Bagian 4

2080 Words
Senin pagi Dipta masih menikmati pagi harinya dengan berlari kecil atau jogging di jalanan sekitar rumah orang tuanya. Suasana sejuk, asri dengan suhu udara yang masih segar membuat paginya lebih tenang. Dia bisa menikmati segarnya oksigen yang bercampur dengan pemandangan permukaan daun dengan tetesan air. Jika di Surabaya, dia sangat jarang dapat menikmati pemandangan dan udara sesegar ini. Dipta melewati area persawahan. Di kanan jalan masih berupa area tebing pegunungan dan di sebelah kiri jalan adalah petak-petak sawah yang ditanami padi. Padi-padi sudah tampak tumbuh tinggi dan hijau segar. Di tebing sebelah kanan tumbuh tanaman liar yang mulai menjuntai masuk pada badan jalan. Di sebelah kiri jalan sebelum area persawahan ditanami rumput gajah, rumput yang tampak seperti pohon tebu dengan batang dan daun yang berukuran lebih kecil. Rumput gajah biasanya digunakan oleh masyarakat sebagai pakan ternak. Mayoritas penduduk yang tinggal di desa tempat Dipta lahir hingga sekarang ini adalah petani, buruh tani, dan peternak. Tekstur dan struktur tanah pegunungan membuat tanah menjadi lebih subur sehingga banyak tanaman yang mudah tumbuh dan berkembang dengan baik. Beberapa halaman rumah warga ditanami berbagai jenis buah-buahan, ada mangga, kopi, cengkeh, ketumbar, alpukat, nangka, bahkan pisang. Hasil bumi masih sangat melimpah. Namun dibalik kelimpahan hasil alam masih terdapat kekurangan yang dimiliki desa ini, yaitu sulitnya air untuk dialirkan ke rumah warga dan sinyal provider yang sangat susah dijangkau desa ini. Daerah pegunungan memang daerah yang mudah untuk ditanami berbagai pepohonan. Akar pohon mampu menyerap dan menyimpan air dengan baik. Namun sumber air di pegunungan lebih sulit diperoleh karena saluran-saluran air yang terkadang disalahgunakan oleh warga yang ingin menang sendiri. Menyalurkan air ke rumah mereka tanpa mempedulikan bahwa masih ada saluran air lain yang membutuhkan air itu juga. Dipta terus berlari kecil di jalanan yang dicor atau disemen. Sepatu sport yang melekat pada kakinya terus mengimbangi langkah kakinya. Beberapa meter lagi dia akan sampai rumah. Dipta tersenyum sopan saat melihat seorang pria paruh baya yang sedang menyapu halaman depan rumah. Rumah warga masih dominan memiliki halaman yang luas. Halaman yang dipenuhi berbagai jenis tanaman dan pepohonan membuat sang tuan rumah terbiasa menyapu halaman dengan menggunakan sapu lidi atau sapu kerik di pagi hari. Lidi yang digunakan adalah tulang daun kelapa. Tulang daun yang dipilih adalah daun yang sudah tua. Tulang daun tersebut kemudian dijemur sehingga tampak lebih kaku dan dapat digunakan untuk menyapu dengan mudah. “Habis jalan-jalan, Nak Dipta?” tanya pria paruh baya tersebut. Dipta berhenti di depan halaman sang pria tersebut. Berjalan mendekat dan mencium tangan pria paruh baya yang sudah mulai berkeriput. Umurnya kemungkinan sekitar 50 tahun ke atas, beliau adalah kepala desa yang sedang menjabat pada periode ini, sudah dua periode beliau menjabat. “Iya, pak. Apa kabar?” balas Dipta sopan. Pak Burhan—kepala desa tersebut adalah orang tua salah satu teman Dipta semasa kecil. “Alhamdulillah, baik. Berdasarkan informasi masyarakat, kabarnya nak Dipta semakin sukses saja ya di Surabaya?” “Alhamdulillah, pak. Hanya meneruskan usaha ayah,” jawab Dipta tenang sambil tersenyum sopan. Ah, Dipta rasa-rasanya benci jika harus dihadapkan dengan pujian basa-basi seperti ini. “Tapi tetap saja Nak Dipta hebat. Usaha dan pabriknya semakin berkembang. Apalagi usaha sangkar burungnya semakin maju dan banyak pesanan saja setiap kali saya lewat,” lanjut pak Burhan. Dipta hanya tersenyum kecil. Bukan dia berprasangka buruk, tetapi Dipta merasa bahwa Pak Burhan memiliki makna tertentu di balik pujiannya. “Yusha juga mau memulai usaha sendiri. Katanya dia sudah lelah menjadi pegawai pemerintahan,” ucap pak Burhan. “Bagaimana kalau kalian saling bekerja sama saja? Yusha bisa membantu memyumbangkan idenya untuk perkembangan usaha sangkar burung kamu,” lanjut Pak Burhan dengan penuh semangat. Yusha yang sedang dibicarakan oleh Pak Burhan adalah putra pertama Pak Burhan yang usianya sebaya dengannya. Teman bermainnya di masa kecil dan merupakan teman semasa sekolah juga. Akhirnya Dipta paham maksud pembicaraan Pak Burhan pagi ini. “Nanti saya coba pertimbangkan nggih, pak. Bukan maksud saya tidak mau langsung mengiyakan tetapi saya masih perlu menganalisis kembali selera pasar saat ini,” jawab Dipta menjelaskan dengan pelan dan sopan. Dia ingin menolak secara halus sebenarnya, tetapi lebih baik menyusun kata-kata yang baik saja agar tidak menyinggung perasaan Pak Burhan. Pak Burhan menganggukkan kepalanya mengerti. “Nanti jangan lupa...” “Bapak,” panggil istri Pak Burhan. Membuat Pak Burhan menghentikan ucapan yang akan dia sampaikan kepada Dipta dan menoleh kepada istrinya yang sedang berdiri di teras rumah dekat dengan pilar rumah yang dicat warna kuning gading. “Kalau begitu saya pamit duluan ya, pak,” pamit Dipta sambil tersenyum dengan menganggukkan kepalanya kepada Pak Burhan dan istri Pak Burhan. Pak Burhan mempersilahkan dan kemudian berjalan menghampiri istrinya. “Ada apa sih, buk? Tadi bapak sedang berbincang dengan Dipta dan menawarkan kepadanya untuk mengajak Yusha bekerja sama,” jelas pak Burhan ketika sudah berdiri di hadapan sang istri. “Wah! Betul itu pak?” tanya sang istri memastikan. Raut wajahnya menunjukkan binar bahagia, seperti mendapatkan sebuah hadiah istimewa yang selama ini dia idam-idamkan. “Iya, tapi belum selesai bapak ngobrol, ibu sudah memanggil bapak.” Jawaban Pak Burhan membuat wajah istrinya dalam sekejap langsung bersedih. “Sudahlah, buk. Bapak yakin kalau Yusha pasti akan diajak bekerja sama oleh Dipta. Bapak bahkan harus berbohong kalau Yusha memutuskan resign dari jabatan PNS-nya karena ingin melakukan usaha sendiri. Padahal yang benerkan dia dipecat dengan tidak terhormat,” dumal pak Burhan dengan kesal. Pak Burhan merasa malu karena Yusha melakukan pelecehan pada salah satu pegawai wanita yang bekerja satu kantor dengannya. Beruntungnya berita itu belum tersebar pada warganya. Jika ada warga yang mendengar, tamat sudah riwayatnya. Apalagi saat ini dia sedang menjabat sebagai kepala desa. *** “Gimana jalan-jalannya? Kamu lewat lokasi yang mau dibuat tempat wisata nggak?” tanya Armi saat melihat Dipta duduk selonjoran di teras rumah yang dikeramik menggunakan keramik warna coklat kayu, motifnya pun seperti motif kayu. “Menyejukkan seperti biasa bu. Iya tadi aku juga coba ke sana. Baru dibangun bale-bale sama rumah pandang saja gitu, bu,” jawab Dipta melaporkan hasil pengamatannya pada salah satu tanah desa yang akan dimanfaatkan untuk wisata baru. “Kan memang baru dibuka jalannya sama alat berat sudah hampir beberapa minggu ini. Ya gak secepat itu juga, Dip. Semua butuh proses. Apalagi tanah yang digunakan juga tanah pegunungan yang menanjak. Waktu itu warga juga diminta bantuan untuk membabat tanaman yang akan digunakan sebagai akses menuju lokasi,” jelas Armi. “Dan juga ada mahasiswa KKN juga yang waktu itu membantu,” lanjut Armi. “Desa ini dijadikan desa pengabdian untuk KKN juga bu?” tanya Dipta heran setelah meneguk air yang ada di atas meja bundar di pojok teras. “Iya. Kan sudah beberapa tahun terakhir memang, Dip. Menurut ibu desa kita ini juga sesuai jika dijadikan tempat KKN. Sinyal handphone masih susah, akses masuk desa juga cukup sulit apalagi dari desa sebelah yang aspalnya masih geronjalan itu.” “Benar juga sih, bu,” Dipta menyetujui ucapan ibunya. “Kamu gak mau bersih diri dulu? Katanya mau kembali ke Surabaya setelah sarapan,” peringat Armi. “Masih mengeringkan badan dari keringat, bu,” jawab Dipta sambil menyandarkan punggungnya pada pilar rumah yang berdiri kokoh di teras rumah. “Ya sudah. Ibu mau masuk dulu. Mau melanjutkan masak sarapan dulu.” Dipta mengangguk. Armi pun berjalan masuk ke dalam rumah dan meninggalkan Dipta yang masih selonjoran dengan santai di teras rumah. Kurang lebih 10 menit kemudian Dipta beranjak dari teras dan masuk ke dalam rumah. Memilih masuk ke dalam kamarnya untuk mandi dan bersiap kembali ke Surabaya. “Dipta, kamu masih lama? Sudah mau jam 9 lho ini. Ayo sarapan,” teriak Armi dari depan kamar Dipta yang tertutup. “Iya, bu,” teriak Dipta dari dalam kamar. Sambil menggendong ransel hitamnya yang berisi pakaian santai yang selalu dia bawa jika bepergian, Dipta berjalan keluar dari kamarnya. Pakaian di rumah ibunya masih banyak sebenarnya, tetapi dia selalu membawa pakaian atau baju santai jika memang harus menginap di rumah ibunya atau ada proyek yang mengharuskan dia menginap di hotel. Dipta meletakkan ranselnya pada sofa di ruang tamu. Kemudian Dipta beranjak menuju dapur. “Buat sarapan apa, bu?” tanya Dipta tepat di balik punggung sang ibu. Armi terlonjak kaget karena kelakuan Dipta. Armi berusaha menetralkan debaran jantungnya yang menggila karena ulah anak bujangnya. “Kamu bisa gak sih Dip jangan buat ibu jantungan?” Napas Armi masih belum normal. Beruntungnya piring yang tadi dia pegang untuk diletakkan di meja makan sudah mendarat dengan cantik di atas meja kaca warna hitam tebal. Dipta hanya cengengesan dan memeluk bahu ibunya dari belakang. Sudah lama rasanya dia tidak bermanja dengan ibunya. Pulang setiap bulan sekali jika sempat, bahkan terkadang beberapa bulan Dipta baru menginjakkan kakinya kembali ke rumah Armi. Kesibukannya mengurus dan mengembangkan PT. Sugar Sweet—perusahaan gula peninggalan almarhum ayahnya membuat dia harus merelakan waktunya bermanja dengan sang ibu menjadi lebih sedikit. “Lepas, Dipta!” ucap Armi dengan wajah galak. “Ibu mau ambil peralatan makan dulu.” Armi berusaha melepaskan lengan Dipta yang masih setia bertengger pada bahunya. “Biar Dipta saja, bu. Ibu duduk dengan tenang ya.” Dipta segera melesat menuju rak piring berbahan aluminium dengan perpaduan warna silver dan hitam. Armi tersenyum melihat kelakuan Dipta. Sejujurnya dia merindukan masa-masa berkumpulnya kedua buah hatinya di rumahnya. Namun, waktu memang menjadikan mereka harus tetap tumbuh dan melanjutkan hidup. Dipta dengan tanggung jawabnya mengurus perusahaan almarhum suaminya dan Kanya yang sudah berumah tangga meskipun rumah Kanya hanya berjarak beberapa meter dari rumahnya. Namun kehidupan Kanya tentu tidak seperti saat masa single dulu, Kanya sudah punya tugas dan kewajiban yang lain. “Ibu kenapa habis senyum jadi pasang wajah sedih?” Dipta yang sudah duduk di hadapan Armi menyadarkan Armi dari lamunannya. “Ibu hanya merindukan masa-masa ketika kalian masih di rumah ini. Bertengkar, saling berteriak, kejar-kejaran. Namun ibu tahu bahwa hidup terus berjalan.” Armi tersenyum hangat dan menatap Dipta penuh kasih sayang tetapi tampak jika ada kesedihan dan rasa kesepian dari binar matanya. Dipta berjalan menghampiri ibunya. Memeluk erat bahu sang ibu dengan lengan kanannya. Bahu yang dulu dijadikannya sebagai pijakan, sandaran, dan gendongan saat masa-masa dia balita. “Maafkan Dipta ya, bu. Harus bekerja jauh dari ibu,” bisik Dipta. “It’s okay. Ibu paham, Dit. Tanggung jawab yang kamu emban bukanlah suatu hal yang ringan.” Armi menghela napas. “Ayah membangun usaha itu juga bukan seperti membangun candi Borobudur yang bisa selesai dalam satu malam. Butuh waktu berhari-hari bahkan bertahun-tahun,” cerita Armi. Dipta tentu sudah tahu akan hal ini. Dulu semasa ayahnya masih hidup, beliau selalu menceritakan bagaimana bisa memiliki perusahaan yang sukses dan megah seperti sekarang. Dari cerita itulah membuat Dipta merasa bahwa dia memiliki tanggung jawab untuk melanjutkan apa yang sudah dibangun ayahnya. Hal itulah yang mendasari dia menjadi seorang bujang hingga sekarang. Sejak sang ayah meninggal, dia berusaha cepat menyelesaikan pendidikannya. Dia ingin segera melanjutkan usaha sang ayah, dia tidak ingin orang lain yang menguasai dan mengambil alih apa yang selama ini ayahnya perjuangkan. Dipta menganggukkan kepala di balik bahu Armi. Armi mengelus punggung tangan Dipta yang bersandar di bahunya. “Sudah, sudah. Ayo kita makan,” ucap Armi menghentikan kesedihan yang tiba-tiba melanda hati ibu dan putranya. Dipta pun melepaskan rangkulan pada bahu ibunya dan berjalan kembali menuju kursinya yang tadi dia tinggalkan. Pagi ini mereka sarapan dengan pecel, telur dadar, dan sambal goreng tempe. Sayur kecambah dan kangkung menjadi sayur yang diguyur oleh nikmatnya bumbu pecel. Diiringi dengan kerupuk uyel putih dengan ukuran dua kali lipat dari biasanya menjadikan menu sarapan pagi ini semakin nikmat. “Kamu mau dibawakan lauk dari rumah? Ibu bikin ayam suwir kemarin malam,” ucap Armi disela suapan sarapan mereka. “Boleh, bu. Tapi jangan semuanya, nanti Kanya neror aku karena merampok masakan ibu.” Dipta terkekeh geli, membayangkan hebohnya Kanya ketika tahu bahwa Armi membawakan banyak menu lauk bahkan semua lauk yang dimasak oleh Armi. Kanya tidak berhenti meneror dengan berbagai pesan bahkan telepon. Pernah suatu ketika saat Dipta sedang rapat dengan salah satu kliennya, Kanya tidak berhenti menghubunginya. Membuatnya harus ijin meninggalkan rapat sebentar. Dan ternyata suara teriakan heboh yang menyambut telinga Dipta. Armi pun ikut terkekeh geli. “Iya. Adikmu itu memang luar biasa sekali. Masih sangat manja, padahal sudah mau punya anak. Ibu sebenarnya tidak mempermasalahkan, tapi kasihan Bakti kalau harus menghadapi sikap Kanya yang terus-terusan seperti itu.” “Tapi memang terlihat sangat bucinnya si Bakti kepada Kanya, bu,” sahut Dipta setelah meneguk air putih yang telah dia tuang pada gelas. “Iya, kamu benar. Ibu bersyukur karena Kanya mendapatkan seorang suami yang luar biasa menyayangi dan mencintai adikmu sepenuh hati. Semoga kamu nanti juga bisa jadi suami yang seperti itu. Tapi ya harus ada calonnya dulu,” ledek Armi sambil terkekeh. Dipta hanya memutar kedua bola matanya malas. Tidak hanya adiknya saja yang suka mengejek atas kejombloannya, sang ibu pun ikut tertular virus meledek adiknya. Dipta memang tidak ingin terburu-buru menikah. Dia ingin menemukan seseorang yang nyaman untuknya. Seseorang yang selalu siap menerima segala apa yang ada pada dirinya. Namun setiap melihat kemesraan adiknya dan Bakti terkadang menimbulkan rasa iri dalam dirinya. Dia juga ingin seperti itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD