10

1140 Words
Aruna hanya diam menyimak. Tiga orang di sekitarnya terus saja membahas sesuatu yang tidak dirinya mengerti. Tapi meski begitu Aruna tetap mendengarkan apa yang tengah mereka katakan. "Jadi, bagaimana Aruna?" Pertanyaan Chandra membuat Aruna terkejut. Gadis itu hanya terdiam dengan bola mata yang membola. Sejujurnya ia tidak tahu dengan apa yang baru saja ditanyakan oleh Chandra. Ia terlalu sibuk melamun, tenggelam dengan isi kepalanya sendiri. "Karena kau sudah menyetujui kerja sama dengan Wisnu, ku harap kau bisa melakukannya dengan sepenuh hati. Juga berjanji untuk menjaga rahasia ini dari siapapun. Aku mempercayai mu." Aruna menatap Diandra yang tengah menggengam tangannya dengan erat. Entah, meski senyum wanita itu terlihat begitu tulus tapi Aruna merasa ada sesuatu yang lain. Ia merasa sesuatu yang janggal tapi ia sendiri tidak tahu apa itu. "Begini, mulai besok kau akan menjalani prosedur kehamilan. Aku akan mengantarkan mu," ucap Chandra kemudian. "Tiba-tiba?" tanya Aruna kaget. Alis Wisnu menukik, dua tangan yang ia lipat di depan d**a membuatnya nampak seperti tokoh dingin dalam drama. "Kau tidak menyimak perkataan kami tadi, ya?" tebak Chandra. Dengan perasaan kikuk juga senyum canggung, Aruna tertawa kecil. Ia mengakui secara tidak langsung jika saat menyimak tadi ia tidak terlalu fokus dan justru lebih banyak melamun. "Jadi kau akan menjalani beberapa prosedur kehamilan seperti apa yang ku katakan tadi. Selain itu menjaga rahasia kerja sama adalah tanggung jawab dari kita semua, tidak ada yang boleh memberitahu siapapun untuk alasan apapun. Dan yang terpenting tidak boleh ada rasa ketertarikan baik dari dirimu ataupun Wisnu. Karena mau bagaimanapun juga, Diandra memiliki andil dan dengan penuh kesadaran turut serta di kerja sama ini." Mendengar penjelasan Chandra, Aruna hanya mengangguk. Itu bukanlah hal besar, pikirnya. "Hanya itu?" tanya nya. Chandra mengangguk, pria itu tersenyum lagi ke arah Aruna. Yang entah kenapa membuat gadis itu kembali merasa kikuk sendiri. Pandangan semua orang teralih pada Wisnu yang tiba-tiba berdiri. Pria itu masih saja mempertahankan wajah dingin juga tidak bersahabat nya. "Ayo." Baik Chandra, Aruna maupun Diandra saling bertukar pandang. Entah pada siapa kata-kata Wisnu ditujukan. "Maksud ku, Diandra. Aku akan kembali mengantar mu ke studio," sahut Wisnu kemudian. Wanita yang disebut namanya itu mengernyitkan dahi. Ini tidak seperti Wisnu yang ia kenal, sekalipun pria itu memang mencintainya tapi ia takkan mau untuk menunjukkan perhatiannya secara terang-terangan di depan orang lain. Ia mungkin akan berubah manja dan sedikit bucin jika hanya berdua dengan sang istri. Tapi pria itu juga akan bersikap terbalik saat ada orang lain selain dirinya dan Diandra. Sekalipun itu orang tua mereka sendiri. "Tidak perlu, pemotretan ku hari ini batal. Aku akan pulang saja, sepertinya aku butuh istirahat," ucap Diandra sebelum beranjak dari sofa. Keadaan sempat hening sejenak, Wisnu masih berdiri di sana sebelum beberapa second setelahnya pria itu juga turut beranjak menyusul sang istri. Tinggalah Aruna dan juga Chandra. Pria dengan pemilik mata sipit itu tersenyum kepada Aruna lantas berdiri, ia juga mengulurkan satu tangannya ke arah sang gadis dengan riang. Aruna yang kurang paham dengan maksud Chandra hanya terdiam. Namun saat ia melihat senyum Chandra, dirinya meraih tangan itu tanpa ragu. Entahlah. Tapi tiap kali melihat raut wajah cerah Chandra membuat hati Aruna menghangat. Pria itu selalu memancarkan aura positif yang membuatnya turut merasakan aura tersebut. "Kita mau ke mana?" tanya Aruna begitu keduanya memasuki mobil Chandra. "Ke suatu tempat. Aku yakin kau pasti merasa bosan tinggal di rumah," jawabnya yang kini sibuk memakai sabuk pengaman. Memang, Aruna mulai merasa bosan juga suntuk berada di rumah. Tidak ada yang bisa ia lakukan selain makan, tidur dan melamun. "Apa tidak apa? Bukankah aku dilarang keluar tanpa seijin mu ataupun Wisnu?" Chandra terkekeh, pria itu menoleh ke arah Aruna dan memandangi gadis itu sejenak. Apa yang dilakukan Chandra kemudian membuat jantung Aruna berdebar kencang. Chandra mencondongkan tubuhnya ke arah Aruna, masih dengan senyum yang tersemat indah pada wajah tampannya. "Kau 'kan pergi denganku. Jadi tidak ada masalah." Chandra berbicara pelan dengan suara yang terdengar lembut. Jarak antara mereka yang terbilang cukup dekat membuat Aruna bisa melihat dengan jelas bagaimana iris coklat gelap juga mata indah milik Chandra menghilang tatkala pria itu tersenyum padanya. "Sudah. Lain kali pasang sabuk pengaman mu dengan benar." Aruna menghela napas lega saat tubuh Chandra menjauh. Ia dengan segera menoleh ke arah sabuk pengaman yang menempel di tubuhnya. "Ter-terima kasih," ucapnya tergagap. Lagi-lagi Chandra terkekeh. "Kau kenapa, gugup sekali?" "Tidak. Aku tidak apa-apa, cepat jalankan saja mobilnya." Terdengar sekali lagi kekehan yang berasal dari Chandra. Pria itu kemudian dengan enteng mengangkat satu tangannya, meletakkannya di atas kepala Aruna dan mengusapnya dengan lembut. Tindakan sederhana yang sanggup membuat jantung Aruna memompa dua kali lipat. Ia menoleh ke arah Chandra dengan wajah merah padam layaknya udang rebus. "Lucu." "Apa?" Chandra menggeleng, ia kemudian melajukan mobil dengan tenang. *** Perjalanan yang dilakukan Chandra dan Aruna tidak memakan waktu lama. Sekitar lima belas menit keduanya sudah sampai di tujuan. Sebuah pasar tradisional. "Kau yakin ini tempatnya?" Aruna bertanya dengan nada tidak yakin. Omong-omong gadis itu sudah merasa nyaman untuk berbicara secara informal dengan Chandra. Pria itu mengatakan untuk menganggapnya sebagai teman lama agar mereka tidak merasa canggung satu sama lain. "Ya. Ayo masuk," ajak Chandra sambil menggandeng tangan Aruna. Keduanya berjalan ke arah pasar tradisional, melihat-lihat ke arah beberapa stand penjual sayur juga makanan laut. "Kau mau makan apa?" tanya Chandra saat keduanya tengah berada di depan stand makanan laut. "Apa saja selain kacang-kacangan." "Kau alergi kacang?" "Tidak. Hanya saja setelah memakan kacang aku akan merasa kurang nyaman di tenggorokan dan itu cukup menganggu." Chandra mengangguk, ia kemudian membeli beberapa bahan makanan seperti udang, kerang dan cumi-cumi. "Sekarang saatnya membeli sayuran. Oh, ada sesuatu yang ingin kau beli? Aku merekomendasikan untuk membeli jajanan pasar. Meski murah dan terkesan jadul tapi rasanya bener-bener enak," ucap Chandra dengan semangat. Kini giliran Aruna yang terkekeh, ia benar-benar merasa terhibur dengan sikap jenaka Chandra. Setelah menghabiskan waktu di pasar, keduanya kembali dengan beberapa bahan makanan. Chandra menata semuanya di bagasi, sementara Aruna baru saja kembali dengan dua gelas es cendol. "Ini," Aruna memberikan segelas es cendol pada Chandra. Keduanya memilih untuk duduk sejenak di depan sebuah toko. Sembari menikmati segarnya es cendol keduanya berbincang ringan. "Kau bisa memasak?" buka Aruna. Chandra mengangguk, pria itu dengan cepat menelan es yang ada dalam mulutnya dan berbicara. "Ya. Meski tidak terlalu jago tapi aku bisa membuat kan mu makanan yang enak," sahutnya. "Eh, kau mau memasak untukku?" "Tentu saja, kau pikir kenapa tadi aku mengajak mu untuk membeli bahan makanan?" "Ku pikir kau hanya ingin mengajakku keluar supaya aku tidak merasa suntuk." "Pokoknya nanti kau harus membantuku memasak," pinta Chandra. "Iya, iya. Siap, Kapten!" Keduanya tergelak, dan tidak lama setelahnya memutuskan untuk kembali karena hari yang sudah semakin siang. Sesampainya mereka di rumah, keduanya membagi tugas dengan membagi dua barang belanjaan untuk dibawa. Namun saat mereka baru saja membuka pintu utama, kehadiran Wisnu yang tengah duduk sambil menyilangkan kaki juga tangan menarik perhatian. "Darimana saja kalian?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD