Naura melempar tubuhnya ke sofa begitu sampai di rumah, memasrahkan seluruh bagian tubuhnya pada benda itu bahkan hingga memejamkan mata.
Hari itu ia hanya mengajar 2 kelas, sisanya ia habiskan untuk berkonsultasi mengenai penelitiannya dengan professor pembimbing. Tidak lebih dari setengah hari sejak Naura datang ke kampus, tapi entah mengapa rasanya begitu melelahkan dan menguras seluruh energi juga emosi yang dimilikinya hari itu.
“Kamu itu, Na. Pulang bukannya salam, cari orang tuanya kek, apa kek. Malah langsung tiduran di sini.”
Mata Naura yang terpejam perlahan terbuka ketika mendengar suara surga yang didapatinya kini berdiri tak jauh dari posisinya.
Sang Ibu, siapa lagi yang akan berkomentar seperti itu kalau bukan ibunya.
“Udah salam tadi pas masuk, Mama aja yang nggak denger.”
“Gitu?”
“Assalamualaikum.” Ulang Naura sekali lagi, sedikit menggerakan tubuhnya untuk meraih lengan sang ibu dan mencium punggungnya sebelum menyandarkan tubuhnya lagi di sofa memejamkan mata kembali seperti sebelumnya.
“Kalau mau tidur mandi dulu sana. Jangan dilama-lamain kalau badan udah kotor kayak gitu.” Komentar Mama tak tinggal diam melihat putrinya seperti itu.
“Bentar… aku masih capek, Ma.”
“Ya justru karena capek. Makanya mandi sana biar rileks. Udah Mama toleransi ya kamu boleh tidur sore, tapi setelah mandi. Jangan sampe kamu tidur dalam keadaan badan kotor kayak gitu.”
Naura menarik napasnya panjang, kembali membuka matanya menatap sang ibu. Di saat seperti ini Naura ingin sekali mengatakan bahwa dirinya sedang tidak ingin diganggu, ingin meluapkan marahnya meski jelas sosok yang ada di depan matanya itu bukan orang yang tepat untuk ia lampiaskan. Hal utama yang tentu menghentikan niatan Naura itu, karena ia tidak ingin menjadi anak durhaka karena marah-marah pada ibunya. Tapi…
“Ma, Naura udah 30 tahun lebih lho.”
“Hm, Mama tahu kok. Kenapa memangnya? Kamu pikir Mama lupa anak sendiri.”
“Itu dia. Itu masalahnya. Mama tahu, tapi kenapa masih perlakuin Naura kayak gini? Seolah-olah Nana masih anak kemarin sore yang harus selalu ada dalam pantauan dan pengawasan Mama.”
Mama tidak langsung merespons Naura setelah ucapannya. Wanita paruh baya itu terlihat berpikir sejenak, melipat tangannya di depan d**a dan mengamati putrinya lamat-lamat.
“Hm, kamu bener juga. Kamu udah 30 tahun lebih rupanya, ya?”
“Hng! Maka dari itu—”
“Maka dari itu harusnya kamu udah keluar dari rumah dan hidup sama suami kamu, kan? Tapi mana suaminya ya… kok nggak kelihatan sama sekali.” Ucap Mama sambil menggerakan kepalanya menoleh kesana-kemari seolah mencari sosok yang ada pada kalimatnya barusan.
“Oh, belum ada. Nggak kelihatan tuh. Makanya tanpa sadar Mama masih perlakuin kamu kayak anak kemarin sore. Mungkin itu alesannya. Kalau kamu udah nikah dan bersuami, siapa tahu sikap Mama berubah. Jadi kenapa nggak dicoba?” Nada bicara Mama benar-benar terdengar menyebalkan. Antara mengejek, mengolok, dan menyindir semuanya bercampur menjadi satu namun dengan nada yang terdengar lembut. Didengar dan dilihat dari sisi manapun itu jelas-jelas menyebalkan, bukan?
“Soal nikah lagi…” Gumam Naura malas, mengeluarkan dengusan dalam gumamannya yang entah untuk dirinya sendiri atau sengaja juga ia buat agar bisa didengar sang ibu. “Ma, Nana kan udah bilang. Nana sama sekali nggak—”
“Nggak tertarik dengan pernikahan? Hm, Mama tahu kok. Mama cuma ngomong aja memangnya nggak boleh? Siapa tahu kamu berubah pikiran.” Ucap lawan bicara Naura itu dengan kedua bahu terangkat acuh tak acuh. Setelah mengatakannya Mama memilih beranjak, meninggalkan putrinya yang bahkan tidak mampu menyelesaikan kata-katanya karena sudah lebih dulu ditinggal oleh yang bersangkutan.
Aarghh… apa tidak ada hari yang lebih menyebalkan dari hari ini? Geram Naura dalam hati.
***
Apa semuanya berjalan lebih mudah setelahnya? Oh tentu saja tidak.
Meski Rektor, dekan dan para dosen yang lain tidak mempermasalahkan mengenai kejadian di kelas dengan salah satu mahasiswa itu, nyatanya berita dan kejadian itu tidak lantas berlalu begitu saja. Terutama bagi para mahasiswa yang tetap banyak menaruh perhatiannya pada Naura ketika melihat dan mengenali wanita saat berjalan di sekitar kampus.
Naura berusaha untuk mengabaikan hal itu, sudah sangat mengabaikan hal itu bahkan kalau bisa dibilang. Berharap berita itu akan menghilang dengan sendirinya seiring berjalannya waktu. Hanya saja, ketika Naura pikir semuanya sudah lebih tenang dan mereda, Naura lupa kalau dirinya masih harus berhadapan dan bertemu dengan si pembuat masalah ini setiap minggu, di waktu mengajarnya di kelas yang terdapat mahasiswa itu dalam daftar absensinya. Di tempat yang sama, dengan orang-orang yang sama dan saksi mata yang sama. Membuat semua kejadian itu terasa seperti baru saja terjadi kemarin, padahal sudah seminggu berlalu sejak hari itu.
“Se-lamat pagi semuanya.” Sapa Naura tersendat ketika matanya tanpa sengaja bertabrakan dengan tatapan Abi yang terarah padanya.
Tentu saja Naura segera memalingkannya dan mengarahkannya ke seluruh penjuru kelas kemudian duduk di kursinya untuk memulai waktu pembelajaran hari itu.
Sesuatu yang Naura syukuri pada kelasnya hari itu adalah, tidak banyaknya diintrupsi yang dilakukan para mahasiswanya, terutama mengenai topik yang berkaitan dengan apa yang terjadi minggu lalu. Mungkin para mahasiswa itu sudah mendengar kabar lain yang juga beredar, mengenai Naura yang menjadi sangat galak dan tegas di kelasnya jika topik itu muncul di tengah waktu mengajarnya. Maka dari itu para mahasiswa menjadi takut, jika nilai dan absensi mereka terancam hanya karena membahas hal itu.
Hal itu terbukti, hingga Naura menutup kelas tidak ada seorang pun yang membahas prihal ucapan dan kejadian yang melibatkan Abi dan Naura di dalamnya. “Baik, sekian untuk kelas hari ini. Kita bertemu lagi minggu depan di waktu dan tempat yang sama.”
Nuara memutuskan untuk tidak berlama-lama di kelas itu. Setelah menutup kelasnya, sebelum para mahasiswa meninggalkan kelas itu berbondong-bondong, Naura sudah lebih dulu beranjak, membawa seluruh barang-barangnya meninggalkan kelas menghapus kesempatan untuk kejadian macam minggu kemarin terulang kembali.
Tapi tentu saja semuanya tidak akan berjalan semulus itu, kan? Karena meski kejadian yang sama sudah berhasil Naura hindari untuk tidak terulang, nyatanya.
“Naura!”
Abi mengejar Naura setelah wanita itu persis meninggalkan kelas.
Naura ingin sekali kabur dan mengabaikan seruan pemuda itu, dan Naura memang melakukannya sekali, tidak dua kali. Berpikir kalau dengan mengabaikan Abi, pemuda itu lantas menyerah dan membiarkannya pergi. Tapi nyatanya? Panggilan pemuda itu dengan menyerukan namanya terus berulang dan itu mulai menarik perhatian mahasiswa lain yang kini bukan hanya berasal dari kelas yang diajarnya, melainkan dengan cangkupan yang lebih luas dari itu.
“Naura, tunggu! Saya mau bicara!”
Wanita itu akhirnya berhenti melangkah, memejamkan matanya sejenak sebelum berbalik menghadap Abi yang rupanya berada hanya tiga langkah di belakangnya.
Naura sempat terkejut karena jarak pemuda itu yang tidak terlalu jauh, padahal Naura merasa sudah setengah berlari saat berusaha menghindari pemuda itu.
“Kamu!” Seru Naura penuh penekanan. Wanita itu berhenti, berupaya untuk tidak meluapkan kekesalannya melalui nada suara atau ucapan yang akan ia sampaikan pada Abi. Tidak. Setidaknya tidak di sana, di tempat umum dengan saksi mata yang ada di sekitar mereka.
“Panggil saya Ibu ketika di kampus. Kamu dengar peraturan yang saya sampaikan minggu kemarin di kelas, kan?”
Abi terdiam sesaat, terlihat membentuk kerutan kecil di keningnya sebelum menanggapi. “Bukannya kamu bilang itu cuma berlaku di dalam kelas, sementara setelah itu di luar kelas saya—kami boleh memanggil apa pun…”
“Saya ubah peraturannya. Kalian harus memanggil saya begitu selama di kampus, nggak ada pengecualian.” Sambar Naura cepat, menutup celah lain yang berusaha Abi ciptakan.
Lagi Abi terdiam, namun diamnya bukan karena pemuda itu tampak menyerah dengan keadaan, melainkan… ia tengah berusaha untuk memahami apa yang diinginkan lawan bicaranya.
“Sure, Bu Naura.” Ucap Abi lembut, sedikit mengejutkan Naura karena pemuda itu tidak mendebatnya.
“Ada yang saya harus bicarakan sama Ibu, jadi apa saya bisa minta waktu Ibu sebentar?”
Sial. Dengan permintaan Abi yang sopan seperti ini, Naura malah jadi bingung bagaimana menolaknya.