7. Tidak Habis Pikir

1214 Words
Naura mengusak rambutnya ke belakang, menatap para mahasiswa yang tadi berseru ke arahnya dan Abi dengan tatapan cukup tajam. Naura ingin sekali mengusir mereka, tapi kalau sudah terlanjur mereka mendengarkan hal semacam ini, bukankah akan lebih baik jika mereka mendengar hingga selesai? Karena kalau tidak, sekali lagi, mereka bisa jadi akan berasumsi yang tidak-tidak. Argh, tahu begitu Naura lebih baik mengusir mereka sejak awal. “Abi denger. Saya akan anggap nggak pernah denger ucapan kamu tadi, jadi lebih baik kamu pulang atau lakuin apa pun yang kamu suka, dan pikirin lagi apa yang salah dari ucapan kamu itu. Nggak, atau sebaiknya kamu lupain semuanya dan jangan pernah punya pikiran kayak gitu lagi. Masa depan kamu masih panjang, dan banyak yang bisa kamu lakuin selain… Selain ngomongin hal macam ini.” Naura berusaha tersenyum, meski senyumannya itu tidak tampak seperti sebuah senyuman sama sekali, hanya sekadar garis lurus yang terbentuk di bibirnya. Naura berbalik dan melangkah, tidak merasa ingin menghentikan langkahnya lagi. “Naura, tapi saya—” “Berhenti bicara omong kosong dan… dan lakuin hal lain yang lebih bermanfaat!” Ucap Naura sambil berlalu, sama sekali tidak menghentikan langkahnya dan hanya menoleh sekilas. Wanita itu meninggalkan kelas sambil menggeleng tak habis pikir, tiba-tiba ia juga merasa kepalanya pusing bukan main. Hal terakhir yang Naura dengar sebelum benar-benar meninggalkan ruangan itu adalah sebuah teriakan dari suara yang sudah tidak asing di telinganya. “Bi! Lo udah gila ya?” Itu suara Iki atau Rizkiana Eriani nama lengkap mahasiswi yang kini sudah melekat di kepala Naura karena keaktifan juga perannya sebagai ketua mahasiswa yang dipilih untuk kelasnya mulai hari ini. Naura rasa gadis itu tidak lain juga adalah teman Abi, karena sejak Abi masuk hingga kelas selesai mereka duduk bersama dan terlihat berbincang akrab. Hal yang jelas sulit dilakukan jika keduanya baru kenal karena disatukan oleh kelas Naura. Kalau tidak salah juga, Naura tadi mendengar Iki memanggil nama pemuda itu bahkan sebelum pemuda itu memperkenalkan dirinya, dan itu tentu menegaskan bahwa keduanya memang sudah dekat sebelumnya. Oleh karena itu, Naura benar-benar berharap Iki bisa menyadarkan Abi dan mengembalikan pemuda itu pada akal sehatnya, menyadarkan temannya itu untuk tidak mengatakan hal-hal konyol atau tidak masuk akal seperti apa yang baru saja ia dengar. “Ra, are you okay?” Begitu masuk ruang dosen, Naura langsung dihadapkan oleh tatapan penasaran juga khawatir dan salah satu dosen muda yang sudah beberapa waktu terakhir dikenalnya. Namanya, Amelia Putri. Salah satu dosen mata kuliah umum yang baru mulai mengajar sejak tahun lalu. Naura mengenalnya karena Amel ini kenal juga dengan Professor pembimbing untuk disertasinya. Beberapa kali sempat bertemu lalu makan siang bersama dan berakhir dengan sering membicarakan banyak hal—well, bisa dibilang kini mereka berteman? Karena usia mereka yang bisa dibilang tidak terpaut jauh juga. Ah, mata kuliah umum yang dipegang Amel Bahasa Inggris ngomong-ngomong. “Ra?” “Ah, ya. Oke, nggak apa-apa. Gue nggak apa-apa kok.” Naura meneruskan langkahnya yang terhenti karena kemunculan Amel, wanita itu berjalan menuju mejanya dan meletakan barang-barangnya di sana. Amel mengerutkan keningnya, terlihat tidak yakin dengan jawaban dari temannya itu. Raut wajah Naura jelas tidak menunjukan bahwa tidak ada apa-apa, melainkan hanya mencoba untuk terlihat bahwa tidak ada apa-apa. “Ada apa? Ayo bilang.” Naura menaikan pandangannya tertuju pada Amel, raut wajah wanita itu terlihat serius dan tatapannya tajam. Hal itu membuat Amel seketika jadi merasa tidak enak hati karena mungkin dirinya sudah melampaui batas? Terkesan memaksa wanita itu padahal bisa jadi Naura tidak menganggapnya sedekat itu untuk harus selalu menceritakan apa yang dialaminya hari ini. Amel melangkah mundur, tersenyum canggung dengan gerak tubuh yang juga terlihat kaku. “Sorry, gue nggak maksud ikut campur kok. Kalau lo merasa nggak nyaman untuk cerita nggak apa-apa. Maaf karena udah buat—” “Nggak, bukan begitu. Sorry, Mel. Bukan begitu maksud gue…” Naura merasa ingin mengatakan sesuatu agar Amel tidak salah paham, namun akhirnya wanita itu terbata tidak harus mengatakan apa. Apa layak untuknya menceritakan kejadian tadi pada Amel? Bukankah Naura hanya menganggapnya sebagai hal konyol dan omong kosong? Jadi harusnya ia tidak perlu mempermasalahkannya apalagi sampai menceritakan kejadian itu pada orang lain, kan? “Nggak apa-apa, Ra. Mau kopi? Gue beliin kopi ya. Mungkin lo butuh cafein.” Naura tersenyum tulus, mengumamkan terima kasih membiarkan Amel berlalu. Yah, mungkin kejadian tadi memang sebaiknya tidak dibicarakan. Toh Naura sudah memperingatkan Abi, sudah mengingatkan pemuda itu untuk tidak melakukan hal yang memang tidak seharusnya ia lakukan. *** “Lo beneran udah gila atau apa? Ngelamar dosen lo kayak gitu? Seriously? Di antara semua orang, Abi? Harus banget dosen lo sendiri?” “Bukan dosen biasa, tapi Abi jelas udah kenal Bu Naura sebelum mereka ketemu di sini.” Seorang gadis lainnya menyela pembicaraan, dua pasang mata yang semula tengah berbicara kini mengarah padanya, dan Iki masih bisa mengenali siapa gadis itu, gadis yang tadi juga mengangkat tangannya di saat kelas berlangsung, dan kalau tidak salah namanya… “Melly. Gue Melly anak Arsi semester 7.” “Semester 7? Kita seangkatan. Cuma… gue sama Abi anak Bisnis.” “Yah, kelihatan.” Dahi Iki berkerut. Kelihatan? Apanya yang kelihatan? Bahwa Iki dan Abi berasal dari jurusan bisnis? Atau bahwa mereka berdua kini sudah semester 7? Yang mana? “Well, kalian nggak kelihatan sepolos itu kayak yang lainnya, makanya gue nggak berpikir kalian anak-anak semester awal.” Bola mata berputar separuh, sebelum ditarik cepat karena Abi yang sejak tadi diam akhirnya angkat suara. “Salam kenal, Melly. Sorry, tapi gue harus pergi.” “Nggak, tunggu! Lo mau ke mana? Ngejar Bu Naura? Nggak denger apa yang tadi udah beliau bilang? Lagi pula, memangnya Bu Naura itu siapa sih? Kenapa lo bisa sampe segitunya sama dia? Ngajak dia nikahlah, padahal jelas-jelas dia sama sekali nggak kelihatan kenal sama lo.” “Ki.” “Apa?” Abi menarik napasnya, menghembuskannya pelan. Pria itu tidak ingin mendebat perempuan, karena berdasarkan pengetahuannya, mendebat seorang wanita tidak akan pernah berakhir menyenangkan meski ia menang dalam sebuah adu argument sekalipun. “Ini nggak ada hubungannya sama lo, sama sekali. Jadi bisa tolong kasih gue ruang? Gue nggak mau berantem cuma karena hal ini. Lo ngerti?” Pinta Abi, dengan tenang dan terlihat sungguh-sungguh. “Tapi, Bi, kita temen. Jadi udah seharusnya gue—” “Kita temen. Bener yang lo bilang kita temen. Tapi sesama teman perlu batasan, kan? Dan soal ini bukan sesuatu yang mau gue omongin sama lo. Seenggaknya bukan sekarang.” Ucap Abi lagi, tegas. Pria itu menarik tali tas ranselnya yang turun, menaruhnya lagi ke satu-satunya bahu yang menumpunya. “Gue duluan.” Tambah pria itu, sambil menatap Iki dan Melly bergantian sebagai ucapan perpisahan lalu meninggalkan kedua gadis itu pergi. Sepeninggal Abi, beberapa mahasiswa yang masih ada di ruangan itu mulai berbisik-bisik. “Sorry, Ki. Gue harusnya nggak nyamperin kalian jadi gue nggak harus denger apa yang Abi bilang barusan. Gue cuma mau—ya lo tahu? Anak semester akhir kayak kita ini jarang yang masih ambil kelas mata kuliah umum karena biasanya udah lebih dulu ambil di awal perkuliahan. Jadi gue cuma mau…” “Gue tahu. Nggak perlu minta maaf. Mungkin Abi bener, gue yang udah terlalu sok ikut campur urusannya.” Ucap Iki, memaksakan senyumnya muncul di bibir namun yang terlihat tak lebih dari senyum sedih dan sedikit malu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD