Masa Putih Abu

1272 Words
*Kriiiingg....* Tiba-tiba alarm ku berbunyi, waktu menunjukan pukul 06.00, aku langsung melempar selimutku dan bergegas mandi untuk berangkat bekerja. Aku telat 10 menit pada saat itu.   “Tumben lo jam segini baru dateng?” Sapa Airin yang melihatku jalan terburu-buru menuju meja kerjaku.   “Iya nih, ketiduran lupa pasang alarm.” Airin adalah sahabatku saat di SMA, tetapi kami sempat lost kontak hampir dua tahun setelah lulus sekolah dan di saat kami di sibukan oleh tugas kuliah masing-masing, hingga akhirnya semesta kembali mempertemukan kami disini. Aku bekerja di kantor terlebih dahulu sebelum Airin, selang 3 bulan kemudian, aku sangat terkejut saat anak baru yang bersalaman denganku adalah sosok yang ku kenal dengan sangat baik. Seperti yang aku katakan, Airin adalah sahabatku semasa Sekolah Menengah Atas, jadi jika ada yang bertanya apakah ia mengenal Andri? Tentu saja Airin mengenalnya, karena Airin adalah teman sekelasku yang berteman akrab dengan Andri dari semasa Sekolah Menengah Pertama, itu sebabnya kenapa aku bisa mengenal Andri, karena aku mengenal Airin. Awalnya, aku mengira bahwa Airin dan Andri berpacaran, karena hampir setiap hari aku melihat mereka bersama, tetapi setelah aku dan Airin semakin akrab di sekolah karena kebetulan Airin adalah teman sebangku ku, perlahan-lahan aku tau semua tentang Airin, termasuk apa hubungan ia dengan Andri. Ternyata mereka hanya sebatas sahabat sejak SMP, tak lebih dari itu. Hari demi hari aku kian dekat dengan Airin, dimana ada Airin pasti disitu ada aku, anak-anak satu angkatan pun sangat mengenali kami, karena persahabatan kami yang begitu erat dan karena pandangan mereka juga yang menilai bahwa kami berdua termasuk ke dalam perempuan cantik di sekolah. Hingga pada suatu hari, aku mengaku ke Airin bahwa aku menyukai Andri. Airin hanya tertawa pada saat itu, dia berkata bahwa dia sudah mengetahuinya dari gerak-gerik ku saat aku berada di sekitar Andri. Karena saat itu juga aku sudah dekat dengan Andri, jadi tak sulit bagi Airin untuk membantu aku dan Andri menjadi semakin dekat, Airin selalu berusaha untuk memberi sinyal ke Andri tanpa memberi tahu secara terang-terangan jika aku menyukainya, karena ia sudah janji tidak akan membocorkan perasaanku ke Andri langsung. Di kelas sebelas, Airin memberitahuku jika Andri sedang menyukai salah satu anak kelas 10, tak banyak yang bisa ku lakukan saat Airin mengatakannya, aku hanya mencoba untuk menjauh dari Andri secara perlahan, padahal, siapa aku di hidupnya? Aku tak berhak cemburu atas apa yang di rasakan Andri, tapi aku tidak dapat membohongi diriku sendiri bahwa nyatanya aku benar-benar cemburu. Andri hanya heran melihat tingkahku yang semakin hari semakin menjauhinya, kami sudah tak lagi saling sapa sejak saat itu, sudah tak ada lagi yang melihat aku dan Andri berjalan beriringan di lapangan sambil mengobrol dan bercanda dengan asyiknya tanpa memperhatikan sekeliling. Di kelas 11 ini, aku dan Airin masih sekelas dan sebangku, Airin tak bisa melakukan apapun selain mendukung keputusanku dan membiarkan Andri bahagia atas pilihannya sendiri. Benar saja, beberapa bulan setelah Airin memberitahuku bahwa Andri menyukai anak kelas 10 itu tidak lama kemudian mereka berpacaran. Airin memberitahuku dan kebetulan aku juga melihat postingan Andri yang mengupload foto ia dan pacar barunya di social media. Ndri? Apa kau tahu apa yang paling buruk didunia ini? Ketika kau menahan jeritan dalam tangismu agar orang sekelilingmu tidak ada yang mengetahuinya. Aku dan Andri semakin tidak bertegur sapa di saat Andri tahu bahwa aku berpacaran dengan David, Ketua Murid di kelasku yang kebetulan adalah teman baik Andri juga. Mereka dekat seperti kedekatanku dengan Airin, dimana ada David, biasanya disitu ada Andri. Tetapi kisah cintaku dengan David tidak bertahan lama, kami putus di saat kenaikan kelas 12, sementara Andri? Ia masih bersama dengan perempuan itu. Andri terasa semakin hari semakin menjauhi ku, lebih jauh dari niatku untuk menjauhinya secara perlahan. Hingga di penghujung masa Putih Abu pun kami tetap tidak pernah berucap satu kata pun saat tidak sengaja berpapasan. Perpisahan sekolah waktu itu tour ke Yogyakarta, kami mengabiskan hari-hari bersama disana selama 6 hari 5 malam. Saat perjalan menuju pulang kembali, kami berhenti di rest area untuk makan malam sebelum melanjutkan perjalanan kembali. Disana aku, Airin dan teman-teman kelas lainnya sedang duduk merapat untuk megabadikan momen kami yang kesekian kalinya. Kemudian Andri datang dari arah kanan lalu duduk persis di depanku untuk ikut berfoto bersama, setelah sekian lama, aku baru merasa sedekat itu lagi dengannya meski hanya beberapa saat. Sejak saat itu aku tidak lagi bertemu dengan Andri hingga akhirnya kami bertemu kembali di toko buku kemarin.   “Udah dari minggu lalu kayaknya gue udah gak pernah liat lo diantar Aldy lagi, Nyn? Kalian baik-baik aja kan?” Tanya Airin sambil melihatku yang masih sibuk mengeluarkan berkas-berkas untuk dikerjakan hari ini dari dalam tas sambil merapikan meja agar terlihat lebih nyaman dari sebelumnya.   “Lagi break.” Jawabku singkat masih sambil sibuk merapikan meja kerja.   “Hah?” Kali ini ia memutar kursinya kearahku dan menatapku dengan serius, “Jangan bercanda, Nyn!” Lanjutnya. Aku mengehela napas lalu menghadap kearahnya dengan tatapan yang tidak kalah seriusnya. “Gue serius.” Airin hanya terdiam beberapa saat sebelum akhirnya kembali menghadap komputernya. Detik berjalan begitu cepat di hari itu, jam sudah menunjukan pukul 16:00, aku pun bergegas merapikan tas ku dan berjalan menuju lift, Airin menyusul di belakang.   “Nyn, lo belum cerita banyak hari ini. Kenapa lo sama Aldy bisa break?” Tanyanya sambil melangkah masuk ke dalam lift.   “Bella nikah.” Jawabku agak ketus.   “Hah? Bella? Nikah?” Wajah Airin terlihat begitu terkejut. Lagi-lagi, aku mengehela napas saat hendak menjawab pertanyaannya.   “Bella nikah, Rin. Gue di langkahin. Alasan gue break sama Aldy karena Aldy gak bisa menuhin keinginan gue buat nikahin gue secepatnya sebelum Bella nikah.”   “Cuma karena itu lo ngorbanin hubungan lo sama Aldy yang udah kalian bangun selama empat tahun?” Airin menggeleng tak percaya. Lift berbunyi dan terbuka tanda kami telah sampai di lantai dasar. Kami pun beranjak keluar dari lift menuju luar gedung kantor.   “Yang terjadi gak seremeh yang lo denger, Rin. Lo gak akan pernah bisa ngerasain apa yang gue rasain sekarang, karena lo gak berada di posisi gue saat ini. Lo mau bilang gue apa? Egois? Terserah!” Aku meninggalkan Airin dan langsung menaiki ojek online yang sudah ku pesan 3 menit sebelum bell pulang berbunyi. Bisa-bisanya Airin menganggap ceritaku ini remeh, padahal ia adalah satu-satunya orang yang aku harap dapat menguatkanku di saat-saat seperti ini, tapi ternyata aku salah, Airin malah semakin membuatku membenci hidupku sendiri. Aku menggerutu sepanjang perjalanan, bertengkar dengan isi kepalaku yang masih terus memutar apa yang tadi Airin katakan.   “Neng, kayaknya ban nya bocor.” Ucap Driver tersebut sambil memberhentikan perjalanan. “Neng bisa pesan driver lain, maaf ya Neng, bayar setengahnya saja ke saya juga tidak apa-apa.” Sambungnya.   “Gapapa, Pak. Ini uangnya saya bayar full aja.” Aku mengambil sejumlah uang sesuai harga yang tertera dan memberikannya kepada driver tersebut.   “Loh, yang bener nih, Neng? Gapapa? Makasih banyak ya?” Aku tersenyum kemudian berlalu meninggalkan Driver tersebut yang sepertinya sedang meminta bantuan teman Driver lainnya melalui handphone yang ia genggam. Kacau, itu satu-satunya kata yang dapat menggambarkan semua yang terjadi di hari ini. Untung saja rumahku sudah tidak terlalu jauh dari sini, terlebih handphone ku mati kehabisan baterai, untuk memesan ojek online lagi pun aku tidak bisa, jadi aku memutuskan untuk melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Kala itu langit mendung dan tanpa aba-aba hujan langsung turun begitu saja. Aku berlari secepat mungkin sambil mencari tempat untuk berteduh, walau rumahku sudah tidak begitu jauh, namun jika aku memaksakan menerobos hujan, aku bisa kuyup. Aku berteduh di sebuah ruko yang sedang tutup bersama dengan 2 orang pemotor dan satu anak perempuan yang sepertinya umurnya tidak jauh dari umurku. Tak lama mobil berwarna hitam melintas di depanku, dan perempuan yang ikut berteduh itu bergegas masuk kedalam mobil tersebut. Hal itu benar-benar membuatku mengingat dan merindukan Aldy. Jika keadaan kami masih baik-baik saja, jika Aldy tahu saat ini aku terjebak hujan, pasti ia akan menjemputku dan tidak akan membiarkan aku kuyup dan kedinginan di pinggir jalan seperti saat ini. Lagi-lagi, aku menyesali sesuatu yang telah kuputuskan sendiri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD