11

1066 Words
Melihat bagaimana raut wajah Wisnu yang dingin, membuat Aruna dan Chandra saling bertatap selama beberapa detik. "Kami baru saja berbelanja bahan makanan di pasar," jawab pria itu enteng. Ia kemudian menggandeng salah satu tangan Aruna dan mengajak gadis itu masuk ke dalam, mengabaikan Wisnu yang masih terdiam di tempatnya. "Apa tidak apa? Maksud ku, mengabaikan Wisnu," ujar Aruna begitu keduanya sampai di dapur. Chandra yang tengah mengeluarkan belanjaan mereka terhenti, pria itu menatap sebentar ke arah Aruna dan tersenyum. "Tidak masalah. Jika ia melakukan sesuatu atau bertindak tidak menyenangkan, kau bisa melaporkannya padaku," jawab Chandra. "Lebih baik sekarang kau bantu aku memasak saja, kau harus merasakan masakan ku," ucap Chandra berusaha mengalihkan topik. Aruna tersenyum. Baru saja ia akan meraih pisau, suara Wisnu lebih dulu menginterupsi. "Aruna, ikut saya sebentar." Pria itu hanya berkata sekali, kemudian ia melangkah pergi meninggalkan area dapur dengan wajah dinginnya. Melihat hal itu, Aruna hanya bisa menurut. Ia mengikuti Wisnu yang rupanya sudah berada di taman belakang, pria itu duduk di sebuah kursi dengan dua tangan tersilang di depan d**a. Dengan hati-hati Aruna mendudukkan diri pada kursi di sebelah Wisnu, keduanya kini hanya terhalang sebuah meja berbentuk bundar yang berada di tengah-tengah. Keadaan hening selama beberapa menit, sampai kemudian Aruna menberanikan diri untuk bertanya. "Ada apa Tuan memanggil saya ke mari?" Memang, jika hanya berdua dengan Wisnu, Aruna masih memanggilnya dengan panggilan Tuan beberapa kali. Ia masih saja merasa canggung. "Wisnu. Panggil saja aku Wisnu," sahutnya tanpa menoleh. Dua bola matanya sibuk mengamati sebuah pohon yang berada di halaman belakang, sebuah pohon berukuran besar dengan daun dan dahan yang membuatnya tampak begitu rindang. "Ada hal yang ingin saya tanyakan padamu." "Apa?" Ada sesuatu yang dirasakan Aruna saat Wisnu menoleh. Sesuatu yang terasa menghantam dadanya, seperti memberontak, menyeruak ingin dikeluarkan dengan segera. "Apa kau pernah tinggal di perumahan Asih?" Alis Aruna menukik, ia mengamati wajah Wisnu yang nampak begitu serius. Dan lagi, kenapa pria itu menanyakan komplek tempatnya tinggal dulu? "Ya. Saya tinggal di sana saat masih kecil hingga berusia dua belas tahun," jawab Aruna. Wisnu hanya menganggukkan kepalanya. Pria itu kemudian membuang muka lagi dan mengatakan pada Aruna bahwa ia bisa kembali melakukan apa yang sebelumnya tertunda. "Aneh," gumam Aruna sambil beranjak menuju dapur. Ia menghampiri Chandra yang sudah mulai sibuk mencuci bahan makanan laut juga beberapa sayur lainnya. "Apa yang Wisnu tanyakan padamu?" tanya pria itu begitu Aruna mendekat. "Bukan apa-apa, hanya sesuatu yang tidak penting. Ku rasa," jawabnya dengan suara mengecil di akhir kalimat. Chandra sempat menghentikan aktivitas nya, ia menoleh dan menatap lekat Aruna selama beberapa waktu sebelum kemudian gadis itu sadar dengan apa yang sedang dilakukannya. "Kenapa? Ada sesuatu di wajah ku?" "Tidak." Chandra kembali sibuk dengan kegiatannya, mengabaikan Aruna yang terlihat tidak yakin dengan jawaban pria itu sendiri. *** Sore hari menjelang. Tiga orang dewasa berkumpul di meja makan dengan suasana canggung. Makan siang yang sudah sangat terlambat, dan makan malam yang masih terlalu awal. Aruna berada di antara dua pria yang hanya saling diam tanpa mengatakan apapun sejak tiga menit lalu. Selepas selesai memasak, Aruna memutuskan untuk membersihkan diri sebelum kemudian bergabung di meja makan. Namun ada yang aneh dengan atmosfer diantara Chandra juga Wisnu. Jika pada saat ia naik ke lantai dua guna membersihkan diri, ia masih melihat jika dua pria tersebut baik-baik saja. Tetapi anehnya begitu dirinya kembali, dua orang tersebut hanya saling diam layaknya dua orang yang tengah terlibat perang dingin. Seorang bibi asisten rumah tangga datang membawa beberapa gelas berisi air, sempat terjadi kontak mata antara Aruna dan Bibi asisten rumah tangga. Begitu sang asisten rumah tangga mendekat ke arah Aruna, dengan gesit Aruna berbisik. "Bi, apa yang terjadi pada mereka?" tanyanya sambil melirik ke arah Chandra juga Wisnu. Belum sempat bibi asisten rumah tangga menjawab, deheman keras dari Wisnu mampu mengalihkan perhatian semua orang. "Terima kasih untuk makanannya," ucap pria itu sebelum kemudian mulai menyendok makanan di hadapannya. Sepertinya ia sengaja melakukannya demi mengalihkan perhatian Aruna. "Saya permisi." Setelah Bibi asisten rumah tangga undur diri, suasana diantara mereka bertiga kembali hening. Hanya terdengar suara peralatan makan yang sesekali terdengar saling beradu. Chandra yang duduk di hadapan Aruna berdehem, pria itu tersenyum ke arah si gadis sebelum berbicara. "Besok kita akan berangkat jam 9, tapi sebelum itu aku ingin mengajakmu ke suatu tempat. Jadi kita akan berangkat lebih awal," katanya dengan ceria, seolah-olah tidak pernah terjadi apapun sebelumnya. Aruna hanya mengangguk dan tersenyum tipis, matanya sempat melirik ke arah Wisnu yang duduk di ujung kanan. Tempat di mana biasanya kepala keluarga duduk. Entah mengapa, Aruna merasa ada sesuatu yang lain. Ia tidak tahu apa itu, yang jelas ia merasa jika antara ia dan Wisnu terdapat sesuatu yang bahkan ia sendiri tidak tahu apa itu. Aruna mengalihkan pandangannya dengan segera, sesaat setelah Wisnu menoleh ke arahnya dan menatapnya dengan tajam. Gadis itu merasa jika detak jantungnya kini berdebar dua kali lebih cepat dari biasanya. Malam menjelang, Aruna menuruni anak tangga dengan lemas. Ia baru saja terbangun dari tidurnya dan merasa kehausan. Saat Aruna tengah menuang segelas air dingin, tanpa sengaja ia menangkap atensi Wisnu yang juga masuk ke dapur. Pria itu memegang sebuah cangkir dengan tatapan terkejut. "Belum tidur?" tanya Aruna gugup. Ia hanya mencoba untuk berbasa-basi agar tidak merasa canggung. "Hem." Deheman singkat yang berasal dari Wisnu. Pria dengan kaos lengan pendek berwarna hitam juga celana bahan berwarna abu-abu itu berjalan ke arah pantry dan membuat segelas kopi. Ia nampak begitu berbeda saat mengenakan pakaian santai seperti sekarang, terlebih kacamata yang bertengger di hidung mancung nya membuat pria itu lebih terkesan tenang juga pendiam. "Kau tidak bertanya?" tanya Wisnu di sela-sela aktivitas nya. Aruna yang sudah selesai dengan keperluannya hanya bisa menunjukkan ekspresi bingung. Bertanya? Soal apa? "Alasan ku menginap, atau mungkin … soal Chandra." Perkataan Wisnu membuat Aruna kian kebingungan, ia bahkan menggaruk tengkuk sesekali. "Ada sesuatu di sini yang tidak bisa ku temukan di rumah. Dan untuk Chandra, pria itu harus melakukan sesuatu yang sebenarnya memang ingin ia lakukan sejak lama," jelas Wisnu sambil mendekatkan diri pada Aruna. Membuat gadis itu mendelik dan mulai memundurkan tubuhnya, menghindari Wisnu. Namun sial bagi Aruna, tubuhnya kini terhimpit diantara tubuh Wisnu dan tembok dapur. Membuatnya tidak bisa pergi kemanapun. "Bisa minggir sedikit, ku rasa ini terlalu dekat." Seolah tuli, Wisnu tidak mengindahkan perkataan Aruna. Pria itu tidak juga beranjak, melainkan mengamati wajah sang gadis dari jarak dekat. Memperhatikan tiap inci bagian dari wajah Aruna dan memperhatikannya dengan lekat. "Memang benar. Ku temukan."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD