Sayangnya, apa yang terjadi jelas tidak sesuai harapan. Awalnya Naura berpikir, kejadian hari itu di kelas hanya akan berlalu begitu saja dan terlupakan, namun nyatanya tidak. Pagi menjelang siang ketika Naura sampai di kampus untuk mengajar di 2 kelas, seseorang tiba-tiba saja menariknya dan mengajaknya berjalan cepat-cepat menuju ruang dosen yang hari itu cukup sepi. Entah karena para dosen belum tiba di kampus atau karena sebagian sedang mengajar di kelas masing-masing.
“Kenapa? Apa? Ada apa, Mel?” Naura yang bingung tentu saja tidak bisa menahan dirinya untuk bertanya.
Bagaimana tidak? Naura yang sebelumnya berjalan santai tiba-tiba saja ditarik dan terpaksa melangkah cepat mengikuti sosok yang ada berjalan selangkah lebih dulu dan lebih cepat dibanding dirinya hingga akhirnya mereka berhenti begitu masuk ke ruang dosen dan berada tak jauh dari meja mereka.
“Ra, lo udah denger apa yang lagi banyak diomongin di kampus hari ini?”
Dahi Naura berkerut tajam. “Gue baru sampe kampus, Mel… Gimana mau tahu? Lagi pula sejak kapan lo up to date sama gossip kayak gini? Biasanya lo sama sekali nggak peduli sama apa pun yang lagi heboh di kampus. Nggak mau diajak ngegosip.”
“Memang nggak mau!”
“Ya terus?”
Amelia meringis. “Kali ini karena lo topik bahasannya! Makanya gue tanya—yah, lihat reaksi lo kayak gini kayaknya lo sama sekali nggak tahu kalo lo yang jadi topik utamanya hari ini, kan?”
“Hah?”
“Apanya yang hah?”
“Barusan lo bilang apa? Gue apa? Gue—”
“Lo yang jadi topik utama dan bikin heboh hari ini.”
“Gue…” Naura menunjuk dirinya sendiri.
Amel mengangguk cepat. Wanita itu menarik Naura lagi, kali ini untuk berhenti dan duduk di meja kerja masing-masing yang memang berada berdekatan. Amel hanya perlu menyeret sedikit kursinya untuk bisa lebih dekat dengan Naura, agar pembicaraan mereka tidak menarik perhatian dosen lain yang ada di sana atau terdengar oleh orang-orang yang tidak diinginkan. Meski sebenarnya yang mereka bicarakan sudah menjadi topik hangat di seluruh kampus sekalipun, setidaknya itu yang Amelia tahu.
“Ini, lo nonton ini dulu mending. Biar lo tahu apa yang lagi kita omongin.” Amel yang mengeluarkan ponselnya dari dalam tas lantas mengulurkannya ke arah Naura setelah mengutak-atik layarnya sesaat sebelum menyodorkannya pada Naura untuk menunjukan sesuatu di sana.
Naura tidak banyak bicara, menerima ponsel temannya itu dan menyaksikan apa yang ingin Amel tunjukan padanya. Tubuhnya bereaksi kaget, begitu melihat dirinya dan Abi ada di layar ponsel temannya itu dan Naura jelas sadar benar situasi apa yang terjadi dalam tangkapan layar yang kini disaksikannya.
Itu dirinya dan Abi ketika bicara di depan kelas kemarin, ketika…
“Saya mau kamu menikah dengan saya.” Kalimat yang teringiang dan masih melintas jelas di benak Naura jika memang wanita itu ingin mengingatnya.
Sebenarnya Naura tidak ingin mengingatnya, namun karena kini apa yang ia lihat persis seperti apa yang ada dalam ingatannya, pun apa yang dilihatnya itu seperti me-reka ulang semua ingatan itu, jadilah Naura kembali terjebak pada apa yang dihadapinya kemarin.
“Video ini gue dapet dari grup dosen tadi pagi. Lo nggak lihat grup memang? Lo jadi bahan omongin bukan cuma mahasiswa, Ra, Tapi dosen di kampus juga…” Amel bicara dengan nada khawatirnya. Wanita itu bahkan memperhatikan sekitarnya untuk memastikan belum ada yang menyadari keberadaan Naura di sana, karena kalau ada mereka pasti—
“Gue nggak ada di grup dosen karena gue cuma dosen pengganti, dan memang nggak ada di grup mana pun di kampus karena mahasiswa S3 biasanya…” Naura bahkan tidak berniat melanjutkan ucapannya karena apa yang ia katakan akan terasa percuma.
Wanita itu menarik dan menghembuskan napasnya gusar, tiba-tiba harinya yang Naura pikir akan berjalan damai kini menjadi gelap dan terasa mulai berantakan.
Tidak merasa perlu melihat video yang terunggah entah di mana itu lebih jauh, Naura mengembalikan ponsel Amel pada pemiliknya. Naura mengusak wajahnya, berusaha mengendalikan pikiran juga ekspresi wajahnya agar tidak terlalu memperlihatkan bahwa dirinya kini merasa frustrasi.
“Dosen lain pada bilang apa? Apa gue bakal disidang disiplin? Ya Tuhan… hari ini bahkan baru hari kedua gue ngajar, Mel, tapi udah kayak gini.”
“Kayak yang mungkin udah lo perkirakan. Sebagian dosen masih ada yang berpikiran kolot kalau hubungan dosen dan mahasiswa itu nggak pantes, tapi beberapa dosen lain ada yang bela lo kalau lo nggak kelihatan salah di video itu. Toh lo juga udah nolak mahasiswa itu dengan tegas, kan? Jadi menurut beberapa dosen nggak ada yang perlu diomongin lagi soal itu.”
Apa Naura bisa merasa lega karena yang didengarnya barusan? Tapi jika dipikir lagi, kalau memang tidak jadi masalah kenapa hal itu masih menjadi topik yang hangat dibicarakan?
“Lagipula sebenernya di kampus kita nggak ada larangan buat hubungan antara mahasiswa dan dosen selama itu nggak melanggar norma. Mungkin yang jadi sedikit masalah cuma keprofesionalitasan lo sebagai dosen yang nanti dipertanyakan. Apa lo masih bisa ngajar dengan objektif sama mahasiswa itu atau nggak. Walau seharusnya menurut gue yang kayak gitu nggak perlu dipertanyain lagi, karena sekali lagi dalam kasus ini lo kan nggak ngelibatin diri lo lebih jauh lagi sama mahasiswa itu.”
Itu dia! Itu intinya, kan? Lantas kenapa masih dipermasalahkan? Batin Naura gemas.
“Masalahnya, Ra. Kita nggak bisa bendung asumsi yang beredar di publik. Apalagi dalam hal ini publik yang kita maksud itu dalam cangkupan yang luas. Walau beberapa dosen berpikir begini dan begitu, tanggapan-tanggapan mahasiswa yang lihat video itu juga beragam, dan itu jadi pertimbangan para dosen juga buat ngomongin sama lo pada akhirnya.”
Sial, sudah seperti yang Naura duga pada akhirnya.
“Rekor sama Dekan mungkin yang bakal ngomong sama lo buat—”
“Intinya gue bakal disidang.”
“Ra…”
“Ck, kenapa gue nggak sadar kalau ada yang ngerekam kejadian itu kemarin.” Gumam Naura, menyesali mengapa dirinya tidak benar-benar meminta mahasiswa yang tersisa di kelas kemarin untuk pergi agar tidak menyaksikan semua itu.
Tapi kalau dipikir lagi, bahkan jika Naura melakukannya kabar macam ini tetap akan beredar dan tersebar luas, bahkan bisa jadi lebih buruk karena tanpa orang lain tahu apa topik bahasan antara dirinya dan Abi bisa jadi pihak luar akan mulai berasumsi dan menciptakan imajinasi mereka sendiri mengenai apa yang dirinya dan Abi bicarakan. Pada akhirnya hal itu akan menimbulkan kegaduhan karena opini yang tidak terbendung, opini yang bisa jadi akan jauh dari apa yang terjadi sebenarnya.
Mengerikan, untuk membayangkannya saja rasanya mengerikan. Tidak terjadi seperti itu saja sudah begini situasinya, apalagi seperti apa yang Naura bayangkan, jelas semuanya akan lebih buruk dari ini.
“Bu Naura, udah datang rupanya?” Sapaan seseorang yang mengintrupsi percakapannya dengan Amel menarik perhatian kedua wanita itu.
Baik Naura maupun Amel mengangkat kepalanya, menjatuhkan fokus mereka pada sosok yang datang dan kini tersenyum tipis ke arah kedua wanita itu bergantian.
“Iya, Bu Inggit?”
“Bisa ikut saya sebentar? Jam mata kuliah Ibu masih setengah jam lagi, kan? Nanti kalau pembicaraan kita lebih dari itu, saya akan minta tolong dosen lain untuk memberitahu kelas Ibu kalau Ibu sedang tidak bisa mengajar.”
Serius? Ini akan jadi seburuk itu? Lebih buruk dari apa yang Naura pikirkan? Tapi Naura merasa dirinya tidak salah mengenai apa pun… lantas mengapa dirinya? Kenapa harus dia? Ini gara-gara Abi—ah, Naura bahkan tidak tahu harus menyalahkan siapa sekarang.