Siapa Aku?

1721 Words
Kerinduan akan menikmati biru laut terpenuhi dengan mengunjungi tempat yang sudah lama tidak dikunjungi. Ia memandangi air yang dimeriahkan dengan permainan ombaknya, berharap dapat terbawa arus ombak, tenggelam dan dibawa jauh dari penatnya kehidupan. Biasanya ia mengunjungi tempat itu dengan perasaan bahagia, tertawa, dan tersenyum. Berbeda dengan kali ini, semua kebahagiaan itu tidak didapatinya. Ia tersakiti oleh keadaan, membuang semua senyuman yang selama ini ditanamnya. Air kelapa terseruput perlahan menghapus dahaga. Banyak makanan serta bungkusan-bungkusan snack berserakan di tempat. Rasa lapar dan haus tidak berhenti dirasakan. Mulutnya ingin terus mengunyah, mengunyah kenyataan yang begitu menyakitkan. Rasa sakit itu tetap membekas, tanpa ada niat untuk beranjak pergi dari dirinya, melekat dengan baiknya. “Oh My God!!!” “Zi??” Kedua suara itu disambutnya dengan senyum hambar, tanpa penawar. “Kamu kenapa?” “Ada yang nyakitin kamu?” “Beneran, kali ini kamu hancur banget.” “Kamu nggak pernah seburuk ini.” “Kamu cerita dengan kami apa yang terjadi.” “Mungkin aja kami bisa membantu.” Pertanyaan-pertanyaan tersebut membuatnya tidak dapat menjawab dengan baik. Hanya air mata yang membanjiri pipinya dan membuat kedua sahabatnya semakin tidak mengerti atas apa yang terjadi. Bagaimana ia menjelaskan pada mereka tentang apa yang terjadi? Bagaimana jika mereka tidak akan menerimanya lagi sebagai teman? Bagaimana jika hal ini membuat mereka menjauh? Bagaimana jika hal ini membuat kedua temannya menyebarkan kabar tersebut kepada orang banyak, pada social media? Begitu banyak kalimat yang diawali kata ‘bagaimana’ muncul dalam pikirannya. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Haruskah ia bercerita atau menutupi semua dan hanya menangis seperti yang saat ini dilakukannya. Ia dibingungkan oleh keadaan. “Zi, kamu jangan bikin kami khawatir gini. Kamu cerita pada kami, ada apa?” “Zi, mungkin kami nggak bisa banyak membantu, tapi setidaknya dengan kamu bercerita, hati kamu menjadi tenang,” ucap Kire, tetap memeluk sahabatnya yang terlihat sangat tertekan. “Aku nggak ngerti, kenapa ini bisa terjadi sama aku? Dan kenapa aku baru tahu sekarang? Kenapa nggak dari dulu aku tahu? Kenapa di saat usia aku udah setua ini?” “Kenapa kamu ngomong gitu? Apa yang terjadi padamu? Apa yang baru kamu ketahui?” tanya Virky menatap mata Zi yang berlinang. “Ky, aku bukan anak Mama, Ky,” jawabnya dalam tangis yang terus mengalir. “Bukannya kamu udah tahu itu sejak lama Zi?” tanya Kire dengan polosnya. “Sejak lama? Maksud kamu?” “Maaf ya sebelumnya Zi. Dulu ketika aku dan Virky ke rumah kamu, nggak sengaja kami dengar Mama kamu ngomel gitu di dapur, dan dalam omelannya dia ngucap tentang kamu bukan anaknya. Aku pikir kamu memang tahu hal itu. Dan karena nggak ingin menyinggung perasaan kamu, kami nggak pernah berniat untuk membahas hal itu dengan kamu. Mungkin kamu memang mau menyimpan hal itu dari kami, dan kami mencoba mengerti akan hal itu.” “Aku nggak tahu. Aku sama sekali nggak tahu hal itu. Kenapa kalian nggak bilang aku? Kenapa? Kalian tega sama aku.” “Zi, kami nggak bermaksud gitu. Kami hanya nggak ingin kamu tersiksa dengan hal ini, Zi,” ucap Virky memeluknya. “Iya Zi. Aku juga tadi, kan, udah bilang, kalau kami berpikir kamu udah mengetahui semua ini.” “Aku sangat tersiksa sekarang. Aku tersiksa!!” “Zi, kamu harus kuat. Kamu masih punya aku dan Kire. Kita akan lewati semua ini bareng-bareng. Kami nggak akan ninggalin kamu sendiri, terlebih aku. Aku akan selalu temani kamu. Kamu nggak sendiri Zi.” “Lalu siapa Ibuku?” “Apa kamu udah tanya sama Papamu?” tanya Kire. “Nggak mungkin Re, aku masih sakit hati. Aku sakit hati karena dibohongi selama ini. Aku kecewa sama Papa. Papa yang selama ini aku lihat sayang sama aku, ternyata bohongi aku.” “Zi, kamu nggak boleh berpikiran seperti itu. Papa kamu melakukan hal itu pasti punya alasan, dan dia nggak bermaksud untuk bohongi kamu. Dia hanya masih menyimpan hal itu dan memberitahu kamu pada waktunya.” “Waktu apa, Ky? Sampai kapan? Sampai aku nggak pernah tahu apapun dan terus seperti itu? Aku selalu berpikir kenapa Mama memperlakukanku beda dari kak Qila dan bang Zelo. Ternyata ini alasannya. Karena aku berbeda dengan mereka.” “Zi, tolong jangan berpikir seperti itu. Kami akan membantumu untuk mencari tahu siapa Ibu kandung kamu. Kami akan mencoba melakukan hal itu, untuk kamu.” Virky terus menenangkan Zi. Ia tidak ingin perempuan itu terus tersiksa dan tersakiti dengan hal ini. Zi sangat berarti baginya, dan tangisan bukanlah hal yang layak didapatkan perempuan itu. Ia berhak untuk mendapatkan kebahagiaan dan keceriaan seperti biasanya. Zi adalah perempuan terkuat yang pernah ia dapatkan. Dan ia bangga dengan kekuatan itu. Ia harus dapat mengembalikan keceriaan perempuan itu, apapun caranya, itu janji hatinya. “Zi, kamu mau bantu aku nggak?” “Re, yang sedang butuh bantuan itu Zi, bukan kamu, kenapa kamu yang minta bantu? Lain kali aja minta bantunya setelah kita membantu Zi,” bantah Virky. “Kamu mau aku bantu apa, Re?” “Zi, kamu jangan dengar permintaan dia dulu. Kamu tenangin hati kamu aja dulu. Mulut Kire harus aku tutup sepertinya. Teman lagi sedih dianya malah banyak omong.” “Nggak apa, Ky. Mungkin dengan permintaan dia, aku bisa ngelupain masalah ini sejenak.” “Tuh, dengar. Zi aja nggak masalah, kamunya sewot nggak jelas. Jadi gini, Zi, kamu kenal fotografer di acara pernikahan kak Qila, kan? Yang ganteng itu, lho. Aku lihat dia keren banget, dan bakatnya dalam memotret sesuatu pasti keren juga.” “Terus? Kamu mau minta comblangin dengan dia?” tebak Virky. “Virky, aku belum selesai bicara. Nyebelin banget jadi lelaki. Aku nggak minta dicomblangin, kok. Aku cuma mau kamu minta tolong padanya untuk potret aku, aku pengen banget hang out, dipotret seperti model-model cantik gitu. Pasti aku akan bangga saat melihat hasil potretannya.” Mendengar hal itu bukannya mendapat jawaban yang diinginkan, ia malah mendengar tawa meledak dari kedua temannya itu. Tak berhenti mereka tertawa, hingga membuat wajahnya menunduk. “Salah ya aku punya permintaan seperti itu? Apa aku nggak berhak untuk terlihat cantik, meski hanya dalam potretan?” tanyanya lesu. Mereka menghentikan tawa dan menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri agar tidak mengeluarkan tawa lagi. “Kamu cantik Re, kamu punya pipi tembem yang menggemaskan, seperti squishy. Mata kamu indah, kulit kamu juga bersih. Kamu mau cantik seperti apa lagi?” hibur Zi. Tapi aku nggak secantik kamu!” “Re, kecantikan orang itu berbeda-beda. Kalau kamu ingin cantik seperti Zi, maka kamu harus menjadi kembaran Zi. Tapi, meskipun kamu kembaran dengan Zi, belum tentu kalian akan terlihat sama. Kamu nggak perlu memiliki kecantikan seperti Zi atau yang lainnya, karena kamu juga memiliki kecantikan sendiri yang mungkin kamu nggak bisa melihat itu,” jawab Virky. “Tetap aja lebih cantik Zi daripada aku.” “Jujur, dulu pertama kali aku mengenal kalian, di mata aku yang lebih cantik itu kamu, bukan Zi. Kamu imut dan menggemaskan, seperti kata Zi.” “Terus kenapa kamu pilih Zi untuk jadi pacar kamu?” “Aku akan bicarakan hal ini dengan si fotografer itu dan aku akan yakini dia untuk hang out bareng. Oke?” potong Zi. “Beneran ya Zi? Kamu janji?” “Iya, Re, aku janji.” Zi beranjak dari duduknya meninggalkan Virky yang sibuk menggoda Kire. Virky memang senang menggoda Kire, karena Kire sosok yang suka merajuk dan terkadang menangis karena ledekan kecil. Tapi hal itu tidak membuat Virky jera atau menyesal, ia tetap senang melakukan hal itu. Setapak demi setapak Zi melangkahkan kaki di pasir tepi, terkadang air menyentuh kakinya, dan ia mengabaikan hal itu. Matanya tetap menatap ke depan dan sesekali melihat ke arah laut yang tenang di pertengahan. Banyak terlihat anak-anak remaja yang mandi dan berselfie ria ditemani ombak. Tidak terlihat mereka takut akan dimakan ombak. Karena sering kali terjadi hilangnya manusia diterkam ombak. Brukkk! Tubuhnya terjatuh dikarenakan terbentur sesuatu. Seorang lelaki terjatuh di sampingnya dan mencoba untuk  membantunya bangun sambil menghapus pasir-pasir yang melekat pada dirinya. “Maaf, nggak sengaja. Sakit?” “Nggak apa-apa, akunya yang salah karena jalan nggak lihat-lihat,” jawabnya tanpa menoleh sedikitpun pada lelaki itu. “Bukan salah kamu, aku yang salah karena nggak lihat di belakang aku ada orang dan seenaknya melompat untuk menangkap bola hingga terjatuh dan buat kamu jatuh juga,” jelas lelaki itu. “Yaudah, kita sama-sama salah. Permisi.” Ia meninggalkan sosok yang tidak dikenalnya itu. Baginya tidak penting berbicara panjang lebar pada seseorang yang belum dan tidak akan dikenalnya. Berbeda dengan lelaki itu yang terus menatapnya berjalan menyusuri pantai hingga menghilang dari pandangan. ------------------------------ Ia melemparkan tubuh lelahnya di atas kasur empuk beralaskan seprai warna putih dengan motif bunga Lili. Matanya terpejam dan tak ingin dibuka lagi. Terlalu lelah. Kepalanya penat akan hal-hal yang merumitkan dalam hidupnya. Sudah tak sanggup berpikir. Ia hanya ingin tertidur untuk waktu yang lama, dan terbangun saat hidupnya kembali segar. Namun, hal itu tidak didapati dengan mudah. Belum semenit matanya terpejam, pintu kamarnya sudah terbuka. Ia tidak akan membuka mata, berpura-pura tertidur, karena tidak ingin diganggu. “Nggak perlu berpura-pura, Abang tahu kalau kamu nggak tidur. Gimana bisa tidur kalau pikiran kamu bercabang.” Ia tetap diam menutup mata, mengabaikan suara Zelo. “Kalau kamu memang memilih untuk tetap seperti ini, nggak masalah. Satu hal yang harus kamu tahu, Zi, di rumah ini kamu seorang anak bagi Mama dan Papa, serta seorang adik bagi aku dan Qila. Kamu nggak ada bedanya dengan kami. Perlakuan Papa adil untuk kita bertiga. Mama, meski kamu melihat dia kejam terhadap dirimu, bukan berarti dia nggak menyayangimu. Kamu ingat saat dulu kita bermain sepeda bersama? Kita terjatuh, Mama marah bukan main. Dan yang dimarahin itu bukan kamu, tetapi aku, karena aku nggak bisa jaga kamu. Mama nggak ingin melihat putri kecilnya lecet sedikitpun. Mungkin kamu nggak bisa mengingat hal-hal seperti itu di masa kecilmu, tapi aku ingat semuanya. Mama sayang sama kamu, Zi, sama seperti rasa sayangnya untuk kami. Mama nggak ngebedain kamu dengan kami. Mungkin sekarang Mama bertingkah seperti ini karena ada hal-hal yang membebani pikirannya dan membuatnya marah saat melihat kamu. Tapi cobalah kamu menerima, bahwa bagaimanapun dia adalah seseorang yang telah merawat dan membesarkan kamu, meski tidak melahirkanmu. Ingatlah bagaimana selama ini dia memberi kasih sayangnya terhadapmu. Jangan hanya melihat kemarahannya belakangan ini, tapi lihatlah dari awal dia bersamamu. “Abang bilang seperti ini bukan sebagai anaknya, tetapi sebagai seorang Abang yang tidak ingin melihat adiknya terpuruk, dan agar adiknya tetap memiliki seorang Ibu seperti masa kecilnya,” sambungnya. Lelaki itu meninggalkannya yang mulai meneteskan air mata. Air mata itu terus mengalir dengan deras.  Zi kini menyadari bahwa hanya dirinya yang tidak mengetahui tentang siapa dirinya. Sedangkan yang lainnya mengetahui dengan jelas bahwa ia bukan anggota keluarga itu. Tetapi mereka semua diam, menutupi hal itu rapat-rapat. Ia telah menyakiti hati seorang perempuan yang selama ini telah membesarkannya dengan tinggal di rumah itu. Betapa tersayatnya hati perempuan itu saat harus membesarkan seorang anak yang tidak pernah diinginkan, entah dari mana asalnya anak itu. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD