bc

Legacy Of Blood

book_age18+
26
FOLLOW
1K
READ
dark
family
HE
badboy
kickass heroine
boss
stepfather
mafia
gangster
heir/heiress
drama
tragedy
sweet
bxg
lighthearted
serious
kicking
bold
city
office/work place
secrets
cruel
addiction
office lady
like
intro-logo
Blurb

Priscila Orlando seharusnya terkubur bersama masa lalunya di dasar North Sea. Cinta yang dikhianati. Sahabat yang menikam dari belakang. Masa depan yang dirampas tanpa belas kasihan.

Namun takdir menulis ulang kisahnya. Ia kembali, bukan sebagai wanita rapuh, melainkan sosok baru yang dingin, datar, dan tak mengenal kata menyerah.

Di balik kilau dunia para elite, Priscila dipaksa menghadapi kenyataan pahit, sahabat yang kini menjadi istri mantan tunangannya, serta rahasia lama yang kembali mengambang ke permukaan, siap menenggelamkannya sekali lagi.

Dua pria berbahaya masuk ke dalam hidupnya. William Cassian, sosok misterius dengan wibawa yang mengintimidasi, bayangan yang selalu bergerak dalam gelap. Edward Polin, elegan, licik, menyimpan racun di balik senyumnya yang memabukkan.

Dalam permainan penuh intrik dan pengkhianatan, satu hal menjadi jelas, di dunia para elite, cinta bukan sekadar perasaan, tetapi senjata paling mematikan.

"Senyumnya bukan untuk dunia. Itu milikku. Dan aku akan memastikan semua orang segera mengerti hal itu."

— William Cassian

chap-preview
Free preview
Prolog
Langit pagi itu memantulkan semburat keemasan di permukaan laut yang tenang. Cahaya mentari menari di antara ombak kecil, seolah ikut merestui sebuah hari yang digadang-gadang menjadi pernikahan paling berkelas tahun ini. Di pinggiran laut, sebuah pavilion kaca megah berdiri anggun, dihiasi taburan bunga putih dan ungu yang bergelantungan dari langit-langit. Barisan kursi elegan berbalut satin tersusun rapi, menunggu para tamu kehormat yang sudah mulai berdatangan. Senyum sopan, jabat tangan hangat, dan kilauan perhiasan mahal mendominasi suasana. Para kolega bisnis, politisi, hingga nama-nama besar dunia usaha hadir bak parade prestise. Percakapan ringan bercampur tawa halus, sementara dentingan gelas sampanye melengkapi simfoni kemewahan pagi itu. Semua mata tertuju pada altar yang berdiri di tepi air, tempat janji sehidup semati sebentar lagi akan terucap. Dari kejauhan, aroma laut bercampur wangi bunga segar menambah romantisnya suasana. Pernikahan ini bukan sekadar penyatuan dua hati, tapi juga dua kerajaan bisnis yang kelak akan semakin menguasai pasar. Semua orang percaya, hari itu adalah awal sebuah kisah cinta yang sempurna. Pengantin pria, Alan Fernando, berdiri gagah di altar, setelan tuxedo hitamnya terpotong rapi, wajahnya memancarkan karisma penuh percaya diri. Di belakangnya, laut biru membentang bak lukisan hidup, menjadi saksi janji yang sebentar lagi akan diucap. Tamu undangan mulai riuh bertepuk tangan ketika irama musik organ mengalun, menandai kedatangan sang pengantin wanita. Semua kepala serentak menoleh ke arah pintu kaca besar pavilion. Di sanalah Priscila, anggun dalam balutan gaun putih bertabur kristal, muncul dengan senyum gugup bercampur bahagia. Namun sebelum langkahnya mencapai setengah jalan menuju altar, bisik-bisik bingung menjalar di antara barisan tamu. Sorot mata mereka tiba-tiba teralih ke arah seorang wanita lain yang juga melangkah masuk. Gaun putih. Veil panjang. Kilauan perhiasan yang tak kalah mewah, serta taburan kelopak mawar merah yang berjatuhan di sepanjang langkahnya, membuat kehadirannya terasa seperti sebuah parade kemenangan. Suasana seketika membeku. Tepuk tangan berhenti. Musik pun meredup, seolah pemain organ ikut terkejut. Priscila menghentikan langkah, matanya melebar tak percaya. Wanita yang berjalan di sisi lain karpet merah itu bukan orang asing baginya. Itu Amanda, sahabat yang selama ini ia percaya, berdandan lengkap bak seorang pengantin. Suasana pavilion seketika membeku. Bisikan para tamu makin keras, beberapa berdiri setengah badan untuk memastikan mata mereka tidak salah lihat. Seorang wanita menutup mulutnya dengan tangan gemetar, sementara seorang pria tua berbisik lirih, “Apa ini sebuah pertunjukan? Dua pengantin sekaligus?” Priscila terpaku. Gaun putihnya seolah memberatkan langkah, dadanya sesak. Musik organ yang tadinya mengalun indah kini terdengar sumbang di telinganya, seperti senar yang putus. Alan, di altar, hanya berdiri dengan senyum samar, senyum yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. Amanda melangkah anggun di atas taburan mawar merah, tiap langkahnya seperti tamparan ke wajah Priscila. Tatapan matanya bukan tatapan sahabat, melainkan tatapan seorang pemenang. “Amanda…?” suara Priscila tercekat, nyaris tak terdengar, namun cukup untuk membuat semua kepala menoleh bergantian pada kedua wanita yang kini sama-sama berdiri dalam balutan gaun pengantin. Altar yang semula dipenuhi ekspektasi bahagia kini mendadak berubah menjadi panggung kebisuan mencekam. “Apa yang sedang kamu lakukan?” suara Priscila merendah, tapi jelas bergetar. Senyum sinis terlukis di wajah wanita itu. “Apa yang aku lakukan? Tepatnya… aku sedang mengambil apa yang seharusnya jadi milikku. Kau pikir Alan memilihmu karena cinta? Sayang, aku sengaja membiarkanmu bermimpi, hanya agar lebih puas melihatmu hancur hari ini.” Sesudah itu, Amanda menelusuri gaun pengantinnya dengan jemari penuh percaya diri, lalu mengangkat dagunya sedikit. Ia berjalan satu langkah lebih dekat, membiarkan parfum bunganya samar tercium oleh Priscila, seperti provokasi halus. Deg! Priscila tertegun, matanya refleks mencari Alan yang sudah melangkah mendekat. “Apa maksudnya ini?” tanyanya, berusaha sekuat tenaga menahan emosi. “Aku akan menikah dengan Amanda.” jawab Alan santai, tangannya melingkar di pinggang wanita itu seolah ingin menegaskan kepemilikan. “Apa!? Alan… please, jangan bercanda. Jujur, ini sama sekali nggak lucu,” suara Priscila pecah, getir bercampur panik. “Siapa yang bercanda di sini?” balas Alan datar. Priscila mundur setapak, tubuhnya gemetar. Hatinya seperti diremas oleh tangan tak kasat mata, dadanya bergemuruh, pikirannya kacau berusaha mencerna apa yang baru saja ia dengar. “Kau akan menikahi Amanda… lalu bagaimana denganku, hah?” suaranya melengking, putus asa. Tiba-tiba… Tawa Alan meledak, memecah keheningan. “Kamu benar-benar mengira aku akan menikahimu karena cinta? Semua ini cuma permainan, Priscila, harta? Perusahaan? Semua itu sudah bukan milikmu lagi. Satu-satunya yang tersisa darimu hanyalah wajah bodohmu saat ini.” “Kurang ajar kamu!” bentak Tuan Orlando sambil memegangi dadanya, wajahnya memerah menahan emosi. Bugh! Tendangan Alan menghantam keras perut Tuan Orlando. Pria paruh baya itu terjungkal ke belakang, tubuhnya terbanting di lantai dengan wajah meringis kesakitan. “Kau yang kurang ajar, tua bangka!” desis Alan, suaranya dingin penuh amarah. Para tamu terkejut. Beberapa wanita menutup mulutnya dengan pekikan tertahan, sementara para kolega saling berpandangan, tak percaya menyaksikan pemandangan memalukan di acara yang seharusnya menjadi momen paling sakral. Priscila terpaku di tempat, tubuhnya kaku, wajahnya pucat pasi. Hatinya terasa hancur berkeping-keping, antara marah, takut, dan tidak percaya bahwa pria yang selama ini ia cintai bisa menendang ayahnya sendiri di depan semua orang. “Berikan mereka pelajaran!” suara Alan menggelegar, penuh kuasa. Sejurus kemudian, beberapa pria berbadan kekar dengan jas hitam, berjalan maju dari antara barisan tamu. Aura mereka begitu mengintimidasi, membuat para undangan otomatis bergeser mundur, ngeri. “Alan! Jangan berani-beraninya kamu menyentuh papaku!” teriak Priscila, suaranya pecah, namun tubuhnya segera ditangkap kasar oleh dua pria. Tangannya dipelintir ke belakang, membuat ia meringis kesakitan. “Apa-apaan ini!? Lepaskan putriku!” Tuan Mike Orlando berusaha bangkit, tetapi tinju keras menghantam wajahnya. Darah segar langsung mengalir dari sudut bibirnya. Ia jatuh kembali, diseret tanpa ampun. “Papa!!..” Jeritan Priscila menggema, bercampur isak tangis, sementara para tamu hanya bisa menonton dengan wajah pucat. Tak seorang pun berani campur tangan. “b******k kamu, Alan! Kamu—” Sebuah tamparan keras memotong kalimatnya, membuat pipi Priscila perih dan memerah. Alan berdiri tegak, merangkul Amanda yang masih tersenyum puas di sisinya. Matanya dingin, tanpa sedikit pun belas kasihan. “Buang mereka ke laut. Pastikan tak ada yang tersisa,” ujarnya singkat. Priscila dan papanya diseret keluar pavilion, terhuyung-huyung, tubuh mereka penuh lebam. Musik organ, bunga, lautan saksi, semuanya terasa seperti mimpi buruk. Tak lama kemudian, suara deru mesin kapal motor membelah kesunyian laut pagi itu. Di geladak, tubuh Priscila dan Tuan Mike Orlando yang babak belur dipaksa berlutut. Air asin bercampur darah mengotori bibir mereka. “Apa ini akhirnya? Pa… maafkan aku.” Suara Priscila nyaris tenggelam bersama debur ombak, bergetar dan rapuh. Matanya berkaca-kaca menatap luasnya lautan yang seolah ikut menertawakan kebodohannya. Ia menggigit bibir, menyesali betapa dulunya ia begitu keras kepala Andai saja ia mendengarkan peringatan papanya untuk menjauh dari Alan, mungkin semuanya tidak akan hancur seperti ini. Kini, cinta butanya telah merenggut segalanya. Ayahnya, harta, bahkan perusahaan yang dulu menjadi kebanggaan keluarga. Alan berdiri di sisi dermaga, hanya mengangkat tangannya sebagai isyarat terakhir. Tanpa ampun, kedua tubuh itu didorong keras hingga terhempas ke laut. Suara cipratan besar memecah keheningan. Gelembung-gelembung naik ke permukaan, sebelum akhirnya tenggelam ditelan kedalaman biru. Air laut yang dingin menusuk kulitnya begitu tubuh Priscila terhempas ke dalam. Rasa asin menyesakkan rongga mulut dan hidung, membuat dadanya terbakar. Ia meronta, namun tubuhnya lemah, penuh luka dan lebam. Di sampingnya, bayangan sang ayah ikut terombang-ambing, berusaha bertahan, tapi sama-sama kehabisan tenaga. Gelembung-gelembung udara terakhir lepas dari bibir Priscila. Pandangannya kabur. Dunia terasa melambat. Dalam keheningan bawah laut, suara tawa Alan dan senyum dingin Amanda masih terngiang di benaknya. Namun tepat ketika kegelapan mulai menyelimuti, ada sesuatu yang menyala di dadanya. Rasa sakit, dikhianati, dirampas segalanya, semuanya melebur menjadi satu tekad. ‘Tidak… Aku tidak akan mati di sini. Aku akan kembali. Dan mereka semua harus membayar mahal untuk semua penderitaan ini.’ Tubuhnya terus melayang turun, veil putihnya berkibar seperti sayap patah. Tapi matanya, di balik air asin yang memburam, menyimpan api yang tak pernah padam.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

B̶u̶k̶a̶n̶ Pacar Pura-Pura

read
155.6K
bc

Sentuhan Semalam Sang Mafia

read
187.5K
bc

Hasrat Meresahkan Pria Dewasa

read
29.2K
bc

TERNODA

read
198.1K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
233.2K
bc

Setelah 10 Tahun Berpisah

read
24.8K
bc

My Secret Little Wife

read
131.8K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook