Empat tahun bukan waktu yang sebentar. Bagi kebanyakan orang, itu sekadar angka, tapi bagi Priscila Orlando 28 tahun, atau yang kini lebih akrab disapa Cila, empat tahun berarti neraka sekaligus penebusan.
Pagi itu, udara dingin bercampur bau logam dari senjata yang berjejer di rak. Suara hantaman tubuh beradu karung tinju menggema, ritmis tapi bertenaga. Peluh mengalir di pelipis Cila, membasahi lehernya, tapi tatapannya tetap tajam. Setiap pukulan, setiap tendangan, bukan sekadar latihan. Itu sumpah.
Bayangan wajah Alan dan Amanda terus muncul di benaknya, tatapan sinis, tawa meremehkan, pagi ketika hidupnya dirampas. Tangannya mengepal, pukulannya menghantam lebih keras, hingga karung bergoyang liar.
“Nafasmu. Fokus pada nafasmu.” Suara pelatih tua itu serak namun tegas.
Cila menarik napas panjang, menahan amarah yang selalu siap meluap, lalu kembali pada sikap kuda-kuda. Empat tahun digembleng, ditempa rasa sakit, hingga tubuh rapuhnya dulu berubah menjadi mesin yang disiplin dan terlatih.
Dan pagi itu, sesuatu berbeda., Axis, tangan kanan pria yang dulu menyelamatkannya, muncul di ambang pintu dengan langkah tenang namun tegas. Namun kali ini, ia tidak datang sendiri. Seorang wanita berpenampilan rapi ikut melangkah di belakangnya.
“Nona Cila,” suara Axis terdengar dalam, seperti biasa penuh wibawa. “Hari ini tuan memanggilmu ke kantor.”
Usai berkata demikian, wanita di sisinya maju. Senyumnya sopan, dan dari tangannya terulur sebuah kotak panjang yang dibalut kain beludru. Saat dibuka, tampak satu set pakaian kantoran. Blazer hitam elegan, kemeja putih yang lembut, serta celana bahan berpotongan rapi. Bukan sekadar pakaian, tapi tanda bahwa masa pelatihannya benar-benar telah berakhir.
Cila menatapnya beberapa detik tanpa suara. Ada getar samar di dadanya. ‘Akhirnya orang ini sudi bertemu denganku,’ batinnya, menyadari bahwa hari yang ditunggunya selama empat tahun kini tiba lebih cepat dari yang ia bayangkan
Keringat masih menetes di pelipisnya ketika ia menutup sarung tinju dan menggantinya dengan kemeja putih berpotongan tegas. Dari kaca besar ruang latihan, pantulan dirinya menatap balik, seorang perempuan yang pernah hancur, kini berdiri dengan tekad dan tatapan yang dingin.
Ia menatap pantulan itu lebih lama dari yang seharusnya, seolah ingin menghafal wujud barunya. Lalu, tanpa kata, ia melangkah meninggalkan ruang latihan yang selama ini menjadi saksi luka dan tempanya.
Beberapa jam kemudian, langkah Cila terdengar mantap menapaki marmer hitam yang berkilau. Rambutnya yang dulu selalu diikat seadanya kini jatuh rapi, blazer hitam membalut tubuhnya dengan elegan. Penampilannya bukan lagi murid yang ditempa, melainkan wanita yang siap menghadapi panggilan takdirnya.
Kantor itu menjulang megah di jantung kota London. Dari luar, bangunannya terlihat seperti markas bisnis bergengsi. Namun begitu ia melangkah masuk, kesan formal itu segera berubah. Dinding kaca yang seolah tak tembus pandang, lampu-lampu yang tersembunyi di balik panel kayu gelap, dan keheningan yang terlalu sempurna, semua memancarkan aura waspada.
Setiap pintu yang ia lewati dilengkapi sensor keamanan modern. Cahaya merah kecil menyorot wajahnya, memindai sidik jari, hingga bahkan ritme detak jantung. Dua pria berbadan besar berdiri di setiap sisi koridor, mengenakan setelan gelap, tatapan mereka setajam bilah pisau.
Cila melangkah tanpa ragu, walau dadanya berdebar. Setiap saat terasa seperti ujian. Hingga akhirnya, pintu ganda besar dari kayu hitam terbuka otomatis, seakan menyambut kehadirannya. Di balik pintu itu, ruang kantor yang megah terbentang, lantai marmer putih, rak buku menjulang, dan jendela besar yang menyingkap panorama kota.
Namun, yang paling mencuri perhatian adalah kursi besar di ujung ruangan, membelakangi pintu masuk. Sosok pria itu duduk diam, hanya siluetnya yang terlihat. Aura kekuasaan memancar bahkan sebelum ia berbalik.
“Tuan, Nona Priscila sudah di sini,” ucap Axis sambil membungkuk hormat.
Pria yang duduk di kursi besar itu tidak langsung menoleh. Ia hanya mengangkat satu jarinya, gerakan kecil namun sarat wibawa. Seketika, ruangan yang tadinya penuh oleh langkah kaki pengawal dan denting alat pemindai jadi sunyi. Semua orang, termasuk Axis, menunduk lalu mundur keluar tanpa sepatah kata pun.
Pintu ganda itu menutup pelan dengan bunyi ‘klik’ yang nyaris terdengar seperti kunci terakhir sebuah penjara. Hening membentang. Cila berdiri kaku, jantungnya berdetak tidak beraturan. Untuk pertama kalinya setelah empat tahun, ia berada di ruangan yang sama dengan pria yang selama ini hanya bisa ia bayangkan.
Ia masih membelakangi Cila. Namun aura dinginnya seakan menyelimuti udara, membuat suhu ruangan yang megah itu terasa menusuk.
Cila menggenggam jemarinya yang sedikit bergetar, mencoba menutupi kegugupannya dengan wajah datar.
“Apakah kau sudah siap untuk membalaskan dendammu?” suara bariton itu akhirnya terdengar jelas, berat dan menusuk, seolah menggetarkan dinding ruangan.
Cila menelan ludah, kedua tangannya mengepal di sisi tubuh. Tanpa ragu, ia menatap punggung pria itu dengan sorot mata membara.
“Saya sudah siap, Tuan. Katakan apa yang harus saya lakukan.”
Kursi besar itu akhirnya berputar sempurna. Sosok pria itu menampakkan dirinya. Wajahnya tampan dengan garis rahang tegas, hidung tinggi, dan bibir tipis yang terkatup rapat. Rambut hitamnya tersisir rapi ke belakang, menyisakan dahi yang mempertegas auranya yang berwibawa.
Tatapannya dingin, menusuk, seakan mampu menelanjangi isi kepala siapa pun yang berani menantangnya. Namun di balik sorot mata abu-abu gelap itu, ada daya tarik mematikan, magnet yang membuat orang tak mampu berpaling.
Setelan jas hitamnya terpotong sempurna, menyatu dengan tubuh tinggi dan bidang. Kemeja putih di balik jas itu terbuka satu kancing atas, memberi kesan santai namun tetap berbahaya. Lengannya bertumpu santai di sandaran kursi, tapi setiap gerakannya mengandung perintah tak terbantahkan.
Cila nyaris menahan napas. Untuk sesaat, ia lupa pada semua dendam, semua amarah yang selama ini ia genggam.
‘Aku kira selama ini dia pria tua yang gembul,’ batin Cila getir, matanya tak bisa berbohong meski kepalanya ingin menolak. ‘Ternyata… memang tidak adil. Kenapa dia diciptakan hampir sempurna seperti ini?’
Seringai sinis terbentuk di sudut bibir pria itu, kontras dengan tatapan dinginnya yang menusuk. Ia menyandarkan siku di sandaran kursi, jari-jarinya mengetuk pelan, ritmis seperti dentuman detak jantung yang tak sabar menunggu jawaban.
“Kalau begitu,” suaranya rendah, berat, nyaris menyerupai bisikan maut, “mulailah dengan mengambil alih kembali perusahaan Orlando. Rebut apa yang seharusnya milikmu.”
“Ta-tapi tuan.-” suara Cila nyaris tercekat, namun pria itu tak memberinya ruang untuk ragu.
“Aku telah menanamkan modal yang besar dalam Orlando Global Exports,” suaranya berat, tenang, tapi membawa tekanan tak kasatmata. “Dengan investasi itu, aku punya akses penuh, hak suara, dan kursi di dewan direksi.”
Ia berhenti sejenak, jemarinya mengetuk lengan kursi seirama detak jam antik di dinding.
“Besok akan ada rapat darurat. Di sana, aku akan secara resmi menunjukmu sebagai perwakilan investor utama.” Tatapannya beralih, menusuk lurus ke arah Cila. “Apakah jalan ini cukup luas… untuk membalaskan dendammu, hmm?”
Cila menegakkan tubuhnya. d**a naik turun, bukan karena lelah, melainkan karena tarikan emosi yang menekan. Tatapan matanya tak gentar, meski dalam hati ia tahu dirinya sedang berdiri di hadapan pria yang bisa sekaligus menjadi malaikat penyelamat dan iblis paling berbahaya.
“Aku siap, Tuan,” jawabnya pelan, namun tegas.
Senja mulai merayap masuk melalui jendela kaca besar di belakang pria itu, melukis siluet bayangan panjang ke lantai marmer. Suasana ruangan kian pekat.
Pria itu tidak tersenyum, tidak juga memberi pujian. Ia hanya bangkit perlahan dari kursinya, tubuh tingginya menjulang, hingga membuat Cila merasa seluruh udara ruangan tersedot keluar. Langkahnya tenang namun menghantam kesadaran, semakin dekat hingga hanya berjarak beberapa langkah darinya.
Tiba-tiba, ia berhenti, lalu menundukkan kepala sedikit, suaranya lirih tapi cukup untuk membuat bulu kuduk Cila meremang.
“Jangan sampai gagal Priscila Orlando.” pria itu menekankan kata-katanya
Udara seakan membeku. Mata abu-abu gelap itu beradu tepat dengan mata Cila.
Dan sebelum Cila sempat membuka mulut lagi, pintu ruangan besar itu terbuka dengan tergesa. Axis muncul kembali, wajahnya pucat, nadanya terburu-buru.
“Tuan… Alan Fernando sudah tahu soal rapat besok.”
Cila membeku di tempat.
Nama itu!
Nama yang selama ini menjadi mimpi ngerinya, kini kembali muncul lebih cepat dari yang ia bayangkan.