Prolog

1386 Words
“Gue hamil.” Artha membulatkan matanya, menatap Gladis yang menyodorkan satu alat tes kehamilan beserta satu amplop surat bertuliskan salah satu rumah sakit di kota mereka. Lama Artha menatap garis dua pada alat tes kehamilan itu tanpa berniat membuka amplop sebagai bukti yang lain. Tangannya tampak sedikit bergetar memegang benda tersebut, wajahnya total kosong tanda ia masih tak percaya pada apa yang terjadi. Gladis menatap Artha, ia tau jika lelaki di depannya ini terkejut, tapi mau bagaimana lagi? Toh ini juga perbuatannya. Disangkal bagaimana pun, itu kenyataan yang harus Artha terima. Seminggu kebelakang Gladis mempertimbangkan apakah harus memberi tahu Artha atau tidak, dan akhirnya ia memilih memberi tahu Artha. “Gue cuma ngasih tau aja, lo berhak tau. Gue gak nuntut tanggung jawab kok, gue mau gugurin aja,” jelas Gladis enteng sambil membereskan tasnya, ingin segera pergi dari hadapan Artha. Namun belum sempat sepenuhnya Gladis berdiri, tangganya ditarik pelan oleh Artha hingga dia kembali duduk. Artha kini menatapnya dalam, hingga dahi Gladis mengernyit heran. “Jangan!” Gladis paham, tapi dia berpura – pura bodoh dan tetap diam seolah tak mengerti ucapan yang Artha lontarkan padanya. Dia ingin memastikan. “Jangan gugurin, gue mau tanggung jawab, Dis!” ucap Artha mantap. <<<°°>>> Beberapa bulan sebelumnya .... Ruangan bernuansa putih yang begitu sejuk dan sedap dipandang, seolah pemiliknya memang tau bagaimana cara menyulap satu ruangan yang tak terlalu besar itu menjadi nyaman untuk ditempati. Meja kerja serta rak buku berada tepat menghadap pintu di pojok kanan, membelakangi jendela besar yang menampakkan pemandangan padatnya kota. Sengaja memang dibuat agar si pemilik ruangan bisa rehat dengan memandangi kota jika jenuh melanda. Di pojok kirinya terdapat sofa panjang berwarna coklat dengan meja kecil, tepat di sampingnya ada pintu bilik kamar mandi. Perabotan pun didominasi warna coklat asli kayu, dan dinding dicat putih keseluruhan. Cukup nyaman ditempati. Clek “Dis, udah istirahat. Yuk, ke kantin!” Wanita yang sejak tadi berdiam diri di ruangan dan sibuk dengan komputer pun mengangkat wajahnya sejenak saat mendengar panggilan yang ditujukan padanya. “Duluan aja, Dan! Gue masih ada yang belom selesai,” jawab Gladis, wanita yang dipanggil. “Okey, gue tunggu sama yang lain ya!” Gladis mengangkat jempolnya. Setelah pintu ditutup, ia kembali mengerjakan desain baju yang sedang dikerjakan. Tinggal memberi warna dan semuanya beres. Gladis Anindita, wanita berumur 24 tahun itu memiliki jabatan yang begitu mengiurkan, seorang Fashion illustrator di sebuah perusahaan pakaian. Dia baru saja meraih posisi itu satu bulan yang lalu, sebelumnya ia menjadi Fashion designer sejak lulus kuliah 2 tahun lalu. Orang yang menduduki posisinya dulu merekomendasikan Gladis saat ia akan naik jabatan. Gladis bersyukur, membuat desain baju adalah hobinya sejak kecil, didukung oleh kelihaian tangannya Gladis dapat mengembangkan hobinya itu hingga menjadi sumber penghasilannya sekarang. Setelah menyimpan data pekerjaannya, Gladis berdiri dan meraih ponselnya. Gladis akan menuju kantin menyusul Dante dan teman-temannya yang lain. Ia tersenyum beberapa kali ketika bertemu juniornya sepanjang jalan menuju kantin dan menyapa dirinya, Gladis membalas dengan sopan. “Dis! Sini!!” Tiba di kantin ia langsung disambut oleh teman – temannya yang tengah berkumpul dalam satu meja. Ada putri dan Luna yang bertugas menjaga meja resepsionis serta ada Yosi dan Dante yang berada di bagian marketing. Mereka mulai saling mengenal saat wawancara melamar pekerjaaan dua tahun lalu. “Dis, kata Flora lusa kita ada reuni SMA ya?” Dante yang sedari tadi menatap ponselnya beralih kepada Gladis yang baru saja duduk. “Iya, lo baru tau? Udah seminggu yang lalu undangannya,” jawab Gladis sambil membuka buku menu. Ngapain buka buku menu, kalo dia udah apal menu kantin perusahaan? “Gue baru dikasih tau!” kesal Dante sedikit memukul meja. “Gue kira udah dikasih tau Flora, ya lagian lo sih gak pernah buka grub chat alumni, ketinggalan berita kan?" Gladis melambai pada Bu Suti penjaga kantin dan mengabaikan kekesalan Dante, segera Bu Suti berjalan menuju meja mereka. “Mau pesen apa mbak?” tanya Bu Suti sambil tersenyum hangat. “Saya mau mie ayam ya Bu sama es jeruk.” Gladis menyebutkan pesanannya. “Siap! Ditunggu ya Mbak Gladis,” ujar Bu Suti sebelum akhirnya berjalan kembali ke arah dapur. Gladis kembali menatap teman – temannya, Putri dan Luna yang masih sibuk dengan ponsel mereka, Yosi sudah memakan bakso, dan Dante yang masih menggerutu kesal. “Udahlah, Dan! Mungkin Flora lupa ngasih tau,” ucap Gladis berupaya agar Dante berhenti menggerutu. “Emangnya kalo elo ngomel kayak gitu, bakal dibatalin acaranya? Enggak kan?” tambah Putri masih tetap fokus pada ponselnya. “Lagian gue yakin, Flora udah nyiapin keperluannya buat elo!” Luna juga ikut menambahi. “Iya - iya,” jawab Dante agak tak rela. Gladis tertawa puas melihat raut pasrah dari wajah Dante. Lagi pula apa yang harus di pusing kan? Itu hanya acara reuni biasa yang pasti diadakan setiap tahun. Dante itu memang temennya sejak SMA, satu kelas bersama hingga bekerja pun mereka masih satu perusahaan yang sama, memiliki kekasih bernama Flora Oktavia. Kekasihnya juga satu kelas dengan mereka, dan kini dia sudah jadi pegawai di salah satu bank negara. “Si Flora sabar banget ya dapet cowok kayak elo!” komentar Yosi yang sejak tadi diam saja melihat sikap Dante. “Bacot!" Mereka tertawa bersama kecuali Dante, mereka sudah mengenal Flora saat pertama kali nongkrong diluar kantor, dan paham betul kenapa hubungan keduanya awet sejak kelas 1 SMP. “Udahlah makan sana! Jangan gangguin gue mulu!” peringat Dante saat menerima pesanan miliknya. <<<°°°>>> “Serius dia ngambek?” “Iya anjir, kita disini yang kena!” “Gue sengaja, siapa suruh seminggu gak ada kabar!” “Bukannya dari dulu juga kayak gitu di Dante? Cowok lo kan kebangetan malasnya!.” “Ya masa gak mau berubah? Ini gue ceweknya lho!” “Iya juga sih, parah si Dante mah!” Gladis tengah mengisi waktu santainya dengan mengobrol lewat panggilan suara bersama Flora –pacar Dante galak– yang juga sedang memiliki waktu luang. Gladis menghadap ke jendela, memandangi pemandangan kota yang padat. “Katanya reuni kali ini si Gavin dateng, Dis! Gak mau clbk lo?” “Bukannya kemaren – kemaren juga dateng ya?” tanya Gladis keheranan. “Lo pikun dini ya? Makanya cari pacar sono, jangan ngarepin Gavin mulu!" Di seberang sana, tampak Flora berteriak kesal menjawab pertanyaan Gladis tersebut. “Nyambungnya apaan sih?!” “Ya nyambung aja, gue sambung – sambungin!” “Terserah lo deh!” Gladis pasrah saja, mana mungkin ia menang beradu perdebatan dengan Flora? “Terus itu si Artha, lu tau kan? Doi juga dateng!” Gladis sedikit mengingat-ingat sosok orang yang namanya disebut oleh Flora, mencoba meneliti siapa gerangan pemilik nama tersebut. "Mana?" “Tuh kan! Udah pikun lo, cepet deh cari cowok!” “Iya nanti, cepet sebutin yang mana?” “Artha yang dulu pernah nembak Helena tapi ditolak, eh malah elu yang disalahin.” “Oh iya inget! Gila sih itu cowok! Dia yang telat nembak, malah gue yang diomelin. Bukannya dia dateng terus ya?” “Kagak, Dis! Lo mah suka gak merhatiin. Si Artha itu study S1 S2 di USA, baru lulus tahun ini. Masak lo lupa sih?” "Ohh ... Gak tau gue, gak penting juga buat gue.” Lagi pula apa untungnya Gladis mengetahui hal itu? Mereka juga tak dekat dan terkesan jarang mengobrol, mungkin pernah beberapa kali saat Gladis memiliki keperluan atau sebaliknya. "Dengar-dengar juga Artha masih suka sama Helena lho!” Jiwa gosip Flora mulai keluar. “Ah masa sih?” “Iya, padahal Helena kan udah publikasi hubungannya sama pemain film itu, banyak rumor jelek pula.” “Udah cinta kali," komentar Gladis seadanya, tak mau terlalu ikut campur dengan urusan orang lain. “Iya, cinta pertama kayaknya. Udahan dulu ya, gue mau lanjut kerja lagi. Bye!” “Bye!” Gladis meletakkan ponselnya setelah memastikan sambungan telepon terputus. Ia kembali bersandar pada kursi dan masih tetap menatap ke arah luar Jendela. Pekerjaannya tadi sudah ia kirimkan ke supervisor, tinggal menunggu persetujuan dan bakal diserahkan ke atasan. “Cinta pertama? Hhhh ....” Gladis tertawa sumbang, hatinya agak gelisah saat mengetahui lusa dia akan bertemu sang mantan kekasih pada acara reuni nanti. Ada sedikit hal di hatinya yang masih tertinggal tentang Gavin, mungkin benar kata Flora jika dirinya harus segera memiliki kekasih baru. <<<°°°>>>
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD