-2-

1624 Words
  2   Aku dan Aloysius menuju rumahku. Di sana kedua orang tuaku terkejut melihatku datang membawa Aloysius. Aku disuruh oleh mereka dengan kasar untuk menurut dengan mereka. Kedua orang tuaku kebingungan mengapa Aloysius ada di sini.   “Anda siapa? Kenapa Anda membawa anak saya pulang? Anak biadab itu biarkan saja di luar. Dia masih mencari uang,” kata ibuku dan menamparku. “Kamu dapat uang berapa?”   “Tidak dapat.” Balasku. Ibuku menamparku dan ayahku ikut-ikutan menghajarku.   Aloysius menghentikan mereka dan mengutarakan niatnya ke sini. “Hei. Jangan lukai anak itu. Anak itu berharga tahu!”   “Berharga? Harga apanya? Wajahnya tidak terlalu cantik dan bagus untuk dijual sebagai p*****r. Juga masih terlalu kecil untuk dipaksa bekerja. Ini anak cuma beban bagi keluarga kami.” Kata ayahku.   Jujur saja ayah kandungku mengatakan itu membuatku sakit. Lalu kenapa kamu memberiku kehidupan? Bukannya lebih baik aku tidak lahir saja? Kalau aku beban bagi kalian?   “Bagaimana kalau saya beli dengan harga mahal anak kalian ini. Biarkan dia hidup bersama saya,” kata Aloysius dan mengeluarkan sebuah kantung kecil berwarna hitam. “Berlian di dalam sini senilai 1 milyar.”   Kedua orang tuaku fokusnya langsung berganti ke berlian itu. Mereka mengamati berlian itu dan terpana. Berliannya pasti asli, dapat kuketahui dari raut muka mereka yang bersinar ketika menerimanya.   “Sana ambil saja anak itu.” Kata orang tuaku dengan kasar. Mereka mendorongku pergi keluar bersama Aloysius. Aku menahan tangisku karena tahu orang tuaku memilih berlian itu ketimbang diriku.   “Kenapa bersedih?” tanya Aloysius dan memberiku sapu tangan berwarna merah. Sapu tangan yang berwarna itu memiliki motif bunga. Aku menyukai motifnya, aku terima sapu tangan itu.   “Cara pakainya?” tanyaku pada Aloysius. Pria itu mengusap air mataku. Dia tersenyum dan tertawa.   “Masa kamu gak tahu cara pakai sapu tangan.” Jawabnya dan memberikan kembali sapu tangan itu padaku. “Nah sekarang coba praktekkan seperti tadi.”   Aku mempraktekkan cara menggunakan sapu tangan di hadapannya. Dia tesenyum dan mengusap rambutku yang kotor. “Anak pintar, seperti itulah cara menggunakan saputangan.”   Baru pertama kali ini aku dipuji seperti ini. Aloysius sepertinya pria yang baik. Kurasa aku akan betah bila harus tinggal bersama pria sepertinya. Mungkin dia berniat membeliku karena tidak tahan melihat kelakuan orang tuaku padaku.   Aloysius tersenyum mengerikan. Dia menggendongku dan mendekatkan wajahku ke wajahnya. “Mau tahu tugas pertamamu sebagai anakku?”   “Apa itu ayah?” tanyaku pada Aloysius. Dia memberiku sebuah cakar yang baru. “Apa ini? Aku sudah punya yang kayu.”   “Beda. Ini dibuat dengan khusus dan akan lebih menyakiti musuhmu. Ketimbang cakar buatan kayumu yang aneh itu.” Jawab Aloysius dan memasangkannya ke tanganku.   “Dari mana benda ini muncul?” tanyaku. “Perasaan om tidak bawa alat penyimpanan dari tadi.”   “Dari sini,” Aloysius menunjukkan tas transparan yang ia bawa. Tas berwarna hitam yang ia bawa tersebut menyatu dengan kondisi malam. Sehingga tampak transparan dan tak terlihat.   “Warnanya hitam sekali. Pantas aku tak melihatnya,” kataku. “Keren sekali tasnya om.”   “Kamu mau tahu apa yang keren lagi?” tanya Aloysius. Dia melihatku dengan penuh semangat. “Uji coba cakarmu itu dengan membunuh kedua orang tuamu. Berani tidak? Jika berani, maka kamu akan jadi anak kesayanganku. Amanda nanti aku buang saja di selokan anak tidak berguna itu.”   Aku menganggukkan kepalaku. Aku masuk ke dalam rumah kembali. Kedua orang tuaku masih sibuk menghitung nilai dari berlian yang mereka terima. Mereka juga sibuk menelpon seseorang untuk menukarkan berlian itu dengan pundi-pundi uang.   “Buat apa kamu kembali lagi anak haram?” tanya ibuku padaku.   Belum sempat ia mendorongku pergi. Kepalanya aku putuskan dengan tangan tambahanku. Ayah yang melihatnya kaget dan menuju dapur. Aku memutilasi tubuh ibuku sampai ke potongan yang terkecil.   Ayahku kembali dengan pistol. Dia menembakiku, anehnya peluru terlihat. Aku menghindari semua pelurunya dan mendekati ayahku. Kupotong tangannya yang memegang pistol dan tersenyum senang.   “Hai ayah, aku kembali pulang. Eh? Ayah? Bukan dong. Aku kan anaknya orang sekarang! Hahahahaha!” kataku dan memotong tangan ayahku yang satunya lagi. Kini ayahku buntung, dia berlutut padaku dan mencium kakiku.   Kenapa dia menciumi kakiku? “Kenapa ayah melakukan seperti itu? Bertahun-tahun ayah memperlakukanku kasar dan baru sekarang ayah menciumku layaknya anak biasa? Anak yang lainnya dapat kasih sayang. Lalu kenapa aku tidak?”   “Kenapa ayah hanya mau mencium disaat seperti ini? Kenapa waktu dulu tidak pernah? Kenapa? Ayah jelaskan kenapa?” tanyaku dan memotong kaki ayahku. Ayahku meneteskan air matanya. Dia berusaha kabur dengan menyeret dirinya di lantai.   Aku penggal lagi kakinya. Kini ayahku tidak punya tangan maupun kaki. “Ayah, ayo jawab aku. Kenapa aku begitu berbeda? Kenapa aku tidak seperti anak lain?”   “Bunuh saja aku anak kutukan!” teriaknya. Aku menuruti perintahnya. Aku penggal kepalanya. Aku ambil kepala ayah dan ibu. Lalu aku ciumkan kepala mereka ke pipiku. Seperti ini kah rasanya kasih sayang dari kedua orang tua?   Kenapa rasanya dingin sekali. Tapi aku lihat anak-anak seusiaku saat dibeginikan oleh orang tuanya terlihat senang dan bahagia. Tapi kenapa aku tidak bahagia. Kenapa aku bahagia saat memotong dan membunuh mereka?   Kutendang kepala mereka dan kumasukkan ke dalam kompor. Kunyalakan gasnya dalam kondisi besar. Kutuangkan minyak ke badanku dan seluruh rumah. Aku mengambil korek api dan hendak menyalakannya untukku sendiri.   Dengan cepat Aloysius masuk ke dalam rumah dan menemukanku yang berada di atas meja menangis. Dia mengambilku dan menggendongku. Dimatikannya korek api di tanganku. “Whoa. Aku sudah menduga ini. Kamu tidak boleh melakukan ini.”   “Kenapa?” tanyaku.   “Ada alasannya. Yang terutama, karena aku menyanyagimu Aleksia. Kamu gak boleh mati begitu saja,” jawabnya. “Aku orang tuamu sekarang. Mana ada orang tua yang membiarkan anaknya mati begitu saja?”   “Mereka berdua.” Ucapku dan menunjuk kedua kepala orang tuaku yang ada di atas kompor. Aloysius segera menjatuhkan tasnya dan menggendongku keluar rumah. Dia menembak tasnya dengan pistol dari sakunya.   DOR! DUAR!   Sekali tembak rumahku meledak dan hancur. Aloysius tampak menikmatinya dia menggendongku ke atas dan tersenyum melihatku. “Mulai sekarang kamu anakku. Mari kita pulang ke kota.”   Aku diturunkan oleh Aloysius. Aku mengikutinya hingga sampai ke tempat ia menginap. Di sana aku diberikan pakaian yang layak olehnya dan makanan. Aku tidak pernah berpakaian sebagus ini dan sekenyang ini dalam hidupku. Terima kasih Aloysius, er maksudku ayah.   Dia masih keluar dari kamar ini. Aku menunggunya dan menonton televisi. Kunikmati kesempatan ini, siapa tahu nanti setelah aku sampai di rumah baruku ternyata Aloysius sama saja dengan ayahku kan?   Bagaimana nanti kalau anaknya yang bernama Amanda itu benci? Atau dia merasa terganggu dengan kehadiranku? Tak kusangka Aloysius kembali dan membawa dua buah makanan yang tak pernah kucoba seumur hidup.   “Terima kasih.” Kataku pada Aloysius. “Ini beneran gratis. Aku tidak harus menggantinya?”   “Gantinya, jadilah anak yang menurut dan tidak melawan perintahku.” Jawab Aloysius. “Mau mencoba bertarung denganku sekali lagi? Atau mau bermain di luar?”   “Main di luar artinya apa?” tanyaku padanya. Ayah baruku ini tersenyum sinis. Dia mengambil beberapa pistol dan senjata api.   “Kita main di markas aparat. Lalu kita hancurkan. Kamu belum melihatku berubah penuh kan?” tanya ayahku dengan semangat.   “Sumpah ayah, aku tidak tahu apa-apa. Hentikan itu dan beritahu aku.” Kataku dengan penasaran. “Apakah itu hal yang seru?”   “Seru sekali, kalau begitu nanti kamu nonton saja. pasti paham apa yang ayah maksud soal bermain.” Ucap Aloysius. Dia memberiku sebuah jubah dengan tulisan VENOM di belakangnya.. VENOM? Apa itu? Aku tidak pernah mendengar kata ini.   “Saatnya berangkat Aleksia. Kamu mau tahu permainan apa saat sampai di sana nantinya. Permainan ini sangat indah.” Kata ayahku dan menarikku pergi dari kamar.   Entah kenapa saat kami memakai jubah ini. Kami berasa seperti transparan. Orang-orang menghiraukan kami begitu saja. Aku menjawil lengan ayahku, “Kenapa kita seperti orang tembus pandang?”   “Karena itulah kegunaan jubah ini.” Jawab ayahku. “Hanya orang dengan paranormal mata super yang bisa melihat kita. Mata biasa tidak akan tahu kita bergerak. Jadi lihat ini.”   Ayahku mencekik seorang pelayan penginapan yang lewat di depan kami. Dia membantingnya ke atas dan mencekiknya hingga tewas. “Hasilnya tidak ada sidik jari kalau kita membunuhnya dan tidak meninggalkan jejak sekalipun.”   “Lihat warga di sini langsung memanggil pendeta. Dikiranya ada orang kesurupan,” kata ayahku dan menunjuk orang-orang yang segera mengerumuni mayat pelayan tadi. “Lalu ini juga kegunaannya!”   Tubuhku terasa ringan saat ayahku menekan pin di jubahku. Kami melayang dan berjalan di atas asbes ini. Ruangan ini jadi terbalik? “Apakah ruangan ini terbalik?”   “Tidak. Kita lah yang terbalik Aleksia. Ini fungsi anti gravitasinya. Cuma bisa bertahan 2 jam nonstop. Setelah itu kamu harus mengistirahatkannya agar jubahmu tidak rusak.” Jawab ayahku dan membawaku pergi keluar menuju pintu utama penginapan.   Pinnya aku tekan lagi dan aku mendarat tepat di pintu utama bersama ayahku. Ayahku tersenyum bahagia melihatku. Dia senang dan mengusap kepalaku, “Bagus, kamu sudah belajar cara mengaktifkannya dan mematikannya.”   “Apakah tidak ada kekuatan yang lain?” tanyaku penasaran. Siapa tahu ada kemampuan sepatu super gitu. Selama ini aku menyangka hal seperti ini tidak ada. Ternyata teknologi seperti ini ada dan nyata. Siapakah ayah baruku ini?   Kenapa dia mendapat begitu banyak peralatan yang bagus dan aneh-aneh seperti ini? Seperti tokoh animasi yang sering kutonton di televisi tetangga dari luar setiap jam delapan pagi. Ayahku ajaib sekali kemampuannya!   “Yup. Kita langsung berangkat menuju markas aparat!” ajak ayahku. Tapi aku menahan langkah kakinya.   “Ada hal yang ingin aku balaskan dendamku.” Kataku. Mendengar itu ayahku terdiam dan menggendongku.   “Katakan saja anakku,” balasnya dengan senang. “Menghancurkan dunia pun kamu boleh.”   “Aku ingin menghancurkan orang kaya di sini. Mereka sering berbuat onar dan semena-mena, berulah!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD