Naura keluar dari ruang sidang—kalau memang bisa dibilang seperti itu—dengan raut wajah yang tidak bisa dibilang baik-baik saja. Tapi dibilang buruk pun sebenarnya apa yang terjadi padanya dan dikatakan Rektor serta Dekan kampus tidak seburuk yang Naura pikir, hanya… bagaimana Naura menggambarkannya? Dirinya kecewa? Sedikit merasa bahwa apa yang terjadi padanya tidak seharusnya terjadi kalau saja…
“Lo nggak apa-apa, Ra? Apa kata Rektor dan dekan-dekan? Lo nggak…”
“Lo dari tadi di sini? Nungguin gue?” Alih-alih menjawab pertanyaan yang ia terima, Naura malah heran melihat keberadaan Amel yang ada di depan ruang meeting sekeluarnya Naura dari sana.
“O-oh. Gue khawatir, makanya gue nunggu lo di sini.”
“Kuliah lo? Kelas yang harusnya lo ajar?”
Amel mengangkat tangan kirinya, melihat jam tangan yang terpasang di pergelangan tangan itu. “Masih sepuluh menit, masih ada waktu.”
“Mel.”
“Gue khawatir sama lo, Ra…”
Naura mengangkat satu tangannya, menghentikan Amel untuk lanjut bicara. “Terima kasih buat perhatian lo, tapi lo harusnya nggak prioritasin ini. Lo harus ke kelas lo sekarang, Mel. Jangan biarin anak-anak nunggu.”
“Tapi, Ra—”
“Gue nggak apa-apa, oke? Semua aman terkendali. Bu Rektor sama para Dekan cuma sedikit kasih peringatan, dan nggak ada yang perlu dikhawatirin dari itu.”
“Serius? Lo yakin? Lo nggak lagi nutupin sesuatu dari gue, kan?”
Naura menarik napasnya, mengalihkan pandangannya dari lawan bicaranya sekilas sebelum kembali. Wanita itu menarik lengan rekannya, untuk beranjak dari sana dan bicara sambil meninggalkan tempat itu.
“Apa untungnya gue nutup-nutupin sesuatu dari lo, Mel? Toh urusan ini aja lo yang tahu duluan dibanding gue. Kalau nanti ada apa-apa, pada akhirnya lo juga bakalan tahu, kan? Jadi nggak ada alasan gue harus nutup-nutupin sesuatu dari lo.”
Amel memeluk beberapa paper dan buku yang di bawanya semakin erat, melirik wanita yang berjalan di sampingnya itu dengan tatapan yakin tak yakin. Tapi apa yang dikatakan Naura benar juga, tidak ada alasan khusus untuk wanita itu menutupinya dari Amel.
“So… semuanya baik-baik aja?”
Naura mengangguk singkat.
“Nggak ada yang perlu gue khawatirin?”
“Nggak. Jadi, cepetan lo ke kelas dan ngajar sesuai dengan kewajiban lo. Jangan sampe telat cuma gara-gara gue dan bikin anak-anak lo mikir kalau dosen mereka nggak masuk.” Naura menepuk pundak Amel, mempersilakan rekannya itu untuk pergi.
Amel menarik dan menghembuskan napasnya panjang, menatap Naura sekilas sebelum akhirnya memutuskan meninggalkan temannya itu.
Seperti yang Naura katakan, Amel harus menunaikan kewajibannya, begitu juga dengan Naura sebenarnya. Wanita itu jelas juga harus mengajar, masuk ke kelas yang menjadi tanggungjawabnya setelah apa yang terjadi.
Kalau saja Naura di sini berperan sebagai mahasiswa, ia pasti sudah lebih memilih bolos di saat seperti ini. Ah, tidak. Kalau seperti itu justru mengesankan kalau apa yang terjadi memang benar-benar salah, kan?
Nuara kembali ke ruangan dosen, ke mejanya untuk mengambil tas dan barang-barang yang ia butuhkan selama mengajar. Saat itu juga Naura melewati kelas-kelas dan lorong-lorong yang dipenuhi oleh mahasiswa setelah sebelumnya cukup sepi karena kebanyakan dari mereka masih berada di kelas sebelumnya. Dan kini, tidak seperti sebelumnya yang Naura tidak sadari, para mahasiswa dan mahasiswi itu ternyata sibuk mengarahkan pandangan padanya sambil berbisik dengan topik pembicaraan yang sudah bisa Naura terka. Hanya sejauh apa mereka membahas tentangnya, Naura tidak ingin tahu dan tidak ingin lebih mendalami hal itu. Sebab mungkin, Naura hanya akan merasa tersakiti dan merasa tidak adil jika mengetahuinya.
“Se-lamat pagi menjelang siang semuanya…” Suara Naura sempat tersendat begitu mendapati para mahasiswa yang berada dalam kelasnya menatap kedatangannya dengan tatapan yang tidak biasa.
Pandangan mereka teralih dari layar gawai mereka masing-masing lalu terarah pada Naura ketika wanita itu masuk. Atmosfer yang tadinya terasa normal seketika tegang dan diselimuti oleh kecanggungan.
Terasa berbeda, apa pun yang terjadi di sana jelas terasa berbeda. Itu memang kali pertama ia masuk ke dalam kelas itu setelah kemarin untuk pertama kalinya juga Naura berada di kelas yang mana ada Abi di dalamnya. Dan atmosfer yang ia rasakan ketika masuk ke kelas kemarin dengan hari ini jelas terasa berbeda.
“Bu Naura? Pengganti Bu Rosa untuk mata kuliah Kewirausahaan ya?”
Naura berusaha mengontrol dirinya untuk tidak terganggu dengan atmosfer tak nyaman yang berada dalam kelas itu.
“Benar. Perkenalkan saya Naura pengganti Bu Rosa yang sedang cuti hamil untuk mata kuliah yang teman-teman teman ambil. Jadi mulai hari ini hingga satu semester ke depan mari kerjasamanya.”
Seseorang mengangkat tangannya begitu Naura selesai bicara.
“Bu Naura!”
“Ya silakan.”
“Ini beneran Ibu yang ada di video viral itu, kan?”
“Ibu yang dilamar sama mahasiswa di kelas Ibu?”
“Itu beneran, Bu? Bukan cuma konten?”
“Gimana ceritanya bisa kayak gitu, Bu? Cerita dong!”
“Iya, Bu—ayo cerita!
“Nggak masalah di hari pertama cerita-cerita sekalian perkenalan, kan?”
Pada akhirnya bukan hanya satu atau dua pertanyaan. Naura menerima banyak pertanyaan mengenai hal itu yang padahal jelas-jelas tidak berhubungan dengan mata kuliahnya. Bukan hanya tidak berhubungan, tapi hal macam itu jelas-jelas seharusnya tidak dipertanyaan atau bahkan dibahas oleh mahasiswa pada dosen yang mengajar mereka.
Anak-anak jaman sekarang, Naura tidak tahu apa harus menyebutnya terlalu berani atau tidak memiliki sopan santu dalam hal ini.
“Semuanya diam.”
“Kalau nggak salah itu Kak Abi kan, Bu? Mahasiswa tingkat akhir yang terkenal ganteng itu!”
“Kenapa nggak Ibu terima? Kak Abi itu selama ini bahkan jauh dari gossip punya pacar atau semacamnya lho, dan giliran berita yang berhubungan sama cewek muncul—ternyata itu Ibu yang jadi pilihannya.”
“Gila. Kayak drama-drama gitu, ya?”
“Tapi bukannya agak sedikit gimana gitu? Secara Bu Naura dosen dan Kak Abi—”
“Tenang.”
“Memangnya kenapa kalau antara Dosen dan Mahasiswa? Ada yang salah? Toh nggak ada aturan yang ngelarang itu juga di kampus ini.”
“Tenang saya bilang.”
“Iya, tapi usia Bu Naura sama Kak Abi itu—”
“SAYA BILANG TENANG.” Naura menaikan suaranya setelah kesekian kali ucapannya tidak digubris dan malah diabaikan oleh anak-anak itu, terutama para anak perempuan yang terlihat heboh dan sibuk dengan bahan diskusi mereka sendiri.
Teriakan Naura berhasil menenangkan kelas, namun di saat yang bersamaan membuat atmosfer di sana makin terasa tidak menyenangkan dan jauh dari bayang-bayang yang selalu Naura inginkan ketika dirinya mengajar.
“Saya nggak menerima bahasan atau topik di luar mata kuliah saya. Jadi kalau kalian ingin membahas hal itu silakan tinggalkan kelas saya dan cari kesenangan itu di luar, bukan di sini.” Ucap Naura tegas, sengaja tidak menciptakan celah untuk mahasiswanya membantah dan mengambil alasan lain agar tetap bisa membahas mengenai berita yang beredar itu.
Untungnya, cara Naura itu cukup efektif dan Naura bisa memulai menjalankan tugasnya dengan memulai pekerjaan hari itu, meski dengan catatan—kini cara mengajarnya benar-benar berbeda dengan apa yang Naura rencanakan saat hendak membangun image-nya sebagai dosen di kampus itu.
Menyebalkan. Semua yang terjadi tak lebih dari 48 jam terakhir ini benar-benar menyebalkan.