Satu

2480 Words
"Apa?! Mom!" Seorang pria mengerang frustasi didalam ruangannya. Telapak tangannya mengusap wajahnya dengan kasar. "Aku tidak mau menikah dengannya Mom. Aku tidak mengenalnya!" Pria itu bersikeras menolak rencananya Maria-Ibunya-untuk menjodohkannya pada Gynta Seraphine, seorang wanita yang ditemuinya disebuah acara tiga hari yang lalu. "Kalau kau tidak menikah dengannya lalu dengan siapa? Dengan Amy?" Suara wanita itu terdengar tenang meskipun saat ini putra tunggalnya sesekali mengerang frustasi dan membuang nafasnya dengan kasar didepannya. "Mom. Aku juga pasti nanti akan menikah dengan wanita pilihanku sendiri. Untuk apa aku menikah dengan gadis yang tidak aku tahu asal usulnya itu." Elak Vino dan berjalan menghampiri meja kebesarannya. "Kapan kau akan menikah? Menunggu Mommy menyusul Daddy mu disurga? Ingat Vin, kau harus mempunyai pewaris untuk perusahaan ini. Daddymu dulu membangunnya dengan susah payah dan Mommy tidak ingin jatuh ditangan yang salah nantinya." "Dan Mommy percaya pada gadis bodoh itu? Apa Mommy sudah lama mengenalnya sehingga sangat percaya dengannya?" "Mommy baru mengenalnya tapi Mommy yakin dia gadis yang baik. Lagipula dia juga tidak pernah menjalin hubungan dengan pria manapun." "Baiklah. Lalu siapa pria yang waktu itu mengejarnya dan memanggilnya dengan panggilan sayang?" "Alvin.." Lirih Maria "Mom.." Vino ikut melirih dan memohon. " Jangan panggil aku dengan nama itu Mom." Maria menghela nafas pasrah dan mendekati Vino yang duduk dikursi miliknya. Maria memegang pundak putranya itu dan mengelusnya sejenak. "Mommy akan menyiapkan semuanya. Mommy harap kau tidak menolak keinginan Mommy yang satu ini Vin. Teman kecilmu itu juga pasti sudah menikah saat ini dan sudah mempunyai anak. Kau harus sadar sayang. Mommy menyayangimu." Ujarnya lalu pergi meninggalkan ruangan anaknya tersebut. Vino kembali menghela nafas saat Ibunya sudah tidak ada diruangannya. Tangan kanannya meraih ponselnya dan menghubungi seseorang. "Halo. Vino?" Sapa pemilik suara tersebut. "Aku ingin bertemu. Apa kau ada waktu?" Tanya Vino lemas. "Iya. Aku yang akan menemuimu. Kau tunggu saja dikantormu. Aku menyayangimu." Jawabnya dan memberi Vino ciuman diakhir percakapannya. Vino hanya bisa memutar bola matanya mendengar Amy yang selalu bersikap layaknya kekasih dengannya sebelum mematikan teleponnya. Terdengar seseorang mengetuk pintu ruangannya, Vino mendongak dan menoleh kearah pintunya. Ia melihat Cinthya-sekretarisnya-menuju kearahnya dengan sebuah map ditangannya. "Selamat siang Sir. Ini laporan yang anda minta." Ujarnya lalu memberikan map berwarna kuning tersebut. Vino pun menerimanya dan langsung menyuruhnya pergi. Keadaan mood Vino memang sedang buruk saat ini. Dia merasa sangat kesal pada ibunya karena melakukan hal konyol dengan menyuruhnya menikah dengan Gynta, gadis yang baru ia tahu namanya beberapa menit yang lalu. Tak lama pintu ruangannya kembali terbuka. Tatapan Vino sempat menajam beberapa detik kearah seseorang yang membuka ruangannya tanpa mengetuknya terlebih dahulu. "Hai sayang..." Sapa wanita tersebut dan merangkul Vino lalu mencium pipi kanan Vino sekilas. Saat Amy melepaskan rangkulannya dan hendak berputar untuk duduk dikursi depan mejanya, Vino menariknya hingga terjatuh kedalam pangkuannya. Kedua lengan Vino merangkul Amy erat. "Aku sudah sangat sering membantumu. Sekarang aku butuh bantuanmu." Lirih Vino dan menyenderkan kepalanya pada pundak Amy. Amy terkekeh sebelum merespon ucapan sahabatnya itu. "Memangnya apa yang baru saja terjadi? Sepertinya itu sangat tidak baik." Vino menegakkan tubuhnya lalu menyender pada punggung kursinya. "Cium aku." Amy menaikkan sebelah alisnya dan Vino menghela nafas pelan. "Mommy menyuruhku untuk menikah dengan gadis yang waktu itu aku temui di acara tiga hari yang lalu. Aku ingin dia membenciku dan menolak pernikahan kami. Kau tahu kan apa yang harus dilakukan?" "Aku tidak mau Vin. Aku tidak mau melakukannya kalau itu membuat Maria sedih." Vino kembali mendesah mendengar jawaban Amy. Tentu saja Amy tidak mau membantunya jika itu akan membuat ibunya sedih karena Amy juga sangat menyayangi ibunya. "Tapi aku akan menghiburmu jika itu yang kau butuhkan sekarang." Imbuhnya membuat Vino menaikkan sebelah alisnya. Amy mencium bibir Vino sekilas lalu tersenyum dan membisikkan sesuatu tepat didepan bibir Vino. "Aku menyayangimu." Lalu kembali mencium bibir Vino. Vinopun membalas ciuman Amy. Lengannya semakin mengerat pada pinggang Amy. Mereka berciuman cukup lama sampai ada seseorang yang mengetuk pintu ruangannya. Amy melepaskan ciumannya lalu mencium pipi kanan Vino sekilas sebelum bangkit dari pangkuan Vino. "Aku harus pergi sekarang. Nanti malam aku akan menemuimu diapartemenmu." Ujar Amy lalu pergi keluar dari ruangan Vino. Saat Amy keluar salah satu karyawannya yang mengetuk pintunya pun masuk dan kembali memberikan sebuah map yang harus di acc oleh Vino. - Seorang wanita terlihat sangat berkonsentrasi dengan pekerjaannya. Setumpuk berkas dimeja sudah cukup membuatnya sibuk bahkan lupa dengan istirahat jam makan siangnya. Ia harus menyelesaikan pekerjaannya secepatnya sebelum musim panas tiba. Ia-Gynta Seraphine-sangat ingin menikmati liburan musim panas selama satu minggu yang diberikan perusahaan tempatnya bekerja. Sebagai salah satu karyawan terbaik diperusahaan periklanan tempatnya bekerja tak jarang selalu dimintai bantuan oleh karyawan lainnya bahkan anak buahnya. Setelah hampir sepuluh jam berkutik dengan setumpuk berkas membuatnya pulang larut malam. Ia pun menaiki audy miliknya yang berhasil ia beli dengan jerih payahnya sendiri. Hidupnya yang selalu mendapat pengasuh berbeda-beda membuatnya mandiri. Ia selalu melakukan apapun sendiri selagi ia bisa melakukannya. Mempunyai orang tua angkat konglomerat tidak membuatnya selalu bergantung padanya. Bahkan Gynta akan pulang kedalam rumah kedua orang tuanya jika akan mengadakan suatu acara atau saat hari-hari penting saja. Sepanjang jalan Gynta hanya ditemani oleh sebuah lagu kesukaannya. Human milik Christinna Perri, ia sangat menyukainya. Gynta memang manusia biasa, meskipun ia bisa melakukan apapun namun pada akhirnya ia juga akan merasa lelah, merasa bahwa dirinya memang hanya manusia biasa. Selalu mendapatkan pengasuh yang berbeda-beda mengajarkannya harus selalu bisa mengandalkan diri sendiri dan jangan bergantung pada orang lain. Bahkan Gynta merasa kalau dunia ini hanya miliknya, ia selalu berpindah-pindah setiap saat dan ia merasa mempunyai banyak rumah didunia ini. Tanpa sadar ia menghela nafas jika mengingat kehidupannya yang sudah dijalani hampir 27 tahun. Sampai diapartemennya, Gynta langsung masuk kedalam apartemen. Langkahnya tiba-tiba terhenti dan tatapannya menajam pada sosok pria yang membelakanginya. "Osbert?" Pria itu menoleh dan langsung menghampiri Gynta untuk memeluknya. "Hei stop! Mau apa kau kesini? Bagaimana kau bisa masuk keapartemenku?" Osbert menghentikan langkahnya dan menurunkan kedua lengannya yang sudah direntangkan diudara. "Aku kan calon suamimu jadi nantinya apartemen ini juga akan menjadi milikku juga, bukan?" Gynta menatap horor kearah pria yang mempunyai tingkat percaya diri diatas rata-rata tersebut. "Mimpimu terlalu tinggi Mr. Chan." Osbert terkekeh. "Apa kau lebih memilih menikah dengan pria yang waktu itu menciummu?" Raut wajah Gynta memerah dan tatapannya menajam. "Pergi dari apartemenku sekarang sebelum aku melakukan sesuatu padamu Mr. Chan." Osbert kembali tertawa lirih dan memalingkan tubuhnya. Dia berjalan mengelilingi ruang tamu yang diselimuti cahaya remang dari bulan karena Gynta memang belum menyalakan lampunya. Gynta menghela nafas pelan. "Pergi Osbert!" Sebuah dering ponsel dari saku celana pria itu membuat perhatiannya teralihkan. Osbert mengangkat teleponnya dan berjalan keluar dari apartemen Gynta sembari berbicara pada penelepon. Gynta yang menyadari hal itupun langsung mengunci pintu apartemennya. Selesai mengganti pakaiannya dan makan malam Gynta langsung beranjak untuk tidur. Ia sangat lelah hari ini dan tidak mempedulikan seorang pria yang masih saja mengetuk pintu apartemennya dan menekan bel pintu sampai beberapa kali. Gynta sedang tidak ingin diganggu malam ini. Ia ingin menikmati hari libur besok pagi meskipun hanya sehari dan harus bekerja lagi untuk mengejar libur musim panas yang dinantikannya. Keesokan paginya Gynta bangun dengan malas. Tangan kirinya nampak dari balik selimut untuk meraih benda pipih yang ia taruh diatas nakas. Mata Gynta terbuka selebar alis. Ia melihat sepuluh misscall dan lima pesan dilayar ponselnya. Pesan paling atas dari kedua orang tua angkatnya. Gynta hanya menghela nafas membaca isi pesan tersebut. 'Datang kerumah nanti siang setelah kau rapi. Jangan lupa untuk dandan yang cantik sayang. Kami ingin makan siang denganmu. Salam sayang.' "Mengganggu saja." Gumam Gynta dan bangkit dari ranjang. Pikiran Gynta kembali melayang pada kejadian tiga hari yang lalu dimana kedua orang tua angkatnya datang keapartemen dan memaksanya untuk mau menikah dengan pria yang bahkan tak ia kenal dan tak ia tahu namanya. Karena sudah larut malam dan ia juga merasa sangat lelah iapun menyetujuinya walaupun ia tak tahu bagaimana kedepannya. Saat itu ia hanya ingin menghindar dari perdebatan saja dan tak terlalu serius untuk menyetujuinya. - Gynta memarkirkan mobilnya tepat didepan halaman rumah. Ia sempat bingung kenapa ada mobil lain didepan halaman rumah. Keningnya berkerut sesaat sembari ia melenggang masuk kedalam rumah. "Anda sudah ditunggu dihalaman belakang, Nona." Ujar pelayan rumahnya dan menuntun Gynta menuju halaman belakang rumah. Sangat benar. Sekarang dihalaman belakang rumahnya sudah disiapkan layaknya makan siang bersama. Maniknya menangkap kedua orang tuanya dan dua orang asing yang membelakanginya. Gynta menghela nafas dan perlahan menghampiri meja bundar tersebut. "Gynta.." Sapa Laurent dan menghampiri Gynta sembari memeluknya. Gynta melirik kearah pria bertuxedo hitam dengan kemeja putih dan seorang wanita paruh baya yang juga menatapnya dan tersenyum manis kearahnya. Maria bangkit dari duduknya dan menghampiri Gynta. "I-ini Gynta? Gynta Seraphine?" Tanyanya dengan mata berbinar. Gynta hanya tersenyum simpul dan mengangguk. Ekor matanya mengikuti pria yang masih duduk acuh dengan ponsel digenggaman tangan kanannya. Tiba-tiba saja Maria memeluk Gynta layaknya tak pernah bertemu sangat lama. "Kau sangat cantik sekali." Ujarnya setelah melepaskan pelukannya. Manik abu-abunya masih menatap lekat-lekat gadis didepannya. Gynta tersenyum sebelum menatap ibunya. "Mom. Ak-" "Ayo sayang..duduk." Ujar Laurent memotong ucapan Gynta dan menarik Gynta untuk duduk diantaranya dan pria yang masih tak menatapnya. "Vino. Simpan ponselmu sekarang waktunya makan." Ujar Maria dan Vino hanya menghela nafas sebelum menyimpan kembali ponselnya. Mereka makan dengan tenang kecuali Gynta yang terlihat menyembunyikan dengusannya setiap kali orang-orang tua didepannya membicarakan tentang hidup masing-masing anaknya. 'Bahkan mereka tak tahu siapa orang tuaku tapi terlihat seperti sangat mengenalku.' Batin Gynta sembari menatap kearah orang tua angkatnya. Selesai acara makan siang Gynta menyusuri halaman belakang dan duduk disalah satu ayunan yang sering ia mainkan saat berkunjung kerumahnya. Gynta terlihat tenang saat mengayunkan kedua kakinya pelan melayang keudara. Ia sangat suka bermain dengan ayunan karena ia merasa ayunan adalah teman setianya. Meskipun ia sendirian berayun pasti ia selalu tertawa. "Sepertinya kau sangat menikmatinya." Suara berat itu terdengar tepat diatas kepalanya. Gynta mendongak dan melihat pria yang makan siang dengannya itu sedang mengapit dua rantai disetiap sisi ayunan yang ditungganginya. "Benar. Aku sangat menikmatinya sampai ada seseorang yang menggangguku." Jawab Gynta sarkatis lalu kembali menatap lurus kedepan. Vino menyunggingkan satu ujung bibirnya. "Apa kau ingin menikah dengan pria berusia sepuluh tahun lebih tua darimu?" Gynta mengerutkan kening. "Maksudmu usiamu 37 tahun?" "Lebih baik kau selesaikan dulu kuliahmu lalu mencari pekerjaan dan setelah itu baru kau memikirkan tentang pernikahanmu." "Ap-apa?" Gynta bingung dan merasa kesal dengan ucapan pria dibelakangnya. Ia pun berniat untuk bangkit dari ayunan untuk melanjutkan argumen mereka. Namun saat ia hendak menjalankan niatnya, ia merasa sepasang lengan besar itu pindah pada kedua bahunya untuk menahannya berdiri dan kembali mengapit masing-masing sisi rantai lalu menariknya dan mendorongnya tiba-tiba. Sontak tubuh Gynta terayun diudara. Ayunanannya semakin dikencangkan oleh Vino membuat Gynta menjerit tak karuan. "Hei! Hentikan!!!" Jerit Gynta. Tinggi badan Gynta yang hanya mencapai 155 cm membuat ujung kakinya tak bisa menghentikan laju ayunannya yang semakin dipercepat. Sedangkan Vino hanya terkekeh melihat tubuh Gynta terlihat ringan diudara bagai bulu angsa yang terbang bebas. "Hei!! Aku bilang hentikan bodoh!" "Tidak mau." Jawab Vino enteng dan semakin kencang mendorong ayunannya. Rambut brunette Gynta menari bersamaan dengan ujung-ujung rok gaunnya. Gynta menutup kedua matanya dan pegangannya semakin diperkuat karena pria yang mendorongnya itu seperti mengalami tuna rungu dan tidak mendengarkan ucapannya. "Alvin!" Jerit Gynta membuat Vino tertegun. Jeritan Gynta terdengar seperti seseorang yang minta tolong. Tatapan Vino menjadi kosong tiba-tiba. Ingatannya kembali memutar kenangan saat Tata-sahabat kecilnya-menjerit karena terjatuh saat menaiki sepeda milik Vino. Tata menjerit memanggil namanya dan menangis saat ia terjatuh dari sepeda lalu meringis kesakitan. Karena ayunannya masih kencang dan tidak ada orang yang menahannya, terlebih Gynta sudah sangat gemetaran ia pun terjatuh dari ayunan dan tubuhnya menapak pada rumput hijau. Gynta meringis kesakitan dan menatap tajam kearah Vino yang masih mematung. "Aahhh... awas saja kau Mr.---" Gynta terlihat berpikir sejenak karena ia lupa nama pria yang membuat keadaannya seperti sekarang ini. "Ah.. sudahlah. Namanya juga tidak penting. Aku akan membalasmu." Gumam Gynta saat menyadari Vino sudah melenggang meninggalkan tempat itu. "Vino, Gyntanya dimana?" Tanya Laurent saat melihat Vino melewati ruang tengah. Vino bergeming. Ia masih melanjutkan langkahnya melewati ruangan tersebut. Ketiga orang yang ada diruangan tersebut saling menatap satu sama lain. Maria pun menghela nafas. "Vino..." Panggil Maria. "Apa yang terjadi dengan mereka?" Tanya Arnold. "Entahlah. Aku akan berbicara dulu dengan anakku." Jawab Maria lalu menyusul Vino. Saat Maria sudah sampai dihalaman depan ia melihat Vino masuk kedalam mobil dan melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. "Vino!!" Jerit Maria dan berusaha untuk mencegah Vino saat mengitari bundaran dihalaman depan namun Vino tak mempedulikannya dan keluar dari halaman tersebut untuk membelah jalan raya. "Ada apa dengan anak itu? Tidak biasanya dia semarah itu." Gumam Maria. Tatapannya masih memperhatikan halaman rumah. "Kemana Vino? Apa dia baik-baik saja?" Tanya Laurent yang berdiri disamping Maria diikuti oleh Arnold. Maria menghela nafas pelan. "Entahlah. Sepertinya dia sangat marah. Tapi belum pernah dia terlihat semarah itu." Laurent ikut menghela nafas. "Ini pasti karena Gynta. Ya tuhan.. Maria aku mohon maafkan tingkah Gynta. Dia memang sedikit keras kepala." Maria tersenyum dan menggeleng. "Tidak. Aku yakin bukan salah Gynta. Sudahlah, nanti juga Vino akan kembali membaik setelah sedikit tenang." Manik Maria kembali tertuju pada ruangan rumah. "Dimana Gynta? Aku ingin sekali berbincang-bincang dengannya." Mereka bertiga kembali masuk kedalam rumah dan melenggang menuju halaman belakang. Namun manik mereka tak menemukan seseorang yang dicarinya. "Mungkin Gynta sudah masuk kekamarnya." Ujar Arnold. Dua wanita itupun mengangguk dan kembali melanjutkan menyusuri tiap ruangan dan menaiki anak tangga. Saat mereka sudah ada didepan pintu kamar Gynta, Laurent mengetuk pintunya. "Gynta,, kau didalam?" Tak ada jawaban. Laurent pun membuka pintu dan terlihat Gynta sedang duduk disisi ranjang. Ia terlihat sibuk membersihkan beberapa luka yang ada dilengan dan kakinya. Sesekali ia juga meringis saat merasa perih dilukanya. "Gynta? Ya tuhan.." Umpat Maria dan langsung menghampiri ranjang Gynta. "Gynta, kau tidak apa-apa kan? Apa yang terjadi? Apa Vino berbuat sesuatu padamu?" Tanya Maria khawatir. Gynta hanya tersenyum kecut diiringi ringisannya. "Tidak. Aku tidak apa-apa." "Tapi kau terluka. Lihat tangan dan kakimu. Ayo biar aku antar kerumah sakit." Gynta menggeleng pelan dan tersenyum. "Tidak perlu. Aku tidak apa-apa." Laurent dan Arnold sempat bingung melihat tingkah Maria yang terlihat sangat khawatir. Begitupun dengan Gynta, ia merasa baru pertama kalinya melihat seseorang yang terlihat tulus khawatir padanya. Ia mulai merasa menyukai Maria. "Sini, biar aku bantu mengobati lukamu." Ujar Maria dan mengambil alih cotton pad yang terolesi obat merah. Gynta menahannya. "Tidak perlu. Aku bisa mengobatinya sendiri. Oh yah, dimana..." Ucapan Gynta terhenti karena ia tidak bisa melanjutkan ucapannya namun pandangannya terlihat sedang mencari seseorang. "Vino? Dia sepertinya sudah pulang." Jawab Maria menyesal. 'Oh.. Jadi pria itu namanya Vino.' Batin Gynta "Ya sudah sayang, lebih baik kau istirahat saja dirumah. Jangan pulang keapartemen dulu. Nanti akan Mommy hubungi dokter untuk memeriksa lukamu." Ujar Laurent. Gynta pun mengangguk mengiyakan ucapan ibunya. "Sepertinya aku juga harus pulang sekarang. Nanti aku akan datang lagi." Ujar Maria sembari menatap kearah Laurent dan Arnold yang dibalas anggukan. Maria kembali menatap Gynta. "Jaga dirimu baik-baik. Semoga cepat sembuh." Ujarnya lalu mencium kening Gynta.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD