12

1071 Words
Tanpa mengatakan apapun, Wisnu memundurkan tubuhnya. Pria itu sempat mengumbar smirk tipis yang entah mengapa membuat Aruna seketika merasa merinding. "Lebih baik kau segera tidur, besok pagi jadwal mu akan padat," kata pria itu sambil tersenyum tipis. Tidak ingin terjebak lama-lama bersama Wisnu, Aruna segera melangkahkan kakinya ke arah kamar. Ia melangkah dengan buru-buru hingga tanpa sengaja gadis itu hampir terjatuh karena terpeleset pada anak tangga. Aruna harus bersyukur atau menggerutu sekarang? Wisnu yang melihat dirinya saat hampir terjatuh tadi dengan segera berlari, ia menangkap pinggang Aruna dan membuat jarak di antara mereka menjadi begitu dekat. Bahkan Aruna sendiri bisa melihat mata kecoklatan milik Wisnu juga deru napas pria itu yang memburu. Posisi keduanya juga terbilang cukup ambigu dan terlalu dekat satu sama lain. Yang mana Wisnu sedang memegangi pinggang juga bahu Aruna, yang membuat pria itu seolah-olah tengah memeluk si gadis. Menyadari hal itu, Aruna dengan segera menjauhkan tubuhnya. Keduanya tampak canggung dan memalingkan wajah satu sama lain. Rona merah samar terlihat di wajah Aruna, gadis itu merutuk sendiri atas apa yang sudah terjadi. "Kembalilah ke kamar. Kau… tidak apa-apa, 'kan?" Suara Wisnu yang rendah membuat Aruna menoleh cepat. Ia mengangguk kaku dengan ekspresi awkward. "Ya, aku baik-baik saja. Kalau begitu selamat malam." Dengan gerakan kilat Aruna berlari ke kamar, ia menutup pintu kamarnya cukup keras hingga menimbulkan suara berdebum. "Apa yang baru saja ku lakukan? Kau benar-benar bodoh Aruna!" Di balik pintu, Aruna mengacak rambutnya frustasi. Teringat dengan momen canggung anatara ia dan Wisnu beberapa saat lalu. Sementara itu. Tidak jauh berbeda dengan apa yang dirasakan Aruna. Wisnu yang tengah duduk di sofa ruang tengah hanya bisa menghela napas berat. Ia menengadahkan kepalanya pada badan sofa dengan mata terpejam, kacamata yang sejak tadi terpasang ia lepas dengan perlahan. "Tidak, ini terlalu cepat. Aku tidak bisa seperti ini," gumamnya lirih. Pria itu menghela napas lagi. Kali ini sorot matanya menatap ke arah bingkai foto pernikahannya dengan Diandra yang terpasang di dinding. "Semoga saja keputusan ku benar." Setelah mengatakan hal tersebut Wisnu memilih beranjak. Ia sepertinya perlu mendinginkan otaknya lebih dulu. *** Pagi hari datang. Aruna sudah siap dengan gaun terusan selurut berwarna baby blue. Rambut gadis itu ia biarkan tergerai bebas dengan make up tipis yang menghias wajahnya. Aruna menuruni tangga dengan perlahan. Ia mengernyitkan alis tatkala menyadari rumah yang terlampau sepi pagi ini. "Kemana semua orang? Chandra?" gumamnya sambil menoleh ke sana ke mari. Tidak lama kemudian seseorang muncul dari kamar utama. Ia adalah Wisnu dengan setelan kantor lengkap. Kacamata masih menghiasi hidung pria dengan model rambut coma yang membuatnya tampak begitu tampan. "Kau sudah siap?" tanya nya begitu melihat Aruna. Sedang Aruna sendiri yang sempat terhanyut dalam pesona Wisnu hanya bisa mengangguk kaku. Ia masih belum terbiasa melihat pria itu tersenyum cukup sering. "Ya. Aku hanya perlu menunggu Chandra saja," jawab Aruna. Kekehan kecil Wisnu mampu membuat Aruna mengernyit. Gadis itu bertanya-tanya, apa ada yang lucu dengan jawabannya. "Ikutlah dengan ku. Chandra belum pulang sejak semalam, jadi aku yang akan mengantar mu untuk periksa hari ini." Perkataan Wisnu membuat Aruna mematung, kaget. Apalagi sekarang? Ia akan berangkat ke rumah sakit untuk melakukan pemeriksaan kehamilan bersama Wisnu, setelah insiden semalam? Oh, tidak. Aruna tidak bisa membayangkan akan se awkward apa mereka nantinya. Oh, mungkin hanya dirinya saja. Karena Wisnu tampak biasa saja. Pria itu tidak terlihat canggung atau kikuk, justru sebaliknya. Ia terlihat cukup ramah dan murah senyum pagi ini. "Ayo." Aruna mengerjap, ia kemudian mengekor Wisnu yang sudah lebih dulu berjalan ke luar rumah. Benar saja, suasana dalam mobil begitu hening. Hanya terdengar suara sayup-sayup mesin mobil dan juga kendaraan lainnya. Aruna sibuk mengamati jalanan dari balik jendela. Sebenarnya itu hanya siasat agar ia bisa menghilangkan rasa gugup juga canggung antara dirinya dan Wisnu. "Mau mendengarkan radio?" Suara Wisnu jadi hal yang pertama kali didengar. Aruna hanya menyahut dengan anggukan pelan. Perlahan suara radio mulai terdengar lirih. Sebuah lagu ballad dengan lirik yang mengisahkan perpisahan antar pasangan, namun menyisakan penyesalan pada salah satunya. Mendengar lagu yang terputar di radio, entah mengapa membuat Aruna jadi terdiam. Ia termenung dengan perasaan yang mendadak gelisah. Ia merasa seperti pernah berada di posisi ini sebelumnya. Bukan seperti dejavu, melainkan seperti kenangan lama yang terasa asing namun dekat di hati. "Matikan. Tolong matikan." Wisnu melirik sekilas ke arah Aruna yang tampak murung sebelum kemudian menuruti permintaan gadis itu untuk memastikan radio. "Kau tidak apa? Wajah mu terlihat pucat," tanya Wisnu begitu keduanya sampai di pelataran rumah sakit. Aruna menggeleng, ia juga tidak tahu kenapa dengan dirinya saat ini. Sesaat kemudian keduanya turun, namun begitu hendak masuk ke dalam rumah sakit langkah Aruna terhenti. Ia menatap bagunan berlantai itu dengan tatapan yang sulit diartikan, lalu sesaat kemudian gadis itu oleng dan hampir saja terjatuh jika saja Wisnu tidak dengan segera meraih tubuhnya. "Kau benar-benar tidak apa?" "Bisakah, kita pergi dari sini? Aku mendadak tidak nyaman. Sungguh." Meski merasa aneh dengan permintaan Aruna, tetapi Wisnu tetap menurutinya. Pria itu membawa masuk Aruna ke dalam mobil dan melajukan nya keluar dari area rumah sakit. Dalam perjalanan yang entah bertujuan ke mana, Aruna juga Wisnu hanya terjebak dalam diam. Sesekali Wisnu melirik ke arah Aruna yang masih saja diam menatap jalanan dengan kepala tertumpu di jendela. Tatapan gadis itu satu juga kosong, ia terlihat begitu berbeda dengan dirinya pagi tadi. Dan jujur saja hal itu cukup mengusik Wisnu untuk sekarang ini. "Minumlah, kau tampak begitu pucat." Wisnu memberikan satu botol air mineral pada Aruna. "Kau punya tujuan?" "Tidak ada." "Bagaimana jika kita ke cafe langganan ku. Ku dengar makanan manis bisa memperbaiki mood jelek menjadi bagus." Aruna hanya mengangguk saja menerima tawaran Wisnu, ia bahkan tidak merasa aneh dengan sikap pria itu yang berubah begitu drastis. Waktu yang mereka tempuh untuk sampai di cafe yang Wisnu maksud tidak lama. Saat ini keduanya sudah duduk berhadapan dengan coklat hangat di tangan masing-masing. Sudah hampir lima menit tapi tidak ada diantara mereka yang kunjung membuka suara, sampai kemudian hela napas Wisnu jadi hal pertama yang didengar. Aruna mendongak, dan hal itu membuat Wisnu agak terkejut. "Ah, maaf. Aku tidak berusaha untuk menganggumu, kok." Kesunyian kembali meliputi keduanya sampai kemudian terdengar sebuah sapaan. "Wisnu?" Seorang wanita cantik dengan pakaian berwarna cream menghampiri keduanya. Ia memakai tas jinjing dengan merek terkenal juga kacamata yang berada di tangannya. "Celine." Wanita yang dipanggil Celine itu berjalan ke arah mereka, ia juga sempat melihat ke arah Aruna dengan tatapan kurang mengenakan. Seperti tatapan mengejek. "Mana Diandra, dan siapa dia? Kamu nggak lagi selingkuh, 'kan?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD