Ibu Rosean menunjuk ke dua kursi yang terletak di dekat meja. Kiku melirikku, mengisyaratkan aku untuk duduk di kursi itu. Aku mengerti, dan bergegas duduk di kursi yang berada di samping kursi yang diduduki Kiku.
Kami sudah duduk dengan manis. Ibu Rosean dengan anggun, meletakkan dua tangannya di meja. Ia tersenyum manis lagi.
"Baiklah, langsung saja kita bicarakan perihal mengapa kamu dipanggil ke sini, Zian. Hal ini berhubungan dengan Pohon Matahari," ungkap Ibu Rosean.
Aku mengerutkan keningku. "Pohon Matahari?"
"Ya. Pohon Matahari yang tumbuh di tengah negeri Sembilan Planet ini. Pohon yang bercahaya terang, dan simbol kekuasaan. Dahulunya pohon itu tumbuh subur di negeri ini, tapi sekarang pohon itu sudah mengering karena Kaisar yang memeliharanya sudah meninggal dunia," jelas Ibu Rosean yang berwajah kusut. "Karena itu, Yupiter Alliance yang mengambil ahli kekuasaan dan mengerahkan pasukannya untuk melawan siapa saja yang menentangnya. Seperti kamu yang dianggap penyusup karena Yupiter Alliance mengetahui kedatanganmu ke dunia ini. Mereka akan membunuhmu begitu tahu kalau kamu bukanlah penghuni dunia ini."
Aku terdiam mendengarkan penjelasan Ibu Rosean yang panjang lebar. Kiku juga terdiam, sesekali ia mengangguk untuk membenarkan perkataan Ibu Rosean.
"Pohon Matahari bisa tumbuh subur lagi jika ada Kaisar baru yang menggantikan Kaisar yang meninggal sebelumnya. Tapi, kami belum menemukan keturunan Kaisar yang meninggal itu," lanjut Ibu Rosean. "Jika dibiarkan, Pohon Matahari akan mati, maka kehidupan di Negeri ini juga terancam musnah tak lama lagi. Karena itu, aku meminta Kiku untuk memanggilmu agar kamu bisa membantunya untuk mengalahkan Yupiter Alliance. Hanya kami, bangsa Venus, yang menentang mereka, selebihnya beraliansi dengan Yupiter Alliance. Karena itu, saya memasukkan kamu ke sekolah ini. Kamu harus belajar menggunakan sihir dan mengendarai robot tempur."
"Tapi, aku ini manusia biasa, Ibu Rosean. Aku rasa aku tidak bisa membantu Kiku. Aku--"
Belum sempat, aku melanjutkan perkataan, Ibu Rosean memotongnya.
"Saya percaya kamu bisa melakukannya."
"Tapi...."
"Saya rasa tidak ada yang perlu dijelaskan lagi. Biar Kiku yang akan menjelaskan semuanya padamu. Ada urusan penting, saya pergi dulu. Sampai jumpa lagi."
Ibu Rosean tersenyum lalu menghilang menjadi terurai cahaya. Aku terperanjat. Celingak-celinguk seperti orang bodoh.
"Kemana dia pergi?"
"Ayo, kita pergi ke kelas sekarang!"
"Hei, Kiku! Tunggu dulu!"
Lagi-lagi Kiku meninggalkan aku. Aku bersusah payah mengejarnya. Kami keluar terburu-buru dari sana.
Kiku yang semula memakai pakaian pelindung yang terbuat dari besi, mendadak sudah berpakaian seragam serba berwarna putih. Helmet yang dikepitnya dengan tangan, juga menghilang.
Rambutnya yang panjang, terurai lepas. Ia berjalan anggun menyusuri lorong yang sepi.
Dengan usaha yang keras, aku menyamakan langkah dengan langkahnya. Ia menoleh dengan wajah yang cantik, tapi datar.
"Kamu akan masuk ke kelasku."
"Kita sekelas?"
"Iya. Kita sudah telat hampir satu jam."
"Kalau telat, kenapa kamu mengajakku masuk kelas?"
"Aku akan memperkenalkanmu pada teman-teman sekelasku."
"Kenapa cepat sekali masuknya? Besok, 'kan, bisa?"
"Hari ini, lebih baik, kan?"
Saat berjalan beriringan, kami mengobrol tentang apa saja. Hingga kami tiba di sebuah pintu besi. Ada plat digital yang terpasang di atas pintu itu, tertera di sana, kelas 2-Ultimate.
Hah? Kelas 2-Ultimate? Apa maksudnya?
Pertanyaan bertubi-tubi muncul di pikiranku.
Seakan mengetahui apa yang kupikirkan, Kiku menjelaskan sebelum aku bertanya padanya.
"Kelas ini adalah tingkat tertinggi, biasanya hanya dimasuki oleh orang-orang yang cerdas. Karena kamu adalah orang yang sangat jenius di sekolah lamamu, Ibu Rosean menetapkanmu masuk ke kelas ini."
"Hah?"
Aku membelalakkan mata. Kiku menatapku lama sekali.
Itu memang benar, aku adalah murid yang sangat jenius di sekolah lama yakni di dunia asalku. Tapi, aku tidak percaya diri dengan kemampuan yang kumiliki ini, karena itu, aku sering di-bully.
"Kamu siap?"
Suara Kiku menyadarkan aku dari lamunan yang sempat melandaku. Tanpa pikir panjang lagi, aku mengangguk.
"Siap."
"Baiklah, mari kita masuk!"
Kiku yang masuk terlebih dahulu. Pintu terbuka otomatis, aku menunggu dengan perasaan berdebar-debar. Kemudian dengan mantap melangkah.
Pintu tertutup otomatis. Aku membeku saat menemukan ruangan yang sangat luas.
Ruangan yang berbentuk kotak. Ada dua jendela kaca besar dan tinggi yang berhadapan dengan pintu. Juga ada beberapa orang bertelinga dan berekor Rubah, yang duduk di dekat meja yang disusun berbaris-baris seperti tempat penonton yang ada di stadium sepak bola. Kemudian ada seorang pria yang juga bertelinga dan berekor Rubah, berdiri di dekat meja di dekat papan tulis hologram.
Kiku berbicara dengan pria yang berpakaian seragam berbeda. Pria berambut perak itu memandangku, lalu memanggilku. "Alzian Ekadanta."
Aku tersentak dan buru-buru menjawab, "Ya, Pak."
"Kamu murid baru yang direkomendasikan oleh Kiku, kan?"
"Iya, Pak."
"Kalau begitu, silahkan duduk di sana."
Pria itu menunjuk ke arah bangku yang kosong, tepatnya di tengah. Kiku juga sudah duduk di sana, di sebelah kanan. Lalu ada gadis lain yang juga duduk di sebelah kirinya.
Apa? Duduk diapit dua benua, batinku.
Aku tersenyum untuk menanggapi perkataan Pak Guru tadi. "Baiklah, Pak."
"Panggil saya Pak Alba."
"Iya, Pak Alba."
Senyum kembar menghiasi wajah kami. Aku bergegas melangkah menuju ke tempat dudukku.
Beberapa pasang mata tertuju padaku. Pandangan mereka begitu menusuk batinku. Entah mengapa mereka memberikan tatapan mengintimidasi seperti itu.
Beberapa bangku kosong. Aku baru menyadarinya ketika sudah duduk di tengah, di antara Kiku dan gadis berambut biru.
"Aku lupa memberitahumu sesuatu, Zi."
Aku menoleh. Kiku memberikan aku sebuah benda berukuran persegi, mirip dengan tablet di dunia asalku, tapi ukurannya jauh lebih kecil dan desainnya futuristik.
"Kamu orang yang berbeda di sini. Tanpa ada telinga dan ekor yang menyerupai kami," bisik Kiku yang menoleh ke kanan-kiri. "Kamu tenang saja, selama kamu ada bersamaku. Mereka tidak akan berani macam-macam denganmu. Ini, terima Bookpad ini."
Aku mengangguk seraya menerima benda yang bernama Bookpad itu. "Iya. Terima kasih."
"Hn. Sekarang fokus belajar ya."
"Ya."
Seulas senyum terukir di wajahku. Kiku berwajah datar, memutar bola matanya untuk melihat ke depan lagi. Pak Alba mulai menjelaskan pelajaran yang berhubungan dengan sihir.
Aku berusaha keras untuk mencerna semua ini.
***
Jam sekolah sudah usai, aku dan Kiku serta semua orang keluar dari gedung sekolah. Cuaca yang cerah menyambut kami saat menginjakkan kaki di halaman depan sekolah yang luas.
Gedung sekolah ini bertingkat tujuh dengan bentuk futuristik yang menyerupai Rubah. Ada akar-akar besar yang membelit gedung tersebut. Akar yang berasal dari Pohon Matahari.
Rata-rata setiap kelas biasa dihuni lima belas orang saja. Hanya beberapa orang saja yang beruntung bisa masuk ke kelas Ultimate -- kelas yang kumasuki -- karena orang-orang yang termasuk kelas Ultimate adalah orang-orang yang sangat cerdas dan selalu ditunjuk untuk melakukan misi oleh Kepala Sekolah. Boleh keluar-masuk sekolah dengan bebas tanpa melanggar peraturan.
Mungkin bisa dikatakan sebagai agen rahasia yang belajar untuk melakukan sebuah misi, itu dijelaskan Kiku padaku sepanjang perjalanan menuju ke tempat tinggalnya.