“Eh?”
“Uh?”
“Hng?”
Seisi kelas dibuat menjatuhkan perhatikan mereka ke arah yang sama, Naura dan sosok pemuda yang baru saja masuk ke dalam kelas itu.
“Nama Ibu Naura?” Gadis yang tadi menanyakan nama Naura kembali bersuara.
Sayangnya sebelum sempat Naura menjawab, Iki—yang bicara dengan Naura untuk pertama kali kembali bicara. “Ibu kenal sama Abi?”
“Abi?” Naura balik bertanya, setelah memalingkan wajahnya kesana-kemari sejak tadi.
Iki tidak menjawab pertanyaan Naura, malah balik bertanya pada sosok yang lainnya. “Lo kenal sama Dosen ini, Bi?”
“A—”
“Tapi tadi dia panggil nggak pakai embel-embel Ibu atau Mbak. Kenalan di luar kelas, kah?” Salah seorang mahasiswa lain bersuara, setelah sejak tadi mereka hanya menonton.
“Pacar Mbak Naura?”
“Yah… udah punya pacar jadinya?”
“Tapi kayaknya bukan pacar, reaksi mereka terlalu canggung buat dibilang pacar.”
“Bu Naura nggak kelihatan kenal sama si ganteng itu.” Tentu saja ini mahasiswi yang ikut nimbrung dalam percakapan random itu pada akhirnya.
“Mantankah?”
“Seriously? Walau Mbak Naura masih muda tapi kayaknya perbedaan umur mereka terlalu jauh nggak sih? Kayaknya si Abi itu seumuran sama kita.”
“So what? Gue nggak keberatan kalau itu Mbak Naura.”
Kini para mahasiswa itu terbelah, antara yang memanggil Naura dengan sebutan “Ibu” dan “Mbak”. Kebanyakan hal itu digolongkan berdasarkan jenis kelamin. Para mahasiswa berkeras memanggil Naura dengan panggilan “Mbak” sementara para mahasiswi masih menaruh Naura dalam rasa hormat yang tinggi hingga lebih memilih memanggil dosen mereka itu “Ibu”. Ada beberapa mahasiswa yang juga melakukannya sih, dan mereka golongan mahasiswa yang memang lebih pendiam dan kutu buku, tidak ingin terlibat dalam permainan pemuda yang mengincar dosen mereka karena penampilan Naura yang memang bisa dibilang sangat menarik secara fisik.
Perdebatan di antara beberapa mahasiswa dan mahasiswi yang masih berlangsung di kelas itu membuat Naura memejamkan mata berusaha sabar. Kelasnya yang semua dapat ia kontrol kini menjadi ribut karena suatu hal yang bisa dibilang sangat tidak penting.
Abi—penyebab semua masalah ini bermula menyadari raut wajah Naura yang berubah. Pria itu sudah hendak angkat suara untuk membantu menenangkan kelas ketika Naura ternyata berhasil lebih dulu mengendalikan semuanya.
“Semuanya diam.” Suara Naura tidak sangat keras, hanya cukup keras agar bisa didengar semua mahasiswa yang ada di kelas itu, namun nadanya cukup tegas hingga para mahasiswa yang bicara bisa membedakan mana suara-suara di antara sesama mereka dan mana suara Naura yang mendominasi di depan kelas.
“Saya nggak mengizinkan apa pun yang nggak berhubungan dengan mata kuliah saya di bahas di kelas ini. Kalau kalian mau membicarakan hal lain silakan keluar dari kelas saya. Tidak suka dengan peraturan saya silakan mengundurkan diri dari kelas ini dan ikut mata kuliah yang sama dengan dosen yang berbeda.” Ucapan itu seketika membuat suasana makin hening, bahkan kini para mahasiswa yang ada di depannya tidak terlihat berniat untuk membantah kata-kata Naura seperti sebelumnya, atau kalau tidak ingin disebut membantah, beberapa di antara mereka napak lumayan meremehkan keberadaan Naura yang jelas-jelas adalah dosen mereka, bukan?
“Jelas? Kalau masih ada yang ingin mendebatkan soal ini silakan. Tapi setelah saya bacakan daftar absensi dan menyampaikan poin-poin apa saya yang harus diperhatikan selama berada di kelas saya.”
Sekali lagi, para mahasiswa itu akhirnya memilih diam. Mungkin karena ancaman yang Naura berikan sebelumnya? Tidak, itu tidak bisa dibilang sebagai ancaman sih, tapi bentuk ketegasan Naura dari peraturan yang dibuatnya.
“Oke kalau begitu…” Naura sudah akan kembali pada daftar absensi yang ada di pantulan proyektor ketika sadar bahwa ada satu hal lain yang belum selesai diurusnya.
"Kamu."
Semua mata kini terarah pada Abi, baik itu Naura maupun para mahasiswa yang kini duduk tenang di kelas itu.
“Nama kamu Abi?”
Pemuda itu mengangguk antusias, seburat senyum terukir di bibir tipisnya.
"Kamu ingat saya?"
Naura mengernyit tajam, raut wajahnya sudah tidak bisa dibilang ramah sama sekali.
“Berhenti bicara omong kosong. Duduk di tempat kamu atau keluar dari kelas saya.” Ucap Naura tegas mengisyaratkan Abi agar menempati salah satu tempat kosong yang masih ada di kelas itu.
Wajah pemuda itu terlihat kecewa, namun Naura sama sekali tidak berniat untuk terganggu hanya karena hal itu. Hari pertama Naura mengajar sudah berantakan karaena tidak sesuai ekspektasinya. Naura kini menjadi sosok yang jauh sekali dengan apa yang ia harapkan bisa diperlihatkan pada mahasiswanya. Dosen yang ramah dan bisa diajak diskusi mengenai banyak hal—awalnya Naura ingin menjadi sosok dosen yang seperti itu, tapi sekarang? Yang hanya akan menempel pada sosoknya hanyalah sosok dosen killer yang anti kritik? Atau… dosen kaku yang tidak bisa menerima guyonan para mahasiswanya?
“Duduk Abi.” Suara Naura lagi, saat pemuda itu tidak juga beranjak dari tempatnya berdiri.
Baru, setelah dua kali diperintah Abi beranjak dari posisinya. Pemuda itu melangkah menuju salah satu kursi kosong, tepatnya kursi kosong di samping mahasiswa bernama Iki yang memberikan isyarat pada pemuda itu untuk duduk di dekatnya.
“Lo kenal Bu Naura? Kenal di mana? Kok bisa?” Iki menodong Abi dengan berbagai pertanyaan begitu Abi duduk di sampingnya.
Abi hanya menatap Iki sekilas, tidak menjawab satupun dari pertanyaan itu dan hanya fokus pada Naura yang mulai kembali bicara di hadapan mereka.
“Seperti yang mungkin udah kalian dengar. Nama saya Naura Dara Atmaja yang akan mengajar di mata kuliah Kewirausahaan selama satu semester ke depan. Kalian mungkin menganggap mata kuliah ini sepele atau nggak penting. Itu silakan. Tapi kalian harus ingat ini mata kuliah umum dan wajib yang harus kalian ambil kalau kalian ingin lulus tanpa hambatan.” Mata Naura mengedar ke seisi kelas, dan semuanya masih diam.
Aah… mereka pasti sudah melabeli Naura pada golongan dosen yang sama sekali tidak asik saat ini. Batin Naura melihat reaksi para mahasiswa di hadapannya itu.
Ini sama sekali tidak seperti yang Naura harapkan.
“Kalian boleh panggil saya Mbak, Kakak, atau hanya nama—tapi itu selama di luar kelas. Sementara saat di kelas, ketika saya mengajar, tolong panggil saya hanya dengan sebutan Ibu.” Naura berhenti sejenak, entah ucapannya bisa sedikit membuat asumsi para mahasiswa itu berubah atau tidak mengenai dirinya, atau bahkan memperburuknya.
“Oke, kalau begitu kita kembali pada absensi. Setelah ini seperti yang tadi sudah saya bilang, kita akan bahas poin-poin apa saja yang perlu diperhatikan ketika ada di kelas saya.” Naura akhirnya memalingkan wajahnya dari pada mahasiswa, beralih pada pantulan proyektor yang ada di papan tulis di depan kelas.
Naura mulai membacakan satu persatu daftar nama yang ada di sana, hingga tiba pada nama sosok yang sejak kehadirannya sudah sangat menarik perhatian seluruh kelas tadi.
“Abimana Setiawan?”
Dan seperti yang sudah diduga, pemuda yang tadi menyebut nama Naura begitu lancar dengan mulutnya padahal Naura sendiri belum memperkenalkan dirinya kini mengangkat tangan, memberikan jeda beberapa detik sebelum Naura beranjak pada nama selanjutnya.
“Siapa? Kenapa dia bisa tahu dan kelihatan kenal gue?” Batin Naura, namun segera menyingkirkan berbagai pertanyaan yang melintas ketika melihat sosok itu. Wanita itu sberusaha untuk sadar bahwa kini posisinya tidak dalam waktu yang tepat untuk memikirkannya.