BAB II - LUPA

1090 Words
Berhutang adalah hal yang paling Dariel tidak sukai. Baik itu berupa uang maupun jasa, kalau dia tidak segera membayarnya, dia akan merasa galau selama berbulan-bulan. Bahkan saat meminjamkan uang pada teman maupun rekan bisnisnya, dia akan sangat berhati-hati. Karena itu, agar terhindar dari galau berkelanjutan, Dariel bermaksud untuk segera membayar hutang jasanya pada si satpam perempuan yang telah menolongnya tadi. Tanpa memberi tahu Bagas terlebih dahulu, dia kembali ke back office. Tetapi, sesampainya di sana orang-orang malah pada heboh. Rupanya mereka sudah mendapatkan kabar tentang insiden yang baru saja terjadi dan akan menyusul Dariel di parkiran. “Pak Dariel gapapa kan? Maafkan saya, Pak. Harusnya tadi tidak saya tinggal.” ujar Bagas penuh penyesalan. Dariel menepuk pundak Bagas dan berkata, “Bukan salah kamu. Toh saya juga selamat.” Mata Dariel menelusuri seluruh ruangan, mencari orang bagian HRD yang bisa dia tanya. Tetapi, perhatiannya langsung teralihkan pada suara perempuan yang baru saja masuk ke dalam ruangan. “Lho, Bapak ternyata udah di sini. Barusan saya cari di parkiran udah gak ada, kirain udah pulang.” Perempuan itu tersenyum pada Dariel dan lagi-lagi debaran jantungnya menjadi tidak teratur. “Pak?” Suara Bagas pun menyadarkan lamunan Dariel. “Gimana?” tanya Dariel pada perempuan itu. Dilihatnya name tag yang perempuan itu pakai di dadanya. Di sana tertulis nama perempuan itu, Sekar. Namanya begitu pendek, tapi cukup untuk menggambarkan kepribadiannya yang nampak cerah. “Sekarang polisi sedang memeriksa CCTV. Lalu, Bapak diminta untuk memberi keterangan. Tadi saya cari Bapak untuk itu.” jelas Sekar. “Oh, oke. Saya akan segera ke sana.” Saat di ruang pengawasan CCTV, Dariel juga ikut menonton kejadian tadi yang terekam di sana. Dia ingin melihat dengan lebih jelas detik-detik kemuncullan Sekar dan juga saat tiba-tiba Sekar menghilang dengan pelaku. “Wow! Cepet banget! Sat set sat. Kayak nonton film action. Kamu belajar bela diri begini dari mana?” ujar Dariel kegirangan. Tadi Dariel sama sekali tidak melihatnya. Sekarang setelah tahu, dia makin takjub dengan kemampuan Sekar yang menurutnya di atas rata-rata orang biasa. “Terima kasih pujiannya, Pak. Kebetulan orangtua saya sendiri yang mengajarkan.” balas Sekar malu-malu. “Wah, orangtua kamu pasti bangga sekali.” Dariel sebetulnya masih ingin mengobrol dan tanya-tanya. Tetapi, kemudian seorang polisi menepuk pundaknya. “Pak Dariel, apa boleh saya minta waktu Bapak sekarang?” Saking terlalu senang melihat aksi Sekar di CCTV, hampir saja Dariel lupa pada para polisi yang tengah menunggunya. “Oh, boleh. Silakan.” ... Setelah memberi keterangan, Dariel tetap pergi menemui kliennya walau agak terlambat dari waktu janjian. Untungnya, alasan Dariel dapat mereka terima dan perbincangan bisnis pun berjalan lancar. Hanya satu yang tidak lancar, yaitu otak Dariel yang tiba-tiba ingat bahwa dia belum ‘membayar hutang’ pada Sekar. Jangankan membayar hutang, mengucapkan terima kasih pun belum dia lakukan. “Sialan! Ini udah malam, pasti shift dia udah selesai.” gumamya saat melihat jam di ponselnya yang menunjukkan pukul 22.05. Yang berjaga sekarang pasti sudah ganti. Sebagian besar tenant di mall juga sudah tutup. Kalau Dariel ke sana pasti akan percuma. Sekarang Dariel hanya bisa menunggu pagi hari datang. Dia memejamkan mata, berharap akan segera terlelap dan begitu bangun matahari sudah muncul di ufuk timur. Tapi sayangnya, kegalauan rupanya telah mengalahkan rasa kantuk Dariel. “Tuwolol! Kenapa waktu itu gak ngomong langsung coba? Tinggal bilang makasih doang! Kenapa gue malah bengong anjir!” racaunya sambil mencekik bantal yang tidak bersalah dengan brutal. “Sejak kapan lo jadi segoblok ini, sih!?” bentaknya pada diri sendiri. Sarah yang mendengarnya dari luar cukup kaget, karena tidak biasanya Dariel seperti itu. Diapun mengetuk pintu kamar Dariel. “Kok kamu teriak-teriak begitu? Sudah malam, loh. Gak tidur?” tanya Sarah begitu Dariel membuka pintu kamarnya. “Maaf, Ma. Lagi banyak pikiran aja. Jadi, susah tidur.” jawab Dariel. “Kerjaan lagi ada masalah? Mau mama bikinin apa gitu, biar bisa tidur?” Dariel menggelengkan kepalanya. Katanya, “Gak usah, Ma. Masalah biasa, kok. Mama gak perlu khawatir. Istirahat saja.” Sarah tahu bahwa puteranya sedang berbohong. Dia mengira bahwa Dariel tengah memikirkan kejadian di parkiran siang tadi. Meskipun tidak Dariel ceritakan, Sarah telah meminta seseorang untuk selalu mengabarkan kejadian apapun yang menyangkut puteranya. Jadi, dia tahu bahwa Dariel hampir saja terbunuh. Untungnya, Sarah tidak perlu khawatir berkepanjangan. Sarah tidak ingin memperlihatkannya pada Dariel. Tapi, sebagai Ibu, tetap saja dia resah. “Ya sudah. Kamu cepetan istirahat juga. Besok masih harus berangkat kerja kan?” Dariel mengangguk. Begitu kembali ke atas kasur, Dariel sekali mencoba memejamkan matanya. Tapi, tetap saja gagal. Alhasil, malam itu Dariel tidak tidur sama sekali sampai pagi. ... Keesokan paginya, Dariel yang masih mengantuk datang ke kantor dengan diantar oleh supir. Tujuannya hari ini tidak lain adalah Hardiansyah Grand Mall. Hari ini juga dia harus bertemu Sekar dan berterima kasih padanya. Namun, ternyata hari ini Sekar tidak ada shift. Jadi, Dariel terpaksa harus memperlama hutangnya lagi. “Kenapa tidak tanya jadwal satpam dulu, Pak?” Dariel melotot pada Bagas seakan berkata ‘Kenapa gak bilang dari tadi!?’ Alih-alih diucapkan, Dariel hanya mendengus kesal sambil melipat lengannya. Toh ini bukan sepenuhnya salah Bagas. Dia sendiri yang terburu-buru ke sini tanpa konfirmasi dulu. Sebetulnya bisa saja dia memanggil Sekar ke kantor dengan wewenangnya. Tetapi, dia tidak mau mengganggu perempuan itu di hari liburnya hanya untuk berterima kasih secara langsung. Bisa juga dia meminta alamat Sekar dan menemuinya di rumah, tapi dia ragu-ragu. Karena, Dariel tidak mau dibilang berlebihan. “Tunggu. Memangnya kenapa kalau berlebihan? Dia kan hitungannya udah nyelametin nyawa gue.” “Ya. Gak berlebihan. Gue ke rumahnya aja langsung.” Begitu pikirnya. Dariel pun segera beranjak dari mall setelah menanyakan alamat Sekar pada rekan sejawatnya. Di belakangnya Bagas mengikuti Dariel dengan penuh pertanyaan di kepalanya. Bagas benar-benar bingung, karena tidak biasanya sang bos seperti ini. Selang tigapuluh menit kemudian, akhirnya Dariel dan Bagas sampai di depan rumah kontrakan Sekar yang hanya berjarak sekitar 3km dari mall. Setelah turun, mereka ambil satu per satu barang yang mereka bawa di bagasi. Barang-barang berupa sembako dan kebutuhan sehari-hari itu niatnya akan Dariel berikan pada Sekar sebagai tanda terima kasih. ‘Tok! Tok! Tok!’ Diketuknya pintu rumah kontrakan itu. Lalu, tak lama kemudian, pintu pun terbuka. Namun, yang muncul dari balik pintu itu bukan Sekar, melainkan seorang anak laki-laki berusia sekitar 10 tahunan. “Selamat siang. Apa benar ini rumah Ibu Sekar?” Bagas bertanya. Anak itu menganggukkan kepalanya. “Kalau begitu, apa Ibu Sekar-nya ada?” tanya Bagas lagi. “Mama lagi gak ada.” Seketika Dariel dan Bagas saling memandang begitu mendengar cara anak itu memanggil Sekar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD