-3-

4692 Words
3. Ayahku baruku malah sangat setuju dengan keinginanku itu. Dia menggendongku sesuai dengan arahanku. Aku mengarahkan ayah ke rumah besar yang berdiri megah di ujung gang. Ayahku menurunkanku. “Kamu ingin meledakkan rumah ini sekaligus atau bagaimana?” Ayahku bertanya dengan rasa kagum. Mungkin dia merasa kalau aku sudah mulai terbiasa dengan kebiasaannya itu. “Aku ingin bermain-main terlebih dulu dengan mereka, Ayah. Tentunya dengan jubah transparan yang membuat kita tidak kelihatan ini.” Aku tersenyum dan menggandeng tangan ayah masuk ke dalam rumah megah itu. Ketika aku tengah sibuk mencari gagang pintu. Ayah menggelengkan kepala. Katanya kalau sudah memakai jubah ini tidak perlu mencari gagang pintu atau membuka pintu untuk bisa masuk ke dalam. Hanya perlu sedikit trik untuk bisa menembus pintu yang ada di depan kami. Ayahku mencotohkannya. “Dengan berjinjit dan sedikit mengangkat jubah ini, kita bisa menembus pintu ini.” Ayah melegang menembus pintu tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. Aku terperangah dan menggelengkan kepala karena merasa takjub. “Giliran aku yang mencobanya, Ayah.” Aku berjinjit dan sedikit mengangkat jubahku. Dengan pelan-pelan aku berjalan seperti hendak menabrakkan diri pada pintu itu. Ternyata aku langsung tiba di dalam ruangan rumah megah ini. Ayahku tersenyum ketika melihat aku berjingkrak-jingkrak senang. Kami berdua tos karena sudah berhasil menembus pintu rumah milik orang kaya itu. “Sekarang giliran mengerjain mereka, Ayah.” Aku cekikan dan memasang wajah jahat. “Hihi. Kasih pelajaran saja mereka sesukamu, Nak.” Ayah menepuk pundakku yang lagi merasa menjadi orang paling bahagia sedunia. Aku mengangguk dan menuruti Ayah. Karena rumah ini begitu luas, kami sempat kebingungan. Mau masuk ke ruangan mana terlebih dulu. Malam-malam begini, tidak mungkin mereka sedang bermain di halaman belakang. Tidak mungkin pula sibuk memasak di dapur karena penerangannya sudah tidak ada. “Mungkin kamarnya ada di lantai atas, Nak. Ayo ke sana.” Ayah menekan tombol istimewa itu. Begitu pula denganku. Kami pun terbang bersamaan. Kami tiba di ruangan keluarga. Di sana banyak sekali mainan anak yang masih berceceran. Ruangan itu dilengkapi dengan karpet mahal dan TV Led yang diletakkan di atas meja. Kami terbang menelusuri ruangan itu hingga menemukan sebuah ruangan yang berisikan banyak pintu. “Pasti mereka sedang tidur di salah satu kamar ini.” Aku menunjuk pintu-pintunya. Ayah memintaku untuk menekan tombol istimewa agar kami bisa turun. “Coba aku dengarkan. Biasanya mereka kalau tidur mendengkur. Jarang sekali kalau anaknya yang mendengkur.” Ayah mendekatkan telingannya pada pintu-pintu itu. Pada pintu terakhir yang berada paling ujung, ayah memberi isyarat padaku agar mendekat. Aku berjalan setengah berlari ke sana. Ayah menunjuk kamar itu. “Kamu dengarkan suara dengkuran mereka?” Ayah tersenyum jahat. “Iya dengar, Ayah. Keras sekali suaranya.” Aku cekikikan mendengar suara dengkuran mereka yang terdengar lucu di telinga. Ayah berjinjit dan menaikkan sedikit jubahnya lalu masuk menembus pintu kamar. Karena saking tidak sabarnya, aku langsung menabrak pintu begitu saja tanpa melakukan triknya. Kepalaku terbentur dan menimbulkan suara keras. “Siapa di sana?” Sepertinya pemilik rumah ini bangun. Aku segera menepi ke pinggir untuk mengusap-usap kepalaku yang masih sakit. Ternyata benar mereka bangun dan langsung mengecek siapa yang mainan pintu mereka malam-malam. Sang istri terkejut ketika membuka pintu dan tidak menemukan siapa-siapa di sana. Jubah transparan yang aku kenakan memang sangat membantu. “Aneh. Tidak ada orang sama sekali.” Sang istri menggeliat. Mungkin sekujur tubuhnya merinding karena tidak menemukan siapa-siapa di luar kamarnya. Padahal jelas sekali itu suara seperti pintu ditabrak. Sebelum pintu tertutup sempurna, aku sempatkan untuk menyelinap masuk. Aku mencari Ayah. Ayah menggeleng sembari cekikikan melihat keningku yang agak menonjol. “Kok bisa kamu menabrak pintunya sampai benjol kayak gitu?” Ayah tidak kuasa menahan tawanya yang mengandung ejekkan. “Aku kelupaan melakukan triknya. Sehingga mau tidak mau aku menabrak pintu itu hingga kepalaku benjol.” Aku menggerutu kesal. Sudah sakit masih saja diejek sama ayah. Ayah menenangkanku dan memperlihatkan orang kaya yang tengah sibuk berdebat soal pintu tadi. Melihat mereka berdebat soal pintu sejenak melupakan benjolan yang datang tanpa aku undang itu. “Mana ada hantu di rumah ini? Kita kan sudah memanggil orang-orang untuk berdoa sebelum menempati rumah ini. Masak masih ada hantu?” Si suami tidak mempercayai hal-hal mistis yang istri utarakan. “Nyatanya aku mendengar sendiri. Pintu itu seperti ditabrak orang. Tapi waktu aku buka, tidak ada siapa-siapa.” Muka sang istri menebal karena suaminya tidak mau mendengar curahan hatinya perihal suara pintu tadi. “Mungkin kamu mengigau sampai-sampai terasa seperti nyata, Sayang.” Sang suami kembali tidur. Dia tarik selimutnya ke atas. Sang istri menggertu sendiri lalu ikut tidur juga. Aku dan Ayah mempunyai ide. Sebelum membunuh mereka, sebaiknya menakuti-nakuti mereka seolah rumah ini memang benar ada setannya. “Ide bagus anakku yang manis sendiri.” Ayahku setuju sembari mencubit pipiku dengan manja. “Coba sekarang Ayah hidupkan lampunya. Mumpung mereka belum tertidur pulas.” Aku cekikikan dan meminta Ayah untuk menghidupkan lampu kamar. Lampu itu menyala sendiri. Sang istri gelagapan melihat lampu itu mati dan hidup sendiri. Tangannya mencoba meraih badan suaminya. “Sayang. Sayang. Coba lihat lampu itu.” Suara sang Istri terbata-bata ketika hendak membangunkan suaminya. Sang suami tidak mau bangun. Dia hanya berdehem lalu kembali  tidur. Sang istri semakin panik. Dengan sekuat tenaga dia membangunkan suaminya. “Apa sih? Kenapa lagi?” Suaminya membentak sang istri. “Lihat tuh lampunya. Mati, hidup, mati, hidup begitu terus, Sayang.” Sang Istri mencoba bersembunyi di balik selimut. Suaminya mengamati dengan saksama lampu kamarnya. Tetapi tidak menunjukkan apa-apa. Dia semakin kesal karena sudah dipermainkan istrinya. “Lampu mati terus dibilang mati hidup sendiri.” Suaminya menggerutu kesal dan kembali tidur. Sang istri merasa aneh. Apa hanya dia yang bisa melihat kejadian aneh di kamarnya malam ini. Suaminya sejak tadi tidak bisa melihat. “Ayah memang pandai.” Aku mengacungkan dua jempol karena merasa senang. Mereka berhasil termakan kejahilan kami. “Lagi Ayah yang lebih seru.” Aku setengah berteriak. Ayah mengangguk-angguk. Ketika Sang istri masih kebingungan, tiba-tiba buku yang tergeletak di meja rias terbang sendiri. Aku tertawa terpingkal-pingkal melihat ekspresi dari Sang istri yang heran sekaligus takut. “Nah setannya mulai lagi. Nanti kalau aku bangunin suamiku marah lagi.” Sang istri terjebak dalam kebimbangan. Dia benar-benar ketakutan tetapi karena kejadian tadi, dia tidak berani membangunkan suaminya. Wajahnya dilumuri ketakutan yang maha dahsyat. Sempat dia melirik pintu itu berkali-kali. Mungkin dia ingin lari saja dari kamar ini dan menghindari setan itu. “Apa aku lari saja ya? Mengandalkan suami pasti dia marah lagi gara-gara ini.” Sang istri bertopang dagu. Buku itu ayah dekatkan ke wajah sang istri. Dia terperanjat karena saking takutnya. Tanpa berpikir lagi, dia akhirnya lari keluar. Aku tertawa bahagia melihat dia ketakutan seperti itu. “Ayah ayo kita kejar dia.” Aku menarik Ayah agar mau mengikutinya. “Sekalian saja kita takuti sampai dia mati.” Ayah tersenyum jahat dan menurut saja ketika aku menariknya. Sang istri menuruni tangga dengan tergesa-gesa. Sesekali dia menengok ke belakang memastikan apakah hantunya masih ada atau sudah pergi. Senang sekali aku mengerjai orang kaya yang gemar membuat onar dan merendahkan orang-orang miskin. “Dia itu waktu datang ke rumahku yang dulu, selalu menghina. Katanya rumah kami bau, jorok dan tidak pantas disebut hidup. Mendengar itu hatiku ngilu, rasa-rasanya aku menusuk perutnya dengan pisau. Tetapi orang tuaku yang bodoh itu malah melarangku.” Aku meremas-remas tanganku sendiri. “Lah kenapa orang tuamu yang bodoh itu melarang?” Ayah bertanya penasaran di tengah-tengah berlari. “Katanya dari orang kaya kita bisa makan dan hidup. Dalam hatiku mana sudi aku mengemis dan harus rela dihina seperti itu untuk makan. Mending merampok atau membunuh orang.” Aku meludah ke kanan karena merasa jijik ketika mengingat kembali peristiwa itu. “Aku setuju denganmu. Kita tidak boleh mengemis atau sampai rela menjual harga diri hanya untuk makan.” Ayah menepuk pundakku. Aku mengangguk. Kini kami masih berfokus mengejar sang istri. Dia sepertinya berlari di dapur. Aku mengajak Ayah untuk masuk ke dalam dapur. Dugaanku benar. Sang istri sedang memegang pisau. Pisau itu dia acungkan seperti orang yang hendak menyerang. “Hayo kalau berani kalian maju. Akan aku tusuk kalian. Dasar setan tidak berguna. Aku ini orang kaya. Tidak sopan menakut-nakuti orang kaya. Seharusnya yang kalian takut-takuti orang miskin karena hidupnya tidak pernah berguna.” Masih saja dia merendahkan orang miskin di saat hidupnya terdesak. “Ayah dengar sendiri kan tadi? Itu belum seberapa. Waktu benar-benar bikin ngilu hati.” Aku meringis kesal mendengar dia bicara seperti. “Memang sih orang-orang seperti ini harus dibunuh atau kalau tidak kita mutilasi saja.” Ayah juga tampak ikutan geram. Dia ingin maju dan langsung membunuhnya. Aku menahannya. Ayah sempat bertanya tetapi aku katakan aku ingin melihat dia mati karena rasa takut. Biar tahu rasa bagaimana mati karena rasa takut. “Kalau langsung kita bunuh. Dia belum sempat merasakan apa rasanya ketakutan yang teramat menakutkan, Ayah. Biarkan saja dia mati karena rasa takutnya. Tugas kita hanya menakut-nakutinya.” Aku mencoba menjelaskan pada Ayah sedetail mungkin. “Benar juga ya. Baiklah biar Ayah saja yang mengerjainya lagi.” Ayah berjalan mendekat ke tempat cucian piring. Di sana Ayah langsung menghidupkan airnya. Sang istri terkejut. Pisau di tangannya refleks dia ayunkan tepat di tubuh Ayah. Mungkin kalau tidak menggunakan jubah ini Ayah akan mati. “Di mana kalian? Masih saja nekad nakut-nakutin ya?” Sang istri sebenarnya sudah semakin ketakutan. Bibirnya bergetar dan tubuhnya agak menggigil tetapi dia berani-beranikan untuk melawan. Ayah berjalan ke rak piring. Dia ambil satu piring dan dia bawa tepat di hadapan wajah Sang Istri. Dia kaget dan refleks memukul piring itu hingga terjatuh. “Sialan. Maunya kalian apa ha?” Sang istri panik ketika mendengar suara pecahan piring yang dia jatuhkan sendiri. Kini giliran gelas. Ayah mengisi gelas itu dengan air putih. Sang istri berjalan pelan-pelan mencoba mendekati Ayah. Ketika berdiri tepat di belakang Ayah, Ayah seketika menyiram wajahnya dengan air yang ada di gelas itu. “Aduh. Hap. Hap. Sialan.” Sang istri gelagapan karena air itu tepat terkena di wajahnya. Aku tertawa terpingkal-pingkal melihat ekspresi Sang istri yang gelagapan itu. Ide Ayah untuk menyiram wajahnya tidak pernah aku pikirkan sebelumnya. “Bagus, Ayah. Terima kasih sudah membuatku tertawa terus.” Aku memuji Ayah di sela tertawaku yang masih belum mau berhenti. Tanganku memegangi perutku yang mengeras karena terlalu tertawa. “Masih ada lagi, Nak. Tenang saja malam ini kita takuti mereka sampai mati.” Ayah tertawa kecil. Tawanya mengandung kejahatan yang tidak bisa diampuni. Sang istri masih sombong. Dia malah berkuda-kuda dan menantang kami. Ayah mengambil garam kristal yang berukuran kecil. Dia sibuk membidik kepala Sang istri. Ketika sudah tepat Ayah melempar garam itu dan mengenai kening Sang istri. “Aduh. Kenapa pakai main lempar garam sih. Harusnya aku yang melempari kalian garam. Kan setannya kalian.” Sang istri meringis kesakitan sembari memegangi keningnya. Ayah dan aku cekikian. Belum sampai di situ, Ayah juga memelorotkan celana Sang istri. Dia menjerit-jerit ketakutan dan menarik celananya. “Aduh. Kenapa pakai memelortkan celana sih. Mau apa kalian setan.” Sang istri semakin ketakutan. Ayah mengambil kertas dan menuliskan sesuatu di kertas itu. “Mau aku tidurin dan punya anak setan?” Tulisan itu dibaca Sang istri dengan agak keras. Usai membacanya Sang Istri berteriak-teriak histeris. Dia pun lari dari dapur. Tetapi ketika hendak berlari Ayah memasang alat pel tepat di depan pintu dapur. Sang istri panik. Dia berteriak memutari dapurnya sendiri sembari memegangi kepalanya. Terakhir karena tidak tahu lagi apa yang harus dia lakukan, dia mengambil pisau yang tadi pegang lalu menusuk perutnya sendiri. Darahnya memuncrat dan berceceran di lantai. “Ayah kita berhasil. Dia malah bunuh diri karena ketakutan.” Aku tertawa dan mengajak Ayah tos. “Biasanya orang kaya itu sering memikirkan gengsi. Jadi ditakuti-takuti akan mempunyai anak dari setan dia sangat takut dan memilih bunuh diri ketimbang menanggung malu seumur hidup.” Ayah cengingisan tanpa berdosa. “Mantap sekali, Ayah. Kini giliran suaminya.” Aku mengajak Ayah untuk kembali ke kamar orang kaya tadi. Ayah mencari cara agar si suami ini mau memperhatikan tingkahnya. Menakuti-nakuti si suami tidak semudah menakuti-nakuti sang istri. Karena suami tidak percaya dengan hal-hal semacam itu. “Bagaimana? Apa langsung kita bunuh saja, Nak?” Ayah kebingungan. Aku meminta Ayah membangunkannya dan menulis di kertas kalau istrinya sudah mati. Ideku diterima Ayah. Dengan sekuat tenaga, Ayah membangunkan sang suami. Awalnya sang suami mengira yang membangunkannya adalah istrinya. “Apa lagi?” Ketika dia bangun dan tidak mendapati istrinya di sana, dia langsung beranjak dari tempat tidur dan lari. “Lah dia malah lari, Ayah.” Aku menepuk jidatku. Rencana yang sudah kami susun berantakan. Kami mengikuti sang suami yang berlari terbirit-b***t. Aku terkejut karena dia malah keluar dari rumahnya dan belari sekencang-kencangnya. “Dia mau ke mana ya, Ayah?” Aku terheran-heran dan terus berlari mengejarnya. “Ayah juga tidak tahu. Kenapa dia malah pergi dari rumahnya.” Ayah menggelengkan kepala. Sang suami terus berlari tanpa melihat sekitarnya. Namun ketika hendak menyebrang ada truk lewat. Truk itu nyaris menabraknya tetapi dia masih bisa menghindar dengan melompat. “Ayah sudah gemas melihat ulahnya.” Ayah tanpa meminta izin padaku langsung membunuh sang suami dengan menusuknya menggunakan pecahan beling.   4. Kami akhirnya tiba di markas aparat setelah berhasil membunuh pasangan suami istri kaya tadi. Ayah yang kini akan bermain. Dia ingin memperlihatkan aksinya padaku terlebih dulu. Baru nanti giliran aku. “Coba lihat ini.” Dengan tangan yang tidak terlihatnya, ayah mencekik salah satu penjaga markas ini. Dia sempat memberontak dan berteriak-teriak meminta tolong. Tetapi karena Ayah tidak terlihat, dia tidak tahu harus memukul ke arah mana. Tangannya terus bergerak berusaha melepas tangan yang mencekiknya. Namun dia terkejut ketika meraba lehernya, tidak ada tangan di sana. “Lalu siapa yang mencekikku seperti ini? k*****t. Tunjukkan dirimu.” Napasnya mulai berat. Wajahnya semakin memerah. Ayah semakin menguatkan cekikannya. Tak berselang lama penjaga itu akhirnya mati. Lidahnya menjulur keluar dan matanya melotot. Beberapa aparat lain yang melihat kejadian ini langsung mengerumini aparat penjaga itu. “Mengerikan sekali. Dia dicekik oleh makhluk halus. Tadi aku sempat melihatnya teriak-teriak sembari memegangi lehernya. Seketika wajahnya memerah dan lidahnya keluar. Lalu dia mati seperti yang sama-sama kita lihat barusan.” Aparat yang melihat semua kejadian ini menjelaskan dengan detail. “Apa benar ada makhluk halus di markas ini? Jangan-jangan dia bunuh diri karena masalah dengan istrinya yang kerap mengajaknya menonton sinetron ketimbang berhubungan badan?” Aparat yang satunya lagi mencoba mencari alasan yang lebih logis dan masuk akal. Tetapi dia malah terkena jitak oleh pasukan lain. Mana mungkin perajurit penjaga mati hanya karena istrinya sering mengajaknya menonton sinetron. “Jangan menyepelekan. Banyak lo kasus-kasus istri diceraikan karena keseringan nonton sinetron sampai lupa mengurus rumahnya.” Aparat itu masih membela. Ayah dan aku hanya menyimak pendapat-pendapat mereka. Mereka yang saling berpendapat malah menjadi saling berdebat. “Sudah-sudah. Sebaiknya kita bawa jenazahnya ini ke dalam.” Mereka berbondong-bondong membawa jenazah aparat penjaga ke dalam. Aku dan Ayah mengikuti mereka. Drama masih berlanjut. Pimpinan mereka yang bernama Burhan terkejut melihat mereka membawa jenazah Untung, nama si aparat penjaga tadi. “Kenapa dengan Untung?” Burhan mendekati mereka dan melihat jenazahnya. Mereka saling sikut untuk berbicara. Tidak ada yang berani bicara langsung dengan Burhan karena kematiannya memang tidak wajah. “Jawab! Malah saling sikut kalian itu.” Burhan membentak anak buahnya yang malah saling sikut ketika ditanya. “Begini, Komandan. Untung mati secara tidak wajar.” Asep, perajurit yang menjadi saksi kematian Untunglah yang akhirnya berbicara. Burhan seketika menampar wajah Asep. Melihat kejadian itu, mereka yang lainnya seketika menundukkan kepala karena takut. “Menjadi aparat harus menjawab sesuatu dengan logis. Mana ada mati yang tidak wajar. Pasti ada penyebabnya.” Burhan membentak mereka lagi. Mereka mengangguk. “Coba jelaskan lagi dengan alasan yang logis. Jangan mengarang karena bukan tugas kita.” Burhan kembali meminta anak buahnya bercerita. Mikhael yang kini diminta teman-temannya maju. Dia yang paling senior di antara teman-temannya itu. Tentu saja dia menjadi salah tingkah karena tidak tahu harus mengatakan apa. “Kamu laki-laki bukan? Kenapa tingkahnya kayak perempuan ha?” Burhan yang tidak suka dengan tingkah Mikhael memarahinya. “Begini, begini, Komandan. Tadi kami semua menyaksikan Untung memegangi lehernya seperti orang yang dicekik. Nah ketika kami hendak membantu, Untung sudah mati dengan wajah memerah dan lidah menjulur keluar.” Bukannya percaya, Burhan malah menampar Mikhael. “Itu benar. Kami melihat dengan mata kepala kami sendiri, Komandan.” Sontak mereka memberi pembelaan agar Mikhael tidak terkena tamparan untuk yang kedua kalinya. Aku dan Ayah tertawa tidak berhenti-henti melihat kejadian barusan. Mereka saling bertengkar sendiri karena ulah Ayah. “Tidak mungkin ada makhluk halus seperti dalam film-film di kehidupan nyata. Aku menduga ia bunuh diri karena suatu alasan.” Burhan menempelkan jarinya di kening, mencoba berpikir. “Izin, Komandon. Aku juga sependapat dengan Komandan.” Joni yang juga tidak mempercayai hal-hal ghoib ikut membenarkan pendapat Burhan. Yang lain menatap sebal Joni. Mereka menganggap seolah Joni sedang mencari muka di depan pimpinan mereka. “Aku tidak mau berita yang tersebar di luar nanti tentang hal-hal yang tidak logis.” Burhan menggelengkan kepalanya karena kesal. “Tetapi, Komandan. Kenyataan yang kami lihat seperti itu. Kasihan kalau dia dianggap bunuh diri karena masalah keluarga.” Asep mencoba melarang Burhan. Burhan maju dan mendekati Asep. Asep berfirasat buruk soal semua ini. Dia juga bingung kenapa tadi dia berani melarang komandannya. Padahal membangkang perintah komandannya sama saja mencari mati. Benar saja firasatnya, Asep dihadiahi pukulan dan tendangan berkali-kali karena berani memerintah komandannya. Di saat Asep dihajar habis-habisan oleh Burhan, teman-temannya hanya diam dan menunduk karena takut akan mendapat hukuman yang sama. “Sudah aku beritahu waktu pertama kali kalian menjadi anggota. Jangan sekali-kali berani membangkang keputusanku. Apalagi mengajariku seolah-olah kalian lebih pandai dan jago dariku. Ini akibatnya.” Burhan melayangkan pukulan dan tendangannya lagi. “Atasan mereka suka semena-mena begitu ya, Ayah?” Aku bertanya dengan penuh kekesalan. Jujur saja aku tidak suka melihat atasan berbuat semena-mena dengan bawahannya. Sama saja apa yang Burhan lakukan persis dengan apa yang dilakukan oleh orang kaya kepada orang miskin. “Memang begitu sejak dulu. Malah sudah menjadi budaya, Nak.” Ayah menjawab sekadarnya dan memilih fokus melihat adegan tersebut. “Kalau begitu aku ingin memberi pelajaran pada Burhan, si komandan sombong itu, Ayah.” Tanganku mengepal karena saking emosinya melihat Burhan menghukum Asep tanpa ampun. Ayah mengangguk. Nanti kalau Ayah sudah puas bermain-main, giliran aku. Begitulah janjinya. Namun sebelum tiba saatnya, ayah memintaku untuk menikmati semua ini. Agar aku bisa memahami bagaimana perilaku mereka. “Ampun, Komandan. Saya tidak akan mengulanginya lagi.” Asep meringkuk sembari memegangi perutnya. Seluruh wajah bengkang. Bibirnya mengeluarkan darah karena tadi wajahnya Burhan tendang menggunakan sepatu besar. “Kali ini aku maafkan. Kamu ulangi lagi, tidak segan-segan aku akan membunuhmu.” Mendengar itu, aku hendak maju dan memukulnya. Tetapi Ayah melarangku. Dia memintaku untuk bersabar terlebih dulu. Aku menuruti permintaan Ayah. Kembali aku menyimak apa yang sedang mereka rencanakan untuk menguburkan jenazah ini. “Bawa jenazah ini ke ruang otopsi. Nanti setelah itu kita telepon keluarganya. Baru kita sebar luaskan beritanya. Ingat hanya kita yang tahu. Jangan sampai menyebar berita yang tidak logis bahkan kepada istri kalian sekalipun.” Burhan meninggalkan mereka begitu. Mereka menggotong jenazah Untung ke rumah sakit. Dokter otopsi sudah datang karena memang harus diminta sigap ketika ada pasien. “Bagaimana bisa Aparat Untung meninggal?” Dokter itu juga terkejut melihat aparat penjaga yang sangat kuat dan tangkas bisa mati seperti ini. “Kami tidak tahu. Makanya kami diminta untuk membawa ke sini.” Mikhael menjelaskan pada dokter itu. Dokter itu melakukan pemeriksaan. Dia dengan teliti memeriksa seluruh tubuh Untung. Mulai dari ujung rambut hingga ke ujung kaki. Alat itu berjalan melata dari bagian tubuh satu ke bagian tubuh lain. “Aku tidak menemukan bekas luka atau bekas cekikan di leher seperti yang kalian ceritakan.” Mendengar hasil analisa sang dokter, mereka semua saling bertatapan. Joni yang mulanya tidak mempercayai hal-hal mistis menelan ludah berkali-kali. “Ayah memang hebat. Bisa mencekik orang tanpa meninggalkan bekas apa pun.” Aku mengacungkan jempol ke arah Ayah. Ayah tersenyum bangga. Mereka pun menyusun rencana sesuai dengan perintah komandannya. Ketika jenazah ini sampai di keluarganya, mereka harus membuat statmen yang sama kalau Untung mati karena bunuh diri dengan cara mencekik lehernya sendiri. “Nanti kalau mereka mengecek dan tidak menemukan bekas cekikan bagaimana?” Asep melempar pertanyaan yang kemungkinan keluar dari keluarganya. “Nah itu. Jadi semakin rumit kan.” Joni menepuk jidatnya dan berjalan mondar-mandir mencari akal. Komandan Burhan datang dan menanyakan keadaan jenazah Untung. Katanya istrinya datang membawakan makan untuk Untung. Tetapi Komandan Burhan memberitahu kalau Untung mati bunuh diri. “Secepat itu dia datang kemari, Komandan?” Mikhael terperangah. Bibirnya terbuka beberapa centi ke bawah dan ke atas. “Sudah. Nanti kalau dia tanya mana bekas cekikannya, aku akan menjawabnya kalau sudah aku hilangkan dengan bahan kimia ini.” Dokter menyela sembari mengangkat botol berisi bahan kimia. Mereka semua bertepuk tangan. Aku dan Ayah menunggu kedatangan istri dari jenazah Untung. Selain menunggu, mereka juga bersiap-siap. Raut wajah mereka, mereka buat sedemikan sedih agar tidak menimbulkan kecurigaan, “Mana suamiku? Mana?” Istrinya datang dan menangis histeris. Sejak di ambang pintu dia sudah berteriak-teriak mencari suaminya. Dengan ditemani Komandan Burhan, sang istri melihat jenazah Untung. Ketika membuka kainnya dan melihat kalau itu benar suaminya, tangisnya semakin menjadi-jadi. Dia meraung-raung hingga menggema di ruangan ini. Kami yang ada di ruangan ini seketika menutup telinga karena tidak sanggup mendengar suara tangisnya. Sangat keras dan bahkan berpotensi merusak gendang telinga. “Komandan, kenapa bisa suamiku pergi secepat ini? Apa salah dia, Komandan?” Istrinya menarik-narik tangan Burhan. “Bukankah setiap yang bernyawa pasti akan mati, Bu? Mungkin ini sudah menjadi takdir untuk Untung. Bersabarlah, Bu.” Komandan Burhan mencoba menenangkan istri Untung. Istri Untung memeluk jenazah dan masih meratapi kepergiaannya. Komandan Burhan kebingungan. Dia menyenggol anak buahnya seolah meminta pendapat. Anak buahnya hanya menggelengkan kepala. “Kalau Papah pergi, siapa yang mau nemenin Mamah nonton sinetron?” Aku menelan ludah berkali-kali mendengar ucapan itu. Bahkan komandan Burhan dan yang lainnya menutup bibirnya karena sedang menahan tawa. “Papah bangun. Sinetronnya belum selesai. Baru beberapa episode saja. Nanti kalau sudah selesai, Papah boleh mati lagi. huhu.” Istrinya menggerakkan tubuh Untung. Mereka semua semakin tidak tahan, ada yang izin keluar dengan alasan kebelet kencing padahal mau tertawa. Ayah yang ada di samping sudah tertawa duluan. Dia tidak sanggup mendengar ratapan istri Untung yang lucu itu. Tangannya memegangi perutnya. “Terima kasih, Komandan telah memperlakukan suami saya sebaik mungkin sampai akhir hayatnya. Kalau begitu saya akan membawanya pulang.” Istri Untung sesenggukkan. “Baiklah karena Untung juga bagian dari keluarga kami. Maka kami wajib mengurus jenazah Untung sampai di pemakamannya. Biar kami yang mengurusnya. Ibu juga akan kami antar pulang karena kami tidak mau terjadi apa-apa di jalan nanti.” Komandan Burhan meminta yang lain mengurus jenazah dan mempersiapkan ambulance. Mereka akhirnya ikut berziarah memakamkan jenazah Untung. Aku dan Ayah tetapi di markas menunggu mereka kembali.   5. Ayah mengajakku berjalan-jalan mengelilingi markas ini sembari menunggu mereka kembali. Meskipun markas ini tetap dijaga ketat, tetapi aku hanya mengincar Komandan Burhan. Aku sudah meminta izin pada Ayah untuk memberi pelajaran Komandan Burhan. “Sebelum kamu mengerjainya. Lebih baik kita mengerjai mereka yang sedang berjaga-jaga.” Ayah menunjuk kerumunan aparat yang dilengkapi dengan senjata. Aku mengangguk. Kami berjalan mendekati mereka. Mulanya kami hendak langsung mengerjai mereka. Tetapi Ayah ingin mendengar terlebih dulu apa yang mereka bicarakan sampai wajah meeka seserius itu. “Apa benar di sini ada hantunya? Lihat Untung mati dengan tidak wajar. Padahal jelas-jelas tadi Asep melihat kalau Untung seperti dicekik orang.” Willy tengah mengungkap rasa takutnya. “Aku juga tidak tahu. Padahal sebulan dua kali markas ini digunakan untuk kegiatan rohani. Tujuannya apalagi kalau tidak untuk mengusir hantu-hantu itu.” Tedjo yang memakai topi kebanggaan juga tak kalah seru. Ayah melempar sesuatu dan mengenai tong sampah. Tong sampah itu terjatuh dan menimbulkan suara. Mereka semua terkejut dan sontak menatap tong sampah itu. “Siapa itu?” Mereka berbondong-bondong mendekati tong sampah dan memperhatikan sekitar. Senjata yang tadi mereka sampirkan di badan, mereka todongkan ke seluruh penjuru. Aku dan Ayah tertawa puas melihat ekspresi mereka. Ekspresi ketakutan yang ditutupi dengan ekspresi tegas. Mereka munafik, tidak mau mengakui kalau mereka takut sebenarnya. “Tidak ada apa-apa, Bos. Bagaimana ini?” Tedjo berbicara pada pimpinan pasukan penjaganya saat ini. Namanya Hadi. “Jangan-jangan hantu-hantu itu mencari mangsa lagi, Bos.” Willy menggeliat ketakutan. Hadi meminta mereka untuk tenang. Tidak ada hantu, tegasnya dengan kaki yang agak gemetaran. Tetapi dia sembunyikan sebaik mungkin agar anak buahnya tidak ketakutan. “Coba lempar batu di kakinya, Ayah. Sepertinya seru.” Aku meminta Ayah untuk melempar batu ke kaki Hadi yang sejak tadi gemetaran. Batu itu mengenai kaki Hadi. Hadi menjerit dan membuat anak buahnya menatapnya dengan tatapan sinis. Katanya tidak boleh takut, tapi malah dia sendiri yang berteriak-teriak seperti anak kecil habis nonton setan. “Ehem. Maaf-maaf tadi hanya refleks karena ada yang melempar batu kakiku.” Hadi bergaya sok wibawa lagi setelah bertingkah seperti anak kecil. “Jadi kita tidak boleh takut ya, Bos?” Willy mencoba menyindirnya. Hadi marah mengetahui maksud dari anak buahnya. Dia memarahi anak buahnya itu dan mengatakan kalau dia tidak takut sama sekali dengan hantu. Tubuhnya dia tegakkan setegak mungkin untuk menutupi rasa malunya. Aku dan Ayah hanya tertawa melihat tingkah Hadi yang sangat menggemaskan itu. Sampai aku gulung-gulung karena tidak kuat menahan kelucuan dari Hadi. “Ayo kita kembali berjaga. Mari berkeliling lagi. selama ada saya, kalian tidak perlu takut.” Hadi berjalan dengan membusungkan d**a supaya terlihat gagah. “Siap, Komandan. Laksanakan.” Mereka hormat lalu berjalan mengikuti Hadi. Aku dan Ayah kembali mencari celah untuk mengerjai mereka. Mereka berhenti di depan ruang persenjataan yang penerangannya sangat sedikit. “Kita cek satu per satu ruangan ini. Jangan takut dan tetap bersama-sama!” perintah Hadi dengan tegas. “Kita bagi. Kalian berempat bagi sendiri. Biar aku sendirian yang mengeceknya.” Hadi berlagak sombong. Dia tidak mau ditemani oleh siapa pun. Hal ini menjadi sasaran empuk buat kami. Ketika Hadi berjalan mengendap-endap masuk ke ruangan senjata, aku mengagetinya dengan melempar batu kecil. Hadi hendak berteriak, tetapi refleks tangannya menutup mulutnya agar tidak jadi berteriak. Ayah mengacungkan jempol ke arahku. Dia memujiku karena aku mulai mempunyai pikiran jahil seperti dirinya. Aku tertawa kecil melihat ekspresi Hadi yang sombong itu. “Giliran, Ayah.” Ayah maju mendekati senjata yang menempel di dinding. Senjata itu mirip sekali dengan tombak yang ukurannya agak kecil. Tombak itu bergerak sendiri dan ujungnya mengarah ke Hadi. Kaki Hadi menutup dan tangannya dia letakkan tepat di k*********a. Tidak berselang lama, celana dibasahi oleh air. Aku tertawa terpingkal-pingkal melihat dia sampai mengompol. “Masih kurang, Ayah. Buat dia sampai keluar dari ruangan ini biar malu semalu-malunya.” Aku meminta Ayah untuk membuatnya keluar dari ruangan ini dan dipermalukan oleh anak buahnya. Ayah mengangguk. Tombak itu Ayah lepas dan Ayah arahkan pada Hadi. Hadi lari terbirit-b***t dan berteriak-teriak. “Tolong, setan. Tolong ada setan.” Hadi keluar terbirit-b***t ke lapangan. Anak buahnya yang mendengar Hadi berteriak-teriak seperti itu langsung berlari keluar dan mengejar atasannya. “Kenapa, Bos? Loh kok celana Bos basah? Bos ngompol ya?” Willy bertanya sembari menutupi mulutnya. Dia bena-benar kesusahan menahan tawanya yang ingin meledak. “Ada setan di ruangan tombak. Tombak yang terpajang di dinding bergerak sendiri. Dia menerbangkan tombak ke arahku dan ketika tombak itu ada di depan mataku, aku kabur.” Hadi kali ini benar-benar ketakutan. Dia tidak mau menyembunyikan rasa takutnya lagi. Mereka semua tidak percaya. Hadi yang merasa kesal karena tidak dipercayai oleh anak buahnya, meminta mereka untuk mengecek sendiri ruangan senjata itu. “Aku mau ganti celana dulu. Malu dilihat sama atasan nanti.” Hadi berjalan dengan hati-hati. Dia melihat sekitar seperti memastikan kalau tidak ada orang yang melihatnya. Karena ini sangat memalukan. Hadi pimpinan pasukan penjagaan ngompol gara-gara melihat setan, akan menjadi trending jika ada yang mengetahuinya. Mereka mencoba membuktikannya. Dengan rasa takut, mereka berjalan menuju ruangan ini. Aku dan Ayah sudah bersiap-siap mengerjai mereka. “Tidak ada apa-apa ternyata.” Tedjo membetulkan topi sembari menghidupkan lampu ruangan ini. Mereka mengecek satu per satu senjatanya. Ayah diam terlebih dulu menunggu mereka merasa sombong lagi. Baru nanti setelah sombongnya keluar, Ayah akan mengerjai mereka. “Sebenarnya yang takut itu ya Bos sendiri. Lihat tidak ada apa-apa kan?” Tedjo melempar-lempar pistol yang sudah lama tidak terpakai.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD