Kembalinya Andri

1432 Words
Minggu, 14 Juni. Hari di mana kelangsungan acara lamaran Bella dan Irgi dimulai. Aku bahagia, tentu, tapi aku tidak bisa membohonginya kalau di tengah kebahagiaanku aku tetap merasakan kesedihan. Sedih karena seharusnya aku yang berada di momen ini terlebih dahulu, dan sedih karena Aldy tidak ada di sini.   “Nyn, ayo foto dulu bareng-bareng.” Mama memanggilku yang sedari tadi sibuk dengan handphone. Kami semua berfoto. Keluargaku, keluarga besar orang tuaku, dan juga keluarga Irgi. Aku dan Irgi memang terbilang cukup dekat, karena Irgi tipikal orang yang ramah dan supel.   “Nyn, yuk foto bertiga.” ajak Irgi.   “Enggak ah Kak, malu, keliatan banget ngenesnya.” balasku terkekeh. Irgi hanya tertawa pada saat itu. Aku dengan Irgi berbeda usia 3 tahun, itu sebabnya aku memanggilnya dengan sebutan Kakak.   “Yah Nyn, kamu kapan? Bisa-bisanya diduluin Bella?” Ucap salah satu pamanku yang tiba-tiba menghampiri.   “Gampang, nikah bukan ajang perlombaan kok.” jawabku singkat sambil berlalu. Jauh sebelum acara ini tiba, aku sudah melatih mentalku untuk diserang dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak sepantasnya mereka tanyakan. Tapi nyatanya, aku masih sangat ringkih untuk menghadapinya. Pernah sesekali terlintas di pikiranku. Keluargaku, terutama kedua orang tuaku pasti sudah tahu jika aku akan diserang oleh pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Namun, kenapa mereka tidak mencegah para oknum itu untuk melakukannya? Maksudku, setidaknya orang tuaku mengerti dan menjaga perasaanku. Jadi, jauh dari sebelum acara, mereka sudah bicara kepada saudara-saudaranya untuk tidak menanyakan hal tersebut. Tapi sepertinya, orang tuaku tidak perduli, yang penting bagi mereka hanya acara Bella dan Irgi berjalan dengan lancar tanpa memikirkan perasaanku sedikitpun.   “Loh, Nyn? Aldy kok gak dateng? Gak dikasih tau?” Tiba-tiba Irgi datang menghampiriku.   Aku sempat terdiam beberapa saat hingga akhirnya mendapatkan alasan “Enggak, Kak. Dia lagi ada acara, katanya salam aja buat kalian.” Memang tidak ada yang tahu soal hubungan aku dengan Aldy saat ini. Yang mereka tahu, aku dan Aldy baik-baik saja. Ku harap juga begitu, tapi nyatanya tidak. Handphone ku bergetar, kulihat pesan dari Aldy muncul di pop-up. ALDY [By, are you ok?] Aku terdiam sambil mengerukan dahi. Apa ia tahu bahwa hari ini Bella dan Irgi lamaran? Padahal, aku tidak meng-upload apapun di sosial media. Kemudian aku teringat bahwa Aldy dan Irgi saling berfollow-an di salah satu platform yang ramai digunakan. ME [Fine.] ALDY [Aku titip salam untuk Kak Irgi dan Bella, ya? Besok kamu ada waktu? Bisa ketemu?] ME [Gak bisa, aku sibuk.] Kemudian Aldy langsung menelponku saat itu juga, tapi aku me-riject nya dan langsung mengubah handphoneku ke mode pesawat. Itulah Aldy, dalam hal apapun, iya tetap memanggilku dengan panggilan kesayangannya, By. Semenjak kami berpacaran, aku sudah tidak pernah mendengar ia memanggil namaku sama sekali, kecuali di saat ia berbicara tapi tidak kudengarkan karena sibuk fokus membaca novel, “Arnyn, dengerin dong Aldy lagi cerita.” Begitu kurang lebihnya. Ah, lagi-lagi aku rindu Aldy. Ingin rasanya bertemu dengannya, tapi untuk apa? Memperbaiki semuanya? Terlambat, Sayang. Sudah tidak ada yang bisa diperbaiki di sini. Di tengah-tengah acara Bella yang sudah hampir selesai, aku izin untuk pergi keluar sebelum mengganti dress yang saat ini aku pakai menjadi kaos panjang dan celana jeans, tak lupa juga sneakers putih kesayanganku. Seperti biasa, aku pergi mengunjungi toko buku. Entah kenapa, aku berharap Aldy datang tiba-tiba menemuiku di sini, meskipun aku harus pura-pura terus ketus terhadapnya. Tapi ternyata, ia tidak datang. Ketika sedang asyik memilih buku-buku terbaru, terdapat satu buku yang begitu menarik perhatianku. Aku langsung mengambilnya, tapi ternyata ada tangan lain yang ikut mengambil.   “Loh? Arnyn?” ucap lelaki itu tidak percaya. Aku pun mengernyitkan dahiku sejenak, sosok laki-laki yang pernah kuperjuangkan selama 8 tahun kini ada di depan mataku, lagi.   “Andri?” kataku.   “Wah, masih inget ternyata. Oh iya, kamu mau baca bukunya? Baca aja duluan.” Sambil menyerahkan buku yang hampir kami perebutkan.   “Eh, gak apa-apa kok Ndri. Kamu duluan aja, aku baca yang lain.”   “Gak apa-apa. Nih.” Ia meraih tanganku dan menaruh bukunya di atas telapak tanganku. Lalu kami berjalan sambil mencari tempat duduk, aku menawarkannya untuk duduk di spot favoritku, dan ia menyetujuinya dengan mengangguk.   “Udah lama banget ya gak ketemu, kamu apa kabar?” tanya Andri sambil melepaskan ransel merahnya di kursi.   “Baik. Kamu sendiri gimana?” Aku menatapnya cukup lama, masih tidak percaya bahwa sosok yang kutemui hari ini adalah Andri. Terakhir kali aku mendengar kabar bahwa ia bekerja di luar Kota. Andri adalah teman sekolahku semasa SMA. Kami satu jurusan, IPA, tapi tidak pernah satu kelas. Aku mengenal Andri karena salah satu teman sekelasku adalah temannya. Jadi terkadang Andri pun sering datang bermain ke kelasku. Sebenarnya, kami tidak pernah berpacaran, mungkin itu sebabnya aku rela memperjuangkan dan menunggunya selama 8 tahun, karena aku penasaran belum pernah menjadikan ia sebagai pacarku. Bahkan di tahun-tahun pertama hingga kedua saat berpacaran dengan Aldy pun aku masih menyukai Andri tanpa Aldy tahu. Meskipun pada akhirnya, aku memang bisa melupakannya karena Aldy. Tapi tetap masih ada beberapa waktu di mana aku kembali mengingatnya. Namun sebelum kejadian pertemuan kami di hari ini, aku sudah lama tidak ada perasaan apapun terhadapnya, bahkan merindukan atau mengingatnya pun tidak, karena aku sudah benar-benar menyayangi Aldy sepenuhnya.   “Baik juga, masih sering kumpul sama anak-anak IPA?” tanyanya lagi.   “Hmm, terakhir sih cuma sama beberapa aja. Kamu dari kapan di Jakarta?”   “Udah hampir 3 minggu sih, terus gak sengaja mampir ke toko buku ini pas lagi penat. Eh jadi suka baca. Kamu sering ke sini?” ujarnya dengan tertawa kecil. Tawanya, ya, itu barusan benar tawanya. Tawa yang dulu pernah ku rindu, kini berhasil kulihat lagi.   “Aku tiap weekend pasti ke sini. Tapi weekend 2 minggu lalu kok gak ngeliat kamu ya?”   “Aku kesini seringnya malam sih, sekitar jam 7-an gitu. Ini lagi suntuk aja mangkannya tiba-tiba pengen baca.” Kami benar-benar menghabiskan waktu hampir seharian untuk bertukar cerita. Mulai dari membahas masa-masa sekolah, pekerjaan, dan yang lainnya. Semua terasa begitu menyenangkan. Aku merasa, hatiku kembali terisi saat Andri kembali. Waktu sudah menunjukan pukul 20.00, kami memutuskan untuk pulang karena sudah terlalu lama berada di sini.   “Nyn, kamu pulang naik apa?” tanyanya saat langkah kami telah berhasil keluar dari toko buku.   “Naik ojek online, kebetulan motor lagi diservis tadi.” jawabku sambil memainkan handphone untuk memesan ojek online melalui aplikasi.   “Aku antar, ya?” pintanya.   “Eh, gak apa-apa?”   “Gak apa-apa, dong. Yuk!” Ia menarik tanganku menuju motornya. Selama sekolah, aku tidak pernah dibonceng oleh Andri. Namun kali ini, aku merasakannya. Ndri, terima kasih telah mengizinkanku berada di sini, tepat di belakangmu, dan bisa mencium aroma parfume-mu yang tertiup angin. Diperjalanan, kami kembali menceritakan hal-hal yang belum sempat kami ceritakan saat di toko buku. Terasa seperti tidak pernah kehabisan topik yang akan dibahas pada saat itu. Tak lama kemudian, akhirnya kami sampai di depan gerbang rumahku.   “Thanks ya, Ndri. Mau mampir?” tanyaku.   “Mau, tapi kayaknya gak bisa hari ini. Kapan-kapan boleh?” jawabnya sambil tersenyum. Aku tertawa melihat ekspresinya saat itu, “Boleh dong.” Andri pun ikut tertawa lalu kemudian pamit untuk pergi pulang. Aku membuka pintu kamar, melempar tas dan langsung merebahkan diri di atas kasur. Di saat aku menoleh ke meja kecil di samping kasur, mataku melihat ada sebuah makanan junk food  kesukaanku. Aku bergegas turun untuk menanyakan ke orang rumah soal junk food itu. Di ruang tv hanya ada Bella yang sedang asyik menonton sambil mengunyah popcorn yang ia beli di Supermarket kemarin.   “Bell? Itu junk food di kamar gue punya siapa?”   “Punya lo lah.” jawabnya tanpa menoleh sedikitpun ke arahku karena saking asyiknya menonton.   “Perasaan gue gak pesen.” balasku bingung.   “Tadi kak Aldy ke rumah. Mama yang nemuin, dan dia nitipin itu buat lo.”   “Hah? Jam berapa?”   “Sore sih, jam 17:00 kayaknya.” Aku langsung bergegas naik keatas dan kembali menuju kamar, lalu mengambil junk food tersebut. Dan benar saja dugaanku, ternyata ada selembar kertas di bawahnya yang tertindih oleh kotak makanan.   “Untuk Arnynku tersayang. Jangan lupa dimakan ya? Jaga kesehatan selalu, By. Aku rindu kamu.“ Itulah kata-kata yang terangkai di selembar kertas tersebut. Uh, dasar Aldy, kalau rindu kenapa tidak menghampiriku? Aku menggerutu dalam hati karena kecewa ia tidak tiba-tiba datang ke toko buku untuk memastikan bahwa aku baik-baik saja. Meskipun aku tidak mengiyakan ajakannya untuk bertemu, harusnya ia tetap bersikeras menemuiku. Aku langsung melahap makanan yang Aldy berikan, tanpa sadar aku belum makan dari sewaktu pergi ke toko buku, hanya minum dan mencamili sepotong kue cokelat saja.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD