Mengapa Aku?

1645 Words
Seorang lelaki berparas tampan duduk manis sambil mengotak-atik isi laptopnya. Sesekali menyeruput minuman yang ada di sampingnya. Ia melihat ke pintu masuk, tidak tampak kedatangan seseorang yang diharapkan. Ia melihat arloji, sudah lebih dua puluh menit dari jadwal perjanjian. Tidak ingin terlihat seperti menunggu, ia mencoba menyibukkan diri dengan laptop, melihat apa yang bisa dilihat. Tetapi tidak satupun yang dapat mengambil fokusnya. Ia mendengarkan murattal melalui ponselnya agar dapat tenang, dan jauh dari kegelisahan. Seseorang duduk di hadapannya dengan penuh keringat di wajah. Ia mengambil tisu-tisu untuk diserahkan agar menghapus keringat yang mengucur. Ia menyimpan ribuan rasa bahagia dalam hati karena seseorang yang sudah dari tadi ditunggu akhirnya tiba. Ia tidak ingin menampakkan rasa itu, biarkan tetap di dalam sana. “Maaf ya, aku tadi ada urusan sedikit, jadi nggak bisa on time. Udah lama nunggu ya?” “Nggak lama, setengah jam. Hampir habis satu gelas minuman aku.” “Setengah jam nggak lama, berarti lain kali aku telat satu jam atau lebih aja.” “Jangan. Nunggu itu nggak ada enak-enaknya. Kamu mau pesan apa?” “Cukup bilang aja pesanan aku seperti biasa, mereka akan membawakannya.” “Kamu benar-benar pelanggan di sini ya?” “Sepertinya begitu, karena setiap aku datang mereka tahu apa yang aku mau. Aku juga sering datang ke sini, dalam seminggu pasti akan ada aku di sini, baik itu dua atau tiga kali. Aku berharap mereka nggak bosan dengan adanya aku di sini.” “Mana bisa bosan dengan pelanggan. Seharusnya mereka memberi kamu bonus atau semacamnya untuk pelanggan seperti kamu.” “Seharusnya sepertinya, tapi tidak terjadi sampai sekarang.” “Nanti aku beri tahu pada mereka agar hari ini kamu gratis makan apapun.” “Iya, gratis, dibayar oleh Abang, kan?” “Siapa bilang? Aku juga gratis.” “Kenapa gitu? Langganan di sini juga? Sepertinya aku  nggak pernah lihat.” “Aku anak pemilik rumah makan ini.” “Anak om Rio? Abangnya si kembar?” “Kamu kenal adik aku?” “Nggak kenal, tapi tahu. Mereka pelayan paling ramah di sini. Meskipun aku nggak pernah ngobrol dengan mereka. Dan aku lihat, perempuan-perempuan yang datang ke sini selalu perhatiin mereka, terlebih lagi yang sering pakai topi itu. Aku bisa bedain mereka berdasarkan topi, yang satu pakai topi yang satu nggak.” “Kalau kedua-duanya pakai topi, atau kedua-duanya nggak pakai topi, gimana kamu bedainnya?” “Susah bedainnya. Karena cara bicaranya sama, jalannya sama, logatnya sama, semua dari mereka itu sama. Nggak ada bedanya.” “Berarti kamu perlu perhatiin mereka. Zikri mempunyai lesung pipi dan matanya lebih sipit dari Fitra.” “Nggak mungkin dong, Bang, aku selalu perhatiin mata mereka atau nyuruh mereka senyum dulu agar aku tahu siapa yang berlesung pipi dan enggak.” “Nggak sulit untuk bedainnya. Aku yakin, kamu bisa bedain mereka dalam waktu nggak lama.” “Mereka kembar, tapi nama mereka berbeda. Kebanyakan anak kembar itu namanya sama, paling beda satu huruf terakhir.” “Mungkin orang tua kami nggak ingin seperti yang kebanyakan. Oh ya, nama kamu Nazila?” “Iya, kenapa?” “Aku taruh nama kamu di bingkai foto itu. Kalau salah nggak seru jadinya, masa’ nama pelanggan salah.” “Oh, gitu. Mana fotonya, aku mau lihat.” Ia menyodorkan sebuah album merah maroon. Di dalamnya terdapat semua foto milik perempuan itu bersama teman-temannya. Dan memang benar, ada sebuah bingkai besar yang diindahkan oleh fotonya seorang diri saat di taman pelaminan. Zi tampak begitu anggun dalam gambar tersebut. Pinggiran bingkai itu terukir indah namanya. Zi melihat pada lelaki yang baru dikenalnya, tersenyum. Ia puas dengan hasil yang tidak pernah dibayangkan akan semegah itu. “Terima kasih,” ucapnya menyodorkan lima lembar duit seratusan. “Kamu ambil aja duit kamu. Itu gratis untuk kamu.” “Kenapa? Abang takut aku nggak ada duit? Tenang aja, aku masih punya duit.” “Bukan. Kamu anggap aja itu hadiah dari aku.” “Nggak bisa gitu dong. Abang nyari untung, kenapa sekarang malah minta rugi?” “Aku nggak rugi sama sekali. Aku ikhlas. Itu untuk kamu, tanpa harus kamu bayar.” “Kenapa ikhlas? Kenapa nggak perlu bayar? Kenapa?” “Karena … nggak butuh alasan untuk ikhlas.” “Gini aja, deh. Abang suka makan apa? Burger, pizza, ice cream, baso, mie ayam, mie kocok, es teller, sop buah, atau apa?” “Ice cream. Kenapa?” “Aku nggak mau ini semua gratis. Cukup hari ini aku makan di sini dengan gratis. Dan aku akan bayar semua foto ini dengan traktirin Abang makan ice cream sepuasnya.” “Tapi—” “Aku harus kembali. Nanti aku hubungi kapan waktunya. Sampai jumpa Bang—?” “Ashraf.” “Oke. See you, Bang Ashraf.” Perempuan itu pergi meninggalkannya yang tidak dapat mengatakan apapun, bahkan untuk sekedar bilang tidak. Perempuan itu terlalu tegas di matanya. Di balik sifatnya yang mudah dekat dengan siapa saja, perempuan itu juga cuek dan jutek. Sesuatu yang jarang terkombinasi dalam sifat seseorang. “Siapa perempuan itu?” Suara itu mengejutkannya. “Maksud kamu?” “Elvi bilang, Abang menggratiskan makanan seorang perempuan yang duduk dengan Abang di sini tadi.” “Pasti dia perempuan yang waktu itu, kan?” “Kalian sok tahunya kelewatan ya. Dia salah satu klien aku, dia ambil fotonya tadi. Dan kebetulan dia juga pelanggan setia kita. Nggak salah dong seorang pelanggan setia kita kasih gratis sesekali.” “Bohong.” “Tipu.” “Kalau memang dia langganan kita, Elvi pasti tahu. Tapi Elvi sama sekali nggak bilang kalau dia pelanggan kita. Ya nggak, Fit?” “Benar sekali. Sekarang Abang jujur dengan kami. Siapa dia?” “Fitra, Zikri, yang harus kalian ingat, Elvi baru bekerja di sini hari ini. Mana dia tahu yang mana pelanggan, yang mana bukan. Semua sama dalam pandangan dia. Seharusnya kalian minta info pada seseorang yang dapat memberi jawaban lebih akurat.” “Tapi feeling aku bilang, dia perempuan itu.” “Dan aku percaya feeling Zikri.” “Terserah kalian. Abang mau ke kampus. Kalian layani pengunjung-pengunjung yang udah datang. Sekalian bersihin meja ini.” Ash meninggalkan kedua adiknya yang tidak percaya pada perkataannya. Mereka yakin pada apa yang mereka katakan. Mereka akan mencari tahu siapa yang mampu membuat Abangnya bertanya-tanya. ---------------------- Ia mengambil satu persatu foto yang tadi didapatkannya. Ia memandang semua dengan tersenyum. Dapat ia rasakan segala kebahagiaan yang tercipta di hari itu. Kebahagiaan yang bukan berasal dari suatu tipuan, semua datang dari hati dan untuk hati. Ia menempelkan foto-foto itu di dinding kamarnya, dan sebagian lagi disimpan di album khususnya. Kini, kamarnya tampak lebih indah dengan adanya kebahagiaan baru yang telah menjadi kenangan dan akan terus terlihat. “Ziiiiii….” Terdengar teriakan dari bawah. Ia berlari keluar kamar untuk menjumpai seseorang yang memanggilnya di bawah. “Kamu ngapain di atas?” “Aku mau mandi, capek baru pulang kerja.” “Dari tadi kamu udah di atas, masa’ belum mandi-mandi. Kebanyakan alasan kamu. Sekarang kamu ke pasar belanja.” “Belanja? Untuk apa?” “Untuk masak dong, untuk apa lagi?” “Tadi aku udah masak.” “Saya mau masak lagi. Saya nggak mau makan masakan kamu, nggak enak.” Bukan main hancur hatinya saat mendengar apa yang dilontarkan Steffi. Namun ia tidak menunjukkan ekspresi itu. Ia lebih memilih keluar dari rumah dan belanja. Zi sudah terbiasa dengan semua omongan pedas Steffi. Steffi bukan seorang yang menghargai apapun yang dilakukannya. Zi akan selalu salah dimata Steffi, tidak pernah ada benarnya. Meski ia mencoba untuk baik, tetap tidak terlihat baik. Ia tidak mengerti kesalahan apa yang telah diperbuatnya. Ia ingin mempertanyakan, tapi tidak dapat  dilakukan karena kesempatan belum berpihak kepadanya. Dengan jarak pasar yang tidak jauh dari rumahnya, dalam waktu 10 menit ia dapat kembali ke rumah dengan membawa berbagai macam belanjaan yang mungkin akan dibutuhkan oleh Steffi. Hatinya masih terasa sakit mendengar apa yang dilontarkan oleh Steffi. Zi bertekad untuk mengeluarkan apa yang menjadi tanda tanya dalam dirinya. Ia harus mendapatkan jawaban agar dapat memperbaiki sesuatu yang tidak disadarinya, bahkan tidak pernah diketahuinya. Langkahnya menjadi perlahan dan hati-hati saat mendengar kericuhan yang terjadi di ruang makan. Ia mulai mendekat untuk mendengar lebih jelas. Ia penasaran apa yang diributkan saat berada di ruang makan. Setahunya, tidak pernah terjadi kericuhan saat mereka sedang menikmati makanan. Tapi kini berbeda. “Apa bedanya, sih?” “Semuanya beda. Apapun yang dihasilkannya, aku rasakan nggak enak.” “Tapi Zelo dan Qila selama ini menikmati semua itu. Hanya kamu yang nggak menikmatinya.” “Karena mereka tidak merasakan di mana letak kekurangannya.” “Kamu saja yang masih terbawa perasaan masa lalu. Semua di rumah ini menyukai masakan dia. Aku mengakui kehebatan memasaknya. Padahal kamu tidak pernah mengajarinya memasak, tapi dia dapat memasak selezat ini. Seharusnya kamu merasakan masakannya dengan naluri kamu, bukan dengan penglihatan masa lalu.” “Kamu selalu membela dia.” “Salah aku bela dia? Dia nggak memiliki salah apapun untuk kamu perlakukan seperti ini. Setiap kamu berhadapan dengan dia kamu selalu marah dan mengeluarkan kata-kata yang membuatnya sakit hati.” “Aku nggak peduli dia sakit hati atau nggak. Dia itu seharusnya sadar diri. Dia salah karena sudah hadir di rumah ini. Aku nggak pernah suka dengan dia.” “Kamu Mamanya, nggak boleh bicara hal seperti itu.” “Aku nggak pernah melahirkannya!” “Kamu benar-benar keterlaluan. Aku pikir kamu bisa menyayangi dan merawat dia seperti yang kamu lakukan pada Qila dan Zelo. Ternyata aku salah. Aku kecewa sama kamu.” “Kamu kecewa sama aku? Aku kecewa pada anak itu. Aku bingung seperti apa ibu kandungnya? Jangan-jangan ibunya seorang yang tidak benar, makanya dia seperti itu.” PLAK!! Suara tamparan itu jelas terdengar dan terlihat di hadapannya. Ia memilih meninggalkan mereka dan mengacuhkan apa yang selama ini ingin ia dengar. Belanjaan yang dibawanya terjatuh begitu saja saat mendengar perbincangan kedua orang tuanya. “Ziiiii???” teriak Papa. Hatinya remuk, hancur, tidak bisa disatukan lagi. Zi memang menginginkan alasan atas apa yang selama ini terjadi, tapi sangat tidak disangkanya bahwa alasan yang harus diterimanya seperih ini. Ia merasa sangat tidak berdaya. Orang tua yang selama ini disangka orang tuanya, orang yang telah melahirkannya, ternyata bukanlah seperti dugaannya. Ia dikecewakan dan disakiti oleh kenyataan yang terlalu pahit yang baru diketahuinya setelah sekian puluh tahun lamanya. Kenapa ia tidak diberitahukan sejak masih kecil, setidaknya ia dapat mengerti dan menerima sikap yang diberikan kepadanya. Kini Zi tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk mengobati rasa hatinya. Hatinya sangat keras menjerit, tapi tidak terdengar. Hatinya meratapi apa yang dialaminya. Hatinya terbuka menyambut luka yang diberikan. Air matanya tiada henti mengalir, menangisi keadaannya, keadaan terpuruk, terjatuh, tanpa penolong. Ia tidak tahu ke mana harus mengadu rasa hatinya. Ke mana ia harus bercerita derita hatinya. Ke mana ia harus berlari, mencari penenang hati yang menghapus pilu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD