Chapter 2 - Toxic Circle

1319 Words
"Sayang, Mama tunggu kamu di luar ya." "Iya, Ma." Berjongkok di depan Noah, tangan Adeline mengusap lembut rambut putranya yang berwarna cokelat gelap dengan senyum terbaik yang memamerkan deretan gigi rapinya. Pria kecil menggemaskan ini selalu pintar membuat dia tersenyum. Sepatu keds putih yang Noah gunakan mengajaknya berlari masuk ke dalam kelas ketika gurunya melambai, Adel berdiri kemudian membungkuk sopan pada wanita berambut sebahu yang mengajar putranya itu dan dibalas dengan ramah. Ada taman dengan kantin bersih yang tidak jauh dari kelas Noah, dia biasanya menunggu putranya selesai belajar di sana sambil memesan salad untuk sarapan atau american breakfast yang lucunya tersedia, sekolah ini memang terlalu elite bahkan untuk orang dewasa sekalipun tapi semakin lama Adel semakin tidak ingin pergi ke sana apalagi dia tahu kalau para ibu muda lainnya sedang sangat menikmati obrolan mereka tentang dirinya, setiap hari, mungkin. Menjadi janda dengan seorang anak bukanlah hal mudah, dia tidak menginginkannya di usia yang baru menginjak 27 tahun ini tapi bukan mau Adel juga untuk berakhir seperti ini dengan papanya Noah. Pria itu kembali ke Manhattan dan meninggalkan Adel dengan Noah di Indonesia berjanji untuk kembali tapi nyatanya tidak pernah. Adel sudah pernah menyusulnya ke Manhattan mengabaikan perjalanan seharian yang dia habiskan di pesawat untuk menemui pria itu namun yang dia dapat hanyalah penolakan dan pengkhianatan. Adel menggeleng, tiba-tiba bayangan gila tentang mantan suaminya itu mengganggunya lagi. "Hai, Mamanya Noah ya?" Terkejut, tiba-tiba seseorang menyapa Adel yang tengah sibuk dengan pikirannya sendiri. "Halo." Ekspresinya langsung berubah manis dan dengan sopan menunduk tipis ketika segerombolan perempuan berjalan menghampirinya, para ibu muda yang tadi mengisi topik dalam pikiran perempuan ini. "Baru dateng juga?" tanya yang lainnya. Adel mengangguk dengan kedua tangan yang memegang hand bag dengan tali menjuntai di depan lututnya. "Kita baru mau ke kantin, gabung yuk!" Adel baru saja membahas ini, dia tidak nyaman dan tidak ingin bergabung tapi perasaan tidak enak membuatnya mengiyakan ajakan mereka dengan bodohnya. Dia membenci sisi dirinya yang seperti ini. Benar saja, pembicaraan mereka tidak menyenangkan bagi Adel. Ada saja orang dalam topik yang mereka bicarakan tanpa takut seandainya orang tersebut mendengar apa yang mereka komentari tentang dirinya. Bahkan hanya karena salah satu orang tua murid memakai tas dalam kategori affordable luxury membuatnya menjadi buah bibir, Adel tidak mengerti kenapa mereka mengomentari selera seseorang hanya dari brand yang dia pilih. Bahkan meski Adel memakai brand dalam kategori premium core sekalipun dia yakin ada sisi yang akan menjadi pembicaraan hangat bagi mereka. Tersenyum setiap kali orang mengajaknya bicara, hanya itu yang bisa Adel lakukan. Dia tidak mengeluarkan sepatah kata pun dan tidak melakukan apa pun selain menikmati minumannya bahkan salad yang dia inginkan pagi ini tidak lagi menarik sejak mereka yang mengajaknya ke sana. Menyeruput minumannya Adel hanya berharap Noah segera keluar dari kelas dan menariknya pulang tapi semakin ditunggu waktu rasanya semakin lama saja beranjak. "Kemarin aku lihat Mamanya Davin, tengah malam." Geger, pembicaraan tentang salah satu ibu muda itu kemudian menyalakan kembali keramaian pembicaraan mereka. Adel mengenal siapa yang mereka maksud tapi mengenal saja tidak membuat Adel cukup berani untuk menyela mereka dan menghentikan gosip tersebut. "Aku baru pulang jemput suami di bandara dan dia pakai rok segini ...." Wanita itu memberi contoh sambil berdiri menunjukkan seberapa pendek rok yang dia maksud kemudian menimbulkan suara terkejut dari banyak orang. "Tengah malem bayangin, dia keluar dari club yang terkenal itu." Adel menggerakkan sedotan dalam gelas dengan tangannya, dia tidak tertarik meski pembicaraan itu dibuat sangat menarik. "Dia baru cerai dari suaminya, kan?" tanya yang lain, terdengar seperti pernyataan daripada pertanyaan. "Namanya juga sendiri, Mbak. Mungkin dia kesepian, biasalah." Adel hanya tersenyum tipis masih sibuk dengan sedotan yang dia gerakkan dengan tangannya tanpa peduli bahwa status yang disandang oleh mamanya Davin adalah status yang sama dengan dirinya. Namun fakta menggelitik yang membuatnya diam juga adalah bahwa dia semalam menghabiskan waktunya di ranjang seorang pria asing yang dia temui di Petrichor, andai mereka tahu atau dia tertangkap basah seperti mamanya Davin, Adel pasti akan jadi bahan perbincangan panas pagi ini. "Ahh Adel, kita enggak maksud ngomongin kamu juga, bukan gitu kok!" Seseorang menegur Adel yang terlihat tidak peduli namun wajahnya jelas tegang sedangkan Adel yang awalnya bingung langsung mengangkat kepalanya tersenyum ramah mencoba terlihat baik-baik saja, dia ingin membantah namun kosakata semacam itu hanya ada dalam kepalanya saja dan tidak berani terucap. Dia tidak suka terlalu dipedulikan. Keramaian tiba-tiba terdengar dari dalam ruang kelas, para ibu muda itu jelas tahu ada keributan yang terjadi diantara para anak kecil di sana dan mereka bergegas lari untuk memastikan bahwa putra putri mereka baik-baik saja, pun Adel. Suara tangisan satu menyebar ke yang lain hingga para guru yang ada di dalam kelas juga mulai panik. Adel melihat Noah juga menangis dengan crayon di tangannya, terlihat jelas bahwa putranya menatap kesal pada seorang anak lain yang tengah diusap tubuhnya oleh seorang guru. Adel tahu putranya membuat masalah tapi baginya anak kecil memang begitu, tidak ada yang fatal kecuali tangisan yang latah dari anak-anak lainnya. Meski Noah menangis namun putranya itu berjalan ke depan dan hendak menyodorkan crayon di tangannya kepada anak laki-laki tersebut tapi seorang wanita yang Adel tahu adalah mama dari anak laki-laki tersebut langsung memeluk putranya dan mendorong bahu Noah hingga anak itu terjatuh dengan bokongnya lebih dulu, tingkah yang memicu sakit hati Adel dan kemarahannya sampai dia menghampiri putranya segera. "Mbak. Ini hanya masalah sepele, masalah anak kecil, jangan keterlaluan!" Menggendong Noah dalam pelukannya dan mendengar bagaimana putranya menangis membuat Adel berdenyut hatinya dan memanas. Dia tidak pernah memperlakukan Noah seperti ini bahkan putranya sangat pengertian hingga Adel tidak pernah membentaknya. "Sepele kamu bilang?? Anak saya sampai nangis kayak gini kok sepele!!" bentaknya dengan mata yang melotot sedangkan Adel masih mencoba mengendalikan dirinya sendiri. "Anak kamu itu didik dia yang bener jangan karena gak punya ayah jadi banyak bertingkah!" Kalimat itu jelas bukan hanya menyakiti Adel tapi juga Noah, dia tidak peduli mereka membicarakannya di belakang, dia juga tidak peduli bagaimana mereka menganggap dirinya tidak satu level atau apa pun karena segala hal yang menyangkut Noah membuatnya jadi seorang yang bisa melakukan hal gila sekalipun. "Mama, mohon maaf tapi Vano yang merebut crayon milik Noah, Noah hanya mengambilnya lagi dan Vano langsung histeris." Di tengah ketegangan itu seorang guru memberi penjelasan yang membuat wanita itu langsung padam wajahnya, matanya bergerak gusar apalagi ketika Adel menatapnya dengan kemarahan yang besar, dia hanya bisa mengalihkan pandangannya kepada putranya menolak bertatapan dengan Adel. Tidak ingin berdebat lebih jauh, Adel meminta tas Noah kepada gurunya dan ijin untuk pulang lebih awal meskipun jam sekolah Noah baru dimulai setengah jam yang lalu. Adel membiarkan putranya berjalan karena Noah sudah berhenti dari tangisnya, putranya itu memeluk leher Adel sebelum tersenyum. Adel bisa gila karena anak sekecil ini mengajarinya berdamai dengan situasi padahal dia tidak. "Mama mau ajak Noah ke suatu tempat, hari ini sekolahnya selesai dulu ya, Nak." Rambut Noah yang kecokelatan menempel di dahinya karena anak itu berkeringat hingga Adel mengusapnya dengan ibu jari dan memastikan tidak ada lagi tangisan di wajahnya. Menatap wanita yang masih berjongkok di depannya sambil memeluk anak laki-lakinya Adel kemudian berkata, "Meminta maaf sepertinya menghancurkan harga diri mbak tapi mbak benar-benar berhutang terhadap saya dan Noah." Rasa malu pasti menghampirinya sekarang tapi Adel mengenal perempuan ini, dia memang memiliki gengsi yang tinggi hingga setiap barang yang Adel miliki selalu menjadi bahan pertanyaannya, Adel tahu namun tidak menganggapnya serius tapi kali ini segala hal yang menyangkut Noah dia tidak bisa terima. "Satu lagi mbak, Noah memang saya besarkan sendiri tapi saya tahu bagaimana mendidik dia menjadi manusia yang baik. Jangan terapkan didikan mbak terhadap anak saya, dia terlalu berharga!" Adel mengajak Noah pergi sedangkan seorang guru yang mengekor di belakangnya berkali-kali mengucapkan maaf karena insiden yang terjadi namun Adel masih diam, dia tidak bisa memproses emosinya sendiri. Jantungnya berdebar sangat cepat hingga telinganya berdengung, Adel tidak suka berdebat dengan siapa pun dia juga tidak pandai melakukannya tapi wajah putranya yang disakiti membuat Adel melampaui apa yang menjadi batasannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD