Dua

2048 Words
Vino melajukan mobilnya menuju kesebuah tempat. Tempat andalannya saat ia merasakan sesuatu seperti saat ini. Saat kenangan-kenangannya bersama dengan seseorang terputar kembali. Bahkan ia merasakan aroma alkohol sejak usianya masih dini dikarenakan semua pikiran-pikiran yang tak bisa dilupakannya. Vino terlihat duduk dengan tenang dipojok ruangan diclub yang didatanginya. Dentuman musik seperti tak sampai pada pendengarannya. Dia hanya mendengar jeritan, tawa dan semua ocehan sahabat kecilnya. Ini terlihat lebih parah dari biasanya. Bahkan dia tak ingat sudah berapa banyak botol yang dihabiskannya. Vino merogoh saku celananya dan mencari kontak nama yang selalu dihubunginya disaat-saat seperti ini. "Halo? Vino?" Seru pemilik suara. Vino hanya tersenyum dan terkekeh. Kesadarannya sudah benar-benar hilang saat ini. Tangannya menurunkan ponselnya dengan lemah dan menyender pada punggung sofa. Tak berapa lama ada seorang wanita yang berjalan cepat menghampirinya. Ia tak mempedulikan tatapan para pengunjur club tersebut atau mungkin saja ada wartawan yang menyamar jadi pengunjung. Ia hanya mengkhawatirkan keadaan sahabatnya saat ini. Helaan nafas terdengar saat ia melihat Vino sedang terbaring lemah. Ia menghampiri sofanya. "Ya Tuhan, Vino...kau sudah minum berapa botol hah?" Vino membuka matanya sedikit. Diapun melambaikan tangannya dan terkekeh. Amy mendengus kesal. "Sudah berapa lama kau disini hah? Dan kenapa kau sampai minum banyak sekali? Lihat sudah berapa botol kau minum?" Sentak Amy meskipun ia sadar bahwa Vino tidak mendengarkannya. Amy hanya merasa khawatir saja dengan kesehatan sahabatnya itu. Terakhir Vino minum minuman alkohol sampai hampir delapan botol sudah dirawat kerumah sakit. Tubuh Vino sudah tidak bisa menampung banyak minuman alkohol karena dia sangat sering meminumnya. Setelah selesai menceramahi Vino yang tentunya tidak didengarkannya sama sekali, Amy merangkul Vino keluar dari club tersebut. Malam sudah semakin larut dan Amy tidak tahu sejak kapan Vino ada didalam club tersebut. Iapun membawa Vino masuk kedalam mobilnya dan pulang menuju apartemen Vino. Sampai diapartemen Amy langsung membaringkan Vino diranjangnya dan melepaskan sepatu serta tuxedonya. Tak lupa ia juga melepaskan dua sampai tiga kancing kemeja Vino. Lalu yang terakhir ia menyelimutinya. "Aku tidak tahu seperti apa teman kecilmu itu karena waktu itu aku belum mengenalmu tapi...aku ingin kau berhenti memikirkannya jika itu membuatmu sakit Vin. Aku menyayangimu lebih dari apapun. Aku tidak ingin kau terluka karena hal kecil. Semoga kau selalu bahagia." Bisiknya lalu mencium pipi Vino dan mematikan lampu kamarnya sebelum menutup pintu kamarnya. Amy kembali menghela nafas dan melenggang menuruni anak tangga lalu pergi untuk pulang keapartemennya yang berada sekitar sepuluh menit dari apartemen Vino. - Seorang wanita terlihat menyusuri lorong apartemen dengan senyum yang tak henti-hentinya mengembang. Luka yang ada dilengan dan kakinya sudah sedikit membaik meskipun terkadang masih merasa perih. Wanita itu berhenti tepat disalah satu pintu apartemen yang ada dilantai 10. Maniknya membaca nomor pintu tersebut. "229B. Cocok." Gumamnya lalu mulai menekan beberapa digit angka pada layar kode pintu tersebut. Ting Senyumnya kembali merekah bahkan sekarang sangat lebar. Wanita itu masuk dan menutup pintunya kembali. Sepasang mata cokelat itu mengamati setiap ruangan yang ada didalam apartemen tersebut. Ia mulai menaiki anak tangga dan langkahnya berhenti tepat didepan pintu berdinding hitam pekat. Tangannya mulai memegang knop pintu dan membukanya. Saat pintu terbuka, ia mulai masuk dan melihat seseorang yang dicarinya sedang tertidur pulas. Raut wajahnya terlihat melelahkan. Ia menghela nafas pelan. "Kau memang tampan tapi ketampananmu bagiku sudah hilang tertutupi oleh sikapmu yang sangat menyebalkan." Gumam Gynta. Gynta mulai mengeluarkan segulung tali yang sudah disiapkannya lalu mulai mengikat seseorang yang sedang tertidur pulas itu. Kedua kaki dan tangannya terikat terpisah disetiap sisi ranjang. "Ahh..selesai juga. Rasakan pembalasanku Mr.---Em...aduh, aku lupa lagi namanya. Kenapa aku tidak bisa menghafal nama dengan baik?" Gumam Gynta. Gynta mulai naik keatas ranjang dan menghias wajah Vino menggunakan spidol hitam. Selesai merias wajah Vino, ia mulai menaiki perut bidang Vino dan melompat-lompatkan tubuhnya diatas perut Vino layaknya anak kecil. Vino yang merasa tidurnya diganggu terpaksa membuka matanya perlahan dan mulai melebar saat melihat seorang wanita sedang menindih perutnya. "Kau??!!" Vino terkejut menyadari Gynta yang mengganggu tidurnya. Tiba-tiba ia merasa sangat pusing dan kepalanya seperti dihantam benda berat. Vino mulai mencoba menggerakkan kaki dan tangannya. Bola mata hitam Vino menoleh kearah kanan kiri. Dia kembali terbelalak saat menyadari semua pergerakannya terkunci oleh tali yang mengikatnya. "Hei! Lepaskan aku! Apa kau mau membunuhku hah?" Sentak Vino dan mencoba melepaskan ikatan talinya. Gynta menyeringai. "Selamat menikmati pembalasanku. Ini hadiah untuk calon suamiku yang sangat baik hati. Bagaimana, hmm? Apa kau menyukai hadiahmu?" Tatapan Vino menajam. "Gila. Kau psikopat. Cepat lepaskan aku bodoh!" Gynta terkekeh. Kekehannya terdengar seperti mencemooh Vino yang tidak bisa melawannya. "Aku akan melepaskanmu kalau kau bersedia membayar kesalahanmu." Vino mengerutkan kening. "Kesalahan? Aku tidak pernah berbuat salah denganmu. Bahkan aku menyelamatkan nyawamu. Cepat lepaskan!" Gynta mengarahkan telunjuknya pada bibir tipisnya. "Sstt.. jangan berisik. Aku tidak mau ada yang dengar sepasang calon suami istri sedang bermain." Vino menyeringai. "Jadi... kau ingin bermain sepasang calon suami istri denganku?" Gynta terlihat bingung. Tatapannya melemah dan ia memalingkan wajahnya sebentar lalu kembali menatap Vino. "Sudahlah. Janji saja kau akan membayar kesalahanmu maka aku akan melepaskanmu." "Janji." Jawab Vino enteng. Gynta menyipit dan menajamkan tatapannya. "Kau semudah itu mengucapkan janji?" "Aku sudah berjanji padamu jadi cepat lepaskan aku, calon istriku." Jawab Vino dengan nada yang dibuat-buat diakhir kalimat. "Hmm.. Aku tidak yakin padamu." "Hei, kenapa?" Tanya Vino tak setuju. "Tipe orang sepertimu itu bukan tipe orang yang mudah menepati suatu perjanjian. Bahkan kau belum tanya padaku apa yang aku inginkan." Vino memutar bola matanya. "Baiklah. Apa yang kau inginkan dan cepat lepaskan aku." "Hmm.." Gynta menempelkan jari telunjuknya pada dagunya layaknya seseorang sedir memikirkan sesuatu." Saat ini aku belum yakin ingin apa, mungkin suatu saat nanti. Jadi kau harus ingat janjimu itu." "Oke. Oke. Baiklah. Cepat lepaskan aku!" Gynta pun turun dari perut Vino dan mulai melepaskan kedua kakinya dan kedua tangannya. Saat Gynta ingin bangkit dari ranjang, ia merasa sepasang lengan besar memeluk perut datarnya dan menariknya membuat tubuh Gynta terjatuh ke ranjang. "Aaa." Pekik Gynta. Sekarang posisi yang dirasakan Vino telah dirasakan oleh Gynta. Vino mengunci pergerakan tangan Gynta dan mengangkangi perutnya. "Mau kemana? Bukankah tadi kita mau main suami istri, hmm?" Ledek Vino dan menyeringai. "Kau Gila! Lepaskan tanganku!" Sentak Gynta dan mencoba melepaskan cengkeraman lengan Vino pada lengannya yang berada diatas kepalanya. Vino seperti tidak mendengar ucapan Gynta. Dia mulai mengambil tali yang tadi mengikat lengannya lalu mengikat kedua lengan Gynta menjadi satu dan ditambatkan pada kepala ranjang. Gynta mencoba melepaskan ikatan tersebut namun justru menyakiti lengannya. "Baiklah. Kau sudah menghukumku dan sekarang biarkan aku menghukummu karena sudah membuatku kacau kemarin dan mengganggu waktu pagi hariku yang sangat indah ini." Ujarnya. Gynta menyipitkan matanya saat mengetahui Vino mulai membuka kancing kemeja sehingga memperlihatkan d**a dan perut bidangnya. "Ap-apa yang akan kau lakukan? Lepaskan!" Sentak Gynta. Vino hanya menyeringai lalu membuang kemejanya sehingga memperlihatkan pahatan sempurna pada tubuhnya. Gynta semakin bingung dan cemas dengan apa yang akan dilakukan Vino padanya. Vino mendekatkan tubuhnya pada tubuh Gynta dan bermaksud menindihnya. Gynta yang tahu tidak bisa berbuat banyak hanya menutup matanya dan memalingkan wajahnya kearah samping. Semakin dekat Gynta semakin merasakan nafas Vino yang menyapu kulit wajahnya dengan hangat. Saat Gynta merasa semakin takut dan Vino juga semakin mendekat tiba-tiba saja dia menangis dan menjerit. Jeritannya pun terdengar bergetar. "Alvin!" Jerit Gynta membuat Vino menghentikan aksinya. Vino mematung dan menatap Gynta lekat-lekat. Tangis mulai samar terdengar dari bibir Gynta. Tak lama Vino melepaskan ikatan pada lengan Gynta lalu bangkit dari ranjang dan mengambil kemejanya. Dia kembali memakai kemejanya sedangkan Gynta masih menangis diatas ranjang dalam keadaan terbaring dan menutup wajahnya. Vino keluar kamar menuju ruang tamu lalu duduk diatas sofa. Tatapannya kembali kosong. Setiap kali gadis itu menjerit menyebut nama kecilnya, membuat semua kenangan Vino dengan sahabatnya terputar kembali. Vino sangat merindukannya. Sangat sangat dan sangat. Mungkin kalau ada kata lebih dari sangat akan bisa mengutarakan isi hatinya saat ini. Sedangkan didalam kamar saat Gynta menyadari Vino sudah keluar, ia mulai duduk dan merapikan tali-tali diranjang Vino. Meskipun isak tangis masih terdengar namun Gynta mulai menghentikannya. "Dasar! Apa yang dipikirkan pria itu? Pikirannya sangat tidak waras memperkosa wanita dipagi hari. Apa dia pria hypersex? Ya tuhan... Awas saja sudah membuatku menangis, aku akan membalasnya." Gerutu Gynta dan berniat ingin kekamar mandi untuk mencuci wajahnya bekas menangis. Selesai dari kamar mandi ia berniat ingin langsung pulang. Ia menuruni anak tangga dan berjalan menuju pintu keluar. "Mau kemana? Sarapan dulu. Aku tidak mau orang tuamu itu mengira aku seorang yang kejam karena tidak memberimu makan." Ujar Vino dari arah dapur. Gynta melirik dan melihat sudah ada beberapa makanan terhidangkan. Iapun melenggang menuju meja makan. Saat Vino berbalik dan membawa semangkuk sup shchi, Gynta menahan tawanya dengan menutup bibirnya melihat wajah Vino masih penuh dengan hiasan spidol karyanya. "Ada apa? Kau menertawaiku hah?" Tanya Vino dingin. Gynta memutar bola matanya. "Tidak. Untuk apa menertawaimu! Seperti tidak ada kerjaan lain saja." Vino menatap tajam kearah Gynta dan ikut duduk dikursi. "Makan yang banyak biar kau cepat besar." "Apa? Apa kau pikir aku masih kecil?" Tanya Gynta kesal. "Kau itu memang masih kecil. Tinggimu saja tidak mencapai dadaku." Jawab Vino sarkatis. Gynta mengerucutkan bibirnya dan mengambil makanannya dengan kesal membuat dentingan sendok terdengar sangat jelas. "Hei. Mengambil makanannya yang benar bocah." "Aku bukan bocah, bodoh!" "Kalau kau bukan bocah kenapa tinggimu hanya 150cm saja?" "Yang benar 155cm." Ralat Gynta. "Sama saja." Jawab Vino acuh dan mulai memasukkan makanan kedalam mulutnya. "Darimana kau tahu alamat apartemen dan kode apartemenku?" Tanya Vino tanpa menoleh kearah Gynta. "Dari Maria. Aku ingin membalas perbuatanmu kemarin dan Maria mendukungnya lalu memberikan alamat apartemenmu lengkap dengan kodenya padaku." Jawab Gynta sembari menikmati makanannya. Vino terlihat mendengus kesal. "Aku tidak tahu kenapa Mommy percaya padamu padahal dia tipe orang yang sangat sulit percaya dengan orang asing, terlebih dengan bocah kerdil sepertimu." Gynta tersentak mendengar ucapan Vino. Berkali-kali Vino memanggilnya dengan sebutan bocah. Memang tak bisa dipungkiri tinggi badan dan raut wajah Gynta sangat mendukung kalau ia terlihat seperti bocah kuliahan. Raut wajahnya yang diwarisi dari ibunya mempunyai hidung mancung yang ramping, bibir merah yang tipis, bola mata yang lebar dan dagunya yang terbelah dua sangat pas dengan rambut brunette sepunggungnya. "Sudah kukatakan padamu berkali-kali kalau aku itu bukan bocah. Apa kau tidak mendengarkannya, hah?" Vino terlihat diam mengabaikan ucapan Gynta membuat Gynta kesal. "Aku sudah tidak nafsu makan denganmu." Ujar Gynta lalu bangkit dari kursinya dan berjalan menuju wastafel untuk mencuci piringnya. "Kau pikir aku menikmati makan dengan bocah kerdil sepertimu." Jawab Vino dan mulai mencicipi sup shchi-nya. Gynta semakin kesal sehingga tanpa pikir panjang ia mendorong kepala Vino sampai Vino menabrak sendoknya dan tersedak. Gynta terkekeh bahagia melihat Vino tersedak dan terbatuk-batuk. "Rasakan itu. Makanya jangan berani mengejekku bocah." Tukas Gynta dan mengambilkan satu gelas air putih untuk Vino. "Ini." Ujarnya dan memberikan gelasnya. Vino langsung menerima gelas tersebut dan meminumnya. Setelah merasa keadaannya sudah mendingan ia menatap tajam kearah Gynta yang sedang menatapnya dengan tatapan santainya. "Apa kau gila? Kau ingin membunuhku hah?!" "Kalau itu akibatnya ya mungkin." Jawab Gynta enteng. "Kau ini....sangat menjengkelkan sekali." Desis Vino lalu masuk kedalam kamar untuk membersihkan tubuhnya. Gynta hanya duduk disofa dan menyalakan televisi. Saat ia berpikir Vino akan mandi, Gynta kembali berjalan menuju kamar Vino. Ia masuk kedalam kamar dan mendengar shower sedang dinyalakan. Gynta terkekeh pelan dan berdiri dibalik pintu kamar mandi Vino. Ia bergumam seorang diri layaknya sedang menunggu sesuatu yang menarik. "1... 2... 3..." "Gynta!!!!" Teriak Vino. Gynta tertawa keras membuat Vino membuka pintu kamar mandinya. Sontak Gynta menutup matanya sejenak melihat keadaan Vino yang topless lalu berlari keluar kamar. Vino yang geram dengan kelakuan Gynta pun mengejar Gynta sembari berteriak memanggil-manggil namanya. "Gynta!!! Berhenti!" "Hei bocah!!! Berhenti kubilang!!!" Gynta tak mendengarkan teriakan Vino, ia berlari sampai keluar apartemen Vino. Vino mengikutinya namun sayangnya saat Gynta sudah masuk kedalam lift Vino sudah tidak bisa mengejarnya karena pintu lift sudah tertutup terlebih keadaannya yang keluar apartemen hanya mengenakan handuk saja. Didalam lift Gynta tertawa terpingkal-pingkal sampai memegangi perutnya yang mulai terasa ngilu. "Aduh.. Ya tuhan.. pria itu sangat aneh. Haaaahh..." Gumam Gynta dan diakhiri helaan nafasnya. Gynta langsung keluar berniat untuk pulang keapartemennya. Namun karena ia masih asyik menertawakan Vino membuatnya tak sengaja menabrak seseorang. "Eh, maaf. Aku tidak sengaja." Ujarnya. Wanita itu tersenyum manis. "Tidak apa-apa." Jawabnya singkat. Gynta membalas senyuman wanita itu dan melenggang keluar dari lobby. Alih-alih wanita itu justru menoleh dan memperhatikan langkah Gynta. "Sepertinya aku pernah melihatnya." Gumam Amy dan kembali melanjutkan langkahnya untuk melihat keadaan Vino.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD