ia melesakkan lidahnya. Nafasku terengah ketika ia menarik dirinya menjauh. Menatapku dengan pandangan seduktif. Lalu tersenyum kecil "Haruskah aku check-in sekarang Julie?" "Hhhh ... Hhh ... Jangan aneh-aneh Mian. Akuhh sedang bekerja" "s**t! Kemarilah" Aku menatapnya bingung dengan nafas yang masih ngos-ngosan akibat ciuman mendadaknya barusan. Meskipun begitu, tanganku yang kebas mengusap keningnya yang berpeluh. Hingga sesaat kemudian aku memekik tertahan ketika Damian tiba-tiba menarikku untuk duduk diatas pangkuannya. Aku mendesis ketika punggungku menabrak stir mobil. Damian yang peka, segera membuat kursinya menjadi sedikit terlentang. Tangannya yang lain mulai mengusap punggungku dengan gerakan teratur. Membuatku memejamkan mata menikmati sentuhan lembutnya yang entah kenapa membuatku rilex seketika. Ini nyaman. Tapi juga tidak etis. Tidak benar. Oh yaampun, bahkan kita masih berada di pelataran hotel. "Mian ...?" "Ya?" Aku menahan nafasku ketika kurasakan bibir Damian memberikan kecupan ringan pada permukaan kulit leherku. Bibir basahnya menyapu ringan disana. Bergerak pelan membuat pola-pola melingkar. Damian dengan gerakan permainan ciptaannya. Damian dengan caranya yang selalu mampu membuatku b*******h. "Mianhh ... Ahhh ...." satu desahan akhirnya lolos dari mulutku ketika tangan Damian berganti meremas salah satu dadaku dari luar. Aku semakin terengah dan peluh menetes dari dahi dan pelipisku. Sungguh aku tidak sanggup menahannya. Damian terlalu mahir membuatku mendesah hanya karena sentuhan ringannya. "Ya sayang?" "Kitahh ... masihh ooohhh diparkiran ... Hhhh" "Kaca mobilku dark mode sayang. Kau jangan khawatir. Dan aku pastikan tidak ada yang mendengar kita. Aku tidak keberatan kau o*****e di celanaku asal kau tidak menahan desahamu". Damian sialan! Kata-kata vulgarnya malah membuatku dibawah sana semakin nyeri. Kepalaku pening. Aku pusing. Aku butuh pelepasan sekarang juga. "Mian ... Jangan menyiksaku pleasehh ..." "Kau ingin make out dihhhpppmm---" Aku segera membungkam mulutnya dengan mulutku. Menarikan bibirku diatas bibirnya. Menggigit kecil disana hingga ia membuka mulutnya. Dengan segera aku melesakkan lidahku didalamnya. Kami saling melumat, mencecap, bertukar Saliva, dan begitu seterusnya. Bahkan aku tidak sadar jika kemejaku sudah hilang dari tempatnya. Menyisakan tanktop maroon yang membungkus tubuhku.  Desahan Damian lolos begitu saja ketika aku dengan sengaja mengigit lehernya. Meninggalkan bekas merah disana. Aku tersenyum senang melihatnya. Sedangkan Damian mengumpat kasar ketika aku masih memberinya beberapa tanda disana. Bahkan aku merasa milik Damian dibawah sana sudah tegang ingin dilemaskan. "Sial! Jika saja kita di apartemen, aku yakin kau tidak akan bisa berjalan sayang" Aku hanya terkekeh mendengar nadanya yang sarat akan keputusasaan. Mataku berpendar menatap dirinya dengan nafasnya yang terlihat memburu. Ia terlihat sexy  jika sedang berkeringat begini. Bibirnya yang terbuka menambah kesan manly. "Kau ingin b******a disini?" Aku hanya bercanda sumpah! Aku hanya berniat untuk menjahilinya. Namun Damian malah memelototkan matanya. Menatap tajam diriku. "Haruskah ..." "Hihihihi kau lucu sekali Mian" "Aaaaarggghhh Julie, kau benar-benar w*************a ya" Aku hanya terkekeh ringan melihat Damian yang benar-benar kacau. Aku tahu meskipun aku tidak bercanda pun, Damian tidak akan melakukannya jika bukan diatas ranjang. Dia pria yang konsisten dengan prinsipnya. Dia masih laki-laki yang bermoral jika sudah menyangkut kenyamanan ditempat umum.  Dan itulah yang membuat aku jatuh pada sosok Damian. Ia laki-laki yang tidak terduga, datang mengacaukan segala macam prinsip hidupku. Menggoyahkan peraturan-peraturan duniaku. Dulu sebelum mengenalnya, aku adalah wanita penganut no s*x before marriage. Tapi setelah bertemu Damian, semuanya berubah. Hari-hariku, gaya hidupku, bahkan bisa jadi masa depanku nanti? Damian benar-benar sosok luar biasa yang mampu memporak-porandakan seluruh bagian hidupku.                  THE WONDERFUL PAST Hujan deras tiba-tiba mengguyur ibu kota. Beruntung aku sudah sampai rumah tepat ketika hujan turun dengan derasnya. Mataku membeliak menatap ruang tamu yang sedikit ramai dari biasanya. Ada ibu, Alex dan seorang perempuan mungil yang tengah duduk disamping Alex.  Kakiku bergerak untuk mendekati mereka. Tiga langkah dari mereka, ibu menyadari kehadiranku. Alex dan perempuan itu refleks menoleh kearahku saat ibu berseru memanggilku. "Lia, kau sudah pulang untung saja" "Iya. Eumm, sepertinya kita kedatangan tamu" kataku pelan sambil melirik gadis mungil itu yang tersenyum membalas tatapanku.  "Iya. Kenalkan, dia Natalie teman Alex. Ibu tinggal sebentar ya. Kau temani Natalie mengobrol dulu" Aku hanya mengangguk menjawab Ibu. Lalu tanganku terulur membalas uluran tangan Natalie. Lagi-lagi ia tersenyum kearahku. "Sepertinya Kau bukan warga Indonesia" kataku sambil meneliti dirinya. Mata birunya, dan wajah bulenya. Natalie mengangguk kecil "Aku asli dari London" "Aaaah pantas saja. Sudah berapa lama dengan Alex?" "Kami hanya teman" Kepalaku menoleh cepat pada kakakku yang terlihat fokus dengan ponselnya. Sesekali ia melirikku lalu kembali sibuk dengan ponselnya. Hei! Apa-apaan sih dia!  "Kalian tidak pacaran?" Natalie menggeleng lalu tersenyum kecil. "Tidak. Kami hanya teman" "Teman apa? Teman ranjang atau teman yang benar-benar teman?" Mulutku yang ceplas-ceplos, hingga Alex menoleh padaku. Matanya nyaris melotot seolah perkataanku barusan sudah melewati batas. Hei! Aku benar kan? Apa salahnya aku bertanya? Oh ayolah, tidak ada wanita dan pria dewasa dalam konteks teman untuk jaman sekarang. Kalian juga pasti tahu itu.  "Julia! Jangan bicara aneh-aneh kau! Aku dan Natalie hanya teman. Bukan teman ranjang atau apapun yang ada dalam otakmu. Kami benar-benar teman" "Oh Nat, seharusnya kau meninggalkan laki-laki tidak peka seperti Alex. Itu saranku" Dan Alex benar-benar menyorotkubdnegan tajam kali ini. Bahkan kakakku itu melmpariku dengan banyak sofa yang berada di pangkuannya. "Sialan mulutmu Julie!" "Ayolah! Kau kolot sekali. Untuk ukuran dibawah kerumah kau masih menganggap Natalie teman? Kau benar-benar pria tua yang aneh Alex!" "Jangan banyak bicara! Sana masuk! Sepertinya bukan hanya tubuhmu yang lelah karena seharian bekerja. Tapi mulutmu juga" Bibirku berdecak pelan. Mendengus kasar, aku segera bangkit dari atas sofa yang aku duduki. Menatap Natalie dan Alex bergantian lalu aku melangkahkan kakiku menuju dalam rumah. "Kau bisa mengobrol denganku diatas Nat. Kamarku di pojok kiri" Dan setelahnya aku benar-benar melenggang pergi meninggalkan sepasang kekasih itu berdua dalam keheningan. Sesampainya dikamar, mataku menatap halaman rumah dari balkon. Menikmati angin malam yang menerpa tubuhku. Rasanya benar-benar menyegarkan ketimbang mandi saat ini. Aku sedang tidak dalam mood untuk melakukan apapun saat ini. Padahal aku tidak biasanya mudah lelah begini. "Apa ibu mengganggu?" Kepalaku berputar cepat kebelakang. Dan mendapati ibu dengan satu nampan yang aku yakini berisi makan malam. Aku tersenyum, lalu mendekat padanya. Mengambil ahli nampan yang berada pada tangannya.  "Tidak. Seharusnya ibu tidak usah repot. Biar aku saja yang turun untuk makan" "Kau tidak akan turun jika sudah jam 9 lebih begini Lia" Lagi-lagi aku tersenyum. Meletakkan nampan diatas nakas, aku beralih memeluk ibuku. Ibuku memang benar, aku selalu malas turun kebawah untuk makan malam jika sudah jam 9 malam begini. "Aku capek sekali Bu" "Kau menggantikan shift teman lagi?" Tidak Bu! Ini semua gara-gara Damian b******k itu. Seharusnya anakmu ini sudah pulang sejak jam 3 sore tadi. Tapi dengan kurang ajarnya, Damian menculikku. Mengurungku di apartemennya. Kita b******a hingga aku kelelahan. Dan yang aku lakukan hanya mengangguk menjawab pertanyaan ibu. Maafkan anakmu yang pembohong ini ya Bu. "Ya ... Begitulah" "Seharusnya kau menolaknya Lia. Jangan terlalu memforsir diri begini" "Tidak apa-apa bu. Lagipula tidak sering juga" "Yasudah kalau begitu segera mandi dan makan. Biarkan saja piring kotornya disini. Nanti ibu yang akan ambil" "Iya" "Ibu pergi dulu. Selamat beristirahat" "Ibu juga"  Kami saling melempar senyum sebelum wanita luar biasa itu menghilang dibalik pintu kamarku. Kemudian mataku melirik nampan yang berisi sup ayam yang masih mengepulkan asap panasnya. Ada rasa bersalah ketika aku membohongi ibu.   Ada rasa khawatir dan gelisah yang tiba-tiba muncul dalam hatiku. Membohongi ibu? Ya Tuhan ... Ini adalah pertama kalinya dalam hidupku membohongi ibu. Sejak kecil wanita luar biasa itu tidak pernah mengajariku berdusta. Beliau selalu menanamkan padaku untuk mencoba terbuka. Tapi apa yang aku lakukan sekarang? Membohonginya? Menabung rasa kecewa yang nantinya akan aku berikan padanya. Ya Tuhan ... Maafkan aku.                     TO BE CONTINUED                     SEE YOU NEXT PART
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD