6. Di mana Kekonyolan Bermula

1135 Words
Naura tahu sebagai dosen mata kuliah umum, itu artinya dirinya akan menerima berbagai mahasiswa dari berbagai angkatan juga jurusan. Tidak terbatas hanya pada mahasiswa baru yang baru lulus dan menanggalkan seragam putih abu-abu mereka kemarin, melainkan bisa jadi juga mahasiswa tingkat akhir yang memerlukan nilai pada mata kuliah itu sebagai salah satu syarat kelulusan atau kelancaran mereka dalam mengambil skripsi. Hanya saja… Naura tidak menyangka beragamnya mahasiswa yang ia harus hadapi bisa membuatnya lumayan sakit kepala seperti ini. “Cukup untuk hari ini, sampai bertemu pekan depan.” Naura membereskan beberapa barang-barangnya setelah mengucapkan kalimat penutup dalam mata kuliahnya hari itu, yang disambut dengan ucapan terima kasih dari beberapa mahasiswa sebelum mereka membubarkan diri dari kelas dan pergi ke tujuan mereka masing-masing. Naura masih di sana, membereskan beberapa barangnya dengan beberapa mahasiswa yang juga tidak terlihat buru-buru dan asik berbincang dengan mahasiswa lainnya. Hingga ketika Naura beranjak dan hendak meninggalkan kelas itu, sebuah suara menghentikannya. “T-Tunggu, Naura!” Seru suara berat yang terlihat tergesa menghampiri, bahkan hingga menabrak beberapa kursi yang dilewatinya. “Ya?” Naura benar-benar berhenti, bahkan sekali lagi refleks menjawab ketika namanya dipanggil. “A-ah… kamu.” Begitu sadar siapa yang memanggilnya, reaksi Naura tentu terlihat sangat berbeda. “Ada apa?” “Saya Abi.” “Ya, saya tahu. Saya udah baca nama kamu di daftar absensi tadi.” Abi mengangguk. Tentu, Bagaimana ia bisa lupa hal itu? Well, rasa gugupnya bertemu dengan Naura mungkin memang bisa membuatnya bersikap bodoh hingga memperkenalkan dirinya tanpa sengaja berkali-kali. Tapi tentu Abi melakukannya bukan tanpa alasan. “Kamu nggak ingat saya?” “Huh?” “Bener-bener nggak ingat saya?” Naura menarik napasnya, mengalihkan pandangannya dari Abi untuk menghembuskannya lebih leluasa. Di saat yang sama Naura kemudian menyadari bahwa beberapa mata kini tertuju padanya. Mahasiswa yang masih bertahan di sana dan jadi saksi mata atas percakapan antara dirinya dan Abi saat ini. “Abi, sorry. Mungkin kita pernah ketemu di suatu tempat, papasan atau apa pun itu. Tapi saya nggak ingat apa pun, saya nggak ingat kamu. Jadi kalau kamu mengharapkan sesuatu dari saya—sekali lagi maaf, tapi saya nggak bisa berikan apa pun untuk kamu, termasuk janji untuk ingat kapan dan di mana kita pernah ketemu.” “Ketemu? Papasan?” Abi tersenyum tipis, benar-benar tipis hingga ia tidak ingin menunjukannya pada Nuara, pria itu menunduk ketika melakukannya. Sebelum mengangkat kepalanya kembali untuk bertatapan dengan wanita di hadapannya itu. “Ya, tentu. Tentu kamu bisa aja lupa, no—udah pasti kamu nggak akan inget.” Kali ini Abi mengangguk-angguk kecil, berusaha untuk maklum meski terlihat dari raut wajah maupun sorot matanya bahwa pria itu kecewa. Pria itu tidak menyangka kalau pertemuannya dengan Naura jauh dari apa yang ia harap juga bayangkan. “Maaf. Saya yang salah. Saya yang harusnya nggak…” Naura menunggu, tentu berharap pemuda ini menyelesaikan ucapannya dengan cepat. Naura tidak tahu apa masalahnya, tidak tahu di mana letak masalahnya hingga ia harus berhadapan dengan satu orang yang lumayan menganggu ketenangannya seperti ini. “Abi, kalau nggak ada lagi yang kamu ingin bicarain sebaiknya kamu pergi ke kelas kamu selanjutnya, atau saya yang harus pergi dari sini.” Naura menatap Abi, begitu juga sebaliknya. Wanita itu menunggu beberapa detik, namun karena Abi tidak mengatakan apa pun ia putuskan untuk beranjak setelah membuat sebuah anggukan kecil. "Nggak masalah kalau kamu nggak ingat saya. Tapi kali ini saya nggak akan sia-siain kesempatan ini. Naura Dara Atmaja," Abi tiba-tiba bersuara, menahan Naura lagi dari langkahnya Naura kembali berbalik mengadap pemuda itu, dengan sebuah kerutan di dahi dan tatapan mata yang menunggu kelanjutan kalimatnya yang ambigu. Begitu juga bagi para penghuni kelas lain, yang masih ada di sana seolah menunggu sesuatu terjadi dan bisa jadi bahan tontonan mereka. Naura tidak menyuruh atau meminta mereka pergi, kenapa? Karena jika Naura melakukannya itu sama saja Naura menunjukan bahwa sesuatu akan terjadi pada dirinya dan Abi. Jika Naura melakukannya, pikiran mahasiswa-mahasiswa lain yang ada di sana bisa menganggap kalau hubungan antara dirinya dan Abi memang sesuatu yang harus ditutupi, bahwa sesuatu memang ada di antara mereka—yang pada kenyataannya jelas tidak, dan tidak ada yang perlu Naura tutup-tutupi. Setidaknya itu yang Naura pikir saat itu. “Abi, apa maksud kamu? Saya nggak bisa terus ada di sini cuma buat dengerin kamu, saya—” "Saya mau kamu nikah sama saya." Sedetik, Naura membiarkan hal itu berlalu. Dua detik, wanita itu mengerjap, detik ketiga dan keempat ia menarik dan menghembuskannya berusaha untuk mencerna apa yang baru saja ia dengar. Detik kelima dan seterusnya hanya berllau begitu saja tanpa Naura sendiri tahu apa yang ia sendiri pikirkan. Hingga… “Saya mau kamu nikah sama saya, Naura. Dan kali ini saya nggak akan melewatkannya.” Ulang pemuda itu lagi tanpa Naura duga. “Apa? Abi, bercandaan ini sama sekali nggak lucu. Saya nggak ada waktu—” “Saya nggak bercanda. Apa saya kelihatan lucu di mata kamu.” Mulut Naura sudah terbuka terlihat hendak mengatakan sesuatu, namun kembali tertutup ketika tidak ada satupun yang keluar dan Naura tidak tahu harus mengatakan apa. Naura pikir ia salah dengar. Naura pikir pria di hadapannya itu hanya tengah mengoloknya seperti mahasiswa lain di awal perkuliahan tadi. Naura pikir begitu, sampai Naura melihat kesungguhan di sorot mata pemuda itu—yang sayangnya ingin sekali tidak Naura percaya. "Kamu mau menikahi saya?" Naura akhirnya bersuara, berusaha terlihat tenang dan tidak terintimidasi dengan keberadaan Abi. Sama halnya dengan Nuara, Abi juga menunjukan bahwa keberadaan Naura sama sekali tidak bisa memengaruhinya. Wanita itu tidak bisa mengintimidasinya dengan ketakutan atau keraguan, karena apa yang dikatakannya detik itu, saat ini adalah sebuah kesungguhan yang sudah ia tungguh-tunggu. Itu kenapa Abi mengangguk dengan yakin. "Kamu serius?" Lagi-lagi Abi mengangguk. "Kamu tahu usia saya? Kalau belum biar saya kasih tahu—" "31 tahun." Mata Naura melebar, terlihat terkejut karena Abi menyebutkan usianya dengan tepat. Namun sekali lagi, Naura tetap berusaha untuk membuat dirinya terlihat tenang di mata Abi, harus. "Ya, kamu benar. Usia saya 31 tahun. Dan kalau saya tidak salah menghitung berdasarkan data kamu yang saya punya, sekarang kamu ada di tahun terakhir kamu di universitas ini, jadi usia kamu kira-kira 22—" "Dua puluh satu, usia saya sekarang masih 21, meski awal tahun depan seperti yang kamu bilang akan segera 22." “Sure, 21. Dan itu artinya kamu tahu seberapa banyak dan besar perbedaan di antara kita, kan? Jadi berhenti—” “Saya nggak peduli. Seberapa besar pun perbedaan itu, entah itu usia atau status yang kamu maksud saya nggak peduli, yang saya mau kamu menikah dengan saya.” “Abi!” “Woo… wooo….” Para mahasiswa yang sejak tadi masih ada di sana dan bungkam dengan ekspresi tegang kini akhirnya bersuara, seolah tak bisa menahan reaksi mereka lagi setelah menikmati pertunjukan yang benar-benar menyenangkan di mata mereka saat ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD