4-Malam Hari

1234 Words
"Kapan nikah?" Pertanyaan itu tentunya sudah menjadi asupan bagi Ezra dan Aryan. Seperti saat ini, mereka sedang berkumpul di ruang makan untuk makan malam. "Sayang banget makanan ini semua, kalah dengan pertanyaan, kapan nikah?" ujar Aryan sudah hilang selera. "Iya, cuma dengar pertanyaan itu sudah mengenyangkan perut," ucap Ezra menyetujui pernyataan abangnya. "Lebay," ucap Rangga mengejek kedua anaknya. "Ya, habisnya nanya itu terus," ujar Ezra sambil menyandarkan punggungnya di kursi. Hening untuk sesaat. "Yaa, kapan nikah?" tanya Rani sambil memandang Ezra dan Rangga. "Kapan-kapan," jawab Ezra dan Rangga tidak bersemangat. "Papa sama Mama sudah tua," ujar Rani. "Kalian sudah dewasa, nikahlah." "Pasangan suami-istri yang kompak." Rangga mengangguk setuju dengan pernyataan adiknya barusan. "Makan dulu aja deh," ujar Ezra. Mereka semua pun makan malam bersama. Hanya suara sendok dan garpu yang terdengar di ruangan itu. Pertanyaan itu selalu membuat Ezra dan Aryan tidak bersemangat. Pasalnya selalu ditanyakan setiap mereka pulang. Sebenarnya Ezra masih muda belum memikirkan sampai ke situ, hanya saja ia akan menjadi sasaran kedua setelah abangnya. Aryan pula selalu menjadi sasaran utama. Aryan memang sudah siap menikah, tapi bagaimana mau menikah kalau yang dinikahi saja tidak ada. Ia juga tidak mau pacaran lagi, sudah cukup rasa sakit ditinggal nikah tahun lalu. Pacaran lama-lama, tapi tidak bisa bersama. Begitulah, jika menjaga jodoh orang lain. "Adek capek mau langsung ke kamar aja," ucap Ezra. Makan malam memang sudah selesai. Ezra memang sudah sangat capek dan mengantuk. "Abang juga dah ngantuk," ujar Aryan. Rani dan Rangga hanya mengangguk. Mereka mengerti kalau putra dan putrinya pasti kelelahan. Dan mereka juga bisa melihat dari aura kedua anaknya yang tidak bersemangat setelah lontaran pertanyaan yang mereka tanyakan tadi. Sebenarnya mereka tidak mau menanyakan itu terus, tapi melihat usia mereka yang sudah tua, ada perasaan ingin memiliki tambahan anak yakni menantu dan juga sudah ingin menggendong cucu. Ezra dan Aryan pun meninggalkan ruang makan. Mereka berjalan bersama ke atas menuju kamar masing-masing. "Tos," seru Aryan semangat dan Ezra pun tak kalah semangat saat tos dengan abangnya. "Akting yang selalu berhasil," kekeh Ezra yang diangguki Aryan. Ezra dan Aryan memang tidak sungguh-sungguh mengantuk. Dan mereka hanya pura-pura tidak bersemangat hanya untuk menghindari persidangan tentang kapan nikah. Mereka selalu merasa tegang tiap kali pertanyaan itu dilontarkan. Sebenarnya bisa saja santai menanggapi itu cuma orang tua mereka selalu berhasil menyudutkan. Alhasil mereka sepakat untuk berpura-pura. "Ya udah, Abang ke kamar mau selesaikan pekerjaan," ucap Aryan yang diangguki Ezra. Mereka pun berpisah arah karena letak kamar mereka yang berbeda. Ezra masuk ke dalam kamarnya yang luas. Ada tempat tidur dengan ukuran king size yang selalu menghipnotis dirinya untuk rebahan hingga ketiduran. "Udah, gak osa manggil gitu. Aku paham kok," ucap Ezra memandang kasurnya. Ezra pun merebahkan badannya di atas kasur. Memejamkan matanya sambil menghembuskan napas kasar. 5 menit berlalu, Ezra pun membuka matanya. "Mandi dulu deh," ujar Ezra. Ezra memang belum mandi sore tadi, biasanya kalau sudah di rumah orang tuanya, ia selalu mandi sebelum mau tidur. Berjalan menuju kamar mandi. Namun, langkah kakinya terhenti kala melihat sebuah kota di bawah meja. Kotak yang selalu saja berhasil membuat air mengalir dari matanya. Ezra memutuskan untuk mengambil kotak tersebut. Belum membukanya, ia masih memandang dan mengingat sesuatu. Air matanya pun menetes kala sudah mengingat hal yang menyakitkan. Ia selalu terlihat lemah jika sudah sendirian apalagi dihadapkan dengan kotak yang sedang ia pegang. "Ahh, sudah. Aku tidak ingin membuka," lirih Ezra. Entah apa yang ia maksud tentang membuka. "Sakit," ucapnya sangat pelan. Ezra mengusap air matanya. Sesuatu yang menyakitkan jika teringat memang memilukan apa lagi jika bukan tentang kenangan. "Kamu pergi dengan meninggalkan jejak-jejak yang indah. Kini, berubah menjadi kenangan," ucapnya lagi. Ezra pun meletakan kembali kotak yang tidak terlalu besar tersebut di bawah meja. Tempat yang sedikit tersembunyi karena berada di bawah hanya saja matanya selalu mengingatkan keberadaan kotak tersebut. Tak lupa ia menutupi kotak itu dengan selembar kain. "Ok, aman." Ezra pun bergegas ke kamar mandi. Tidak ingin lama-lama mandi, ia hanya membutuhkan waktu 15 menit. Ezra keluar dari dalam kamar mandi dengan baju tidur dan wajah fresh, rambut tergerai, tapi tidak basah. "Ke balkon kali ya sebentar," ucap Ezra. Sepasang kakinya pun berjalan menuju balkon. Duduk di kursi yang tersedia. Ezra memandangi rembulan yang bersinar terang di angkasa. "Selalu menyejukan mata," ujar Ezra tersenyum. Ezra memang penikmat pemandangan alam hanya saja pekerjaannya membuat ia sulit untuk travelling. "Sambil ngopi enak kali ya." Ezra pun menelpon seseorang. "Bawa juga untukmu," ucap Ezra memberitahu seseorang lewat sambungan telpon. Setelah itu, sambungan telpon pun selesai. Memejamkan mata menikmati sejuknya angin malam ditemani secangkir kopi memang selalu nikmat apa lagi jika ada teman. "Non," panggil seseorang membuyarkan pemikiran Ezra. "Duduk," titah Ezra yang diangguki ART di rumahnya. ART itu bernama Ica berusia lebih muda 2 tahun dari Ezra. "Bawa cemilan juga kan, Ica?" tanya Ezra masih memejamkan mata. "Iya, Non." Ezra membuka matanya. Yang pertama ia lihat adalah gadis cantik yang berada di sebelahnya. Lalu, matanya menyorot secangkir kopi. "Gak sibukkan, Ica?" "Enggak kok, Non." Ezra pun mengangguk. Tangan Ezra meraih cangkir kopinya, meniup agar hangatnya mereda. Lalu, menyeruput dengan nikmat. "Minum, Ica." Ezra memandang Ica yang mengangguk sambil tersenyum. "Kamu tahu apa tentang rasi bintang?" Ezra bertanya seperti itu karena ia tahu, Ica adalah gadis cerdas. Ica tampak memikirkan sesuatu, "Terdapat sekitar 88 rasi bintang yang resmi diakui oleh International Astronomical Union, tapi, tidak semua rasi bintang bisa kita lihat. Beberapa dari mereka hanya terlihat di belahan bumi utara, sementara yang lainnya hanya terlihat di belahan bumi selatan." Ezra mengangguk mencoba mengikuti pembahasan yang ia coba buka. "Tentang rasi bintang yang memiliki arti beruang, kamu tahu?" tanya Ezra. Ica memikirkan terlebih dahulu maksud dari pertanyaan Ezra. Lalu, ia mengangguk paham. "Ada 2 rasi bintang yang memiliki arti beruang. Ursa Major yang memiliki arti dalam bahasa latin yakni beruang besar, terletak di langit utara, merupakan rasi bintang terbesar di langit utara dan termasuk rasi bintang terbesar ke-3 di langit. Bintang-bintang yang paling terang pada Ursa Major membentuk asterisme biduk, suatu pola bintang yang paling dikenal di langit." Ica mulai menjelaskan yang ia ketahui sambil memandangi langit yang cerah tentunya ada rembulan dan bintang-bintang. Ezra pun ikut memandangi langit sambil terus mendengarkan penjelasan Ica. Ia selalu suka dengan cara penyampaian Ica. Menurut Ezra, Ica sangatlah cerdas karena itu ia meminta kepada orang tuanya untuk menguliahkan Ica. "Lalu, ada Ursa Minor biasanya berada di dekat Ursa Major. Rasi bintang yang memiliki bentuk yang hampir mirip dengan Ursa Major. Hanya berbeda ukuran dan panjang ekornya aja. Ursa Minor berukuran lebih kecil dan ekornya jauh lebih panjang. Oleh karena itu, Ursa Minor sering disebut sebagai beruang kecil." Ica pun berhenti lalu mengalihkan pandangannya ke samping untuk melihat respon anak dari majikannya. Menurut Ica, sosok Ezra adalah wanita paling baik dan berperan dalam hidupnya. Sudah cantik dan hobi membantu orang tanpa balasan. Hening untuk sesaat. "Bagaimana kuliah kamu?" tanya Ezra sambil memakan cemilan yang dibawa oleh Ica. "Baik, Non." "Sudah ada pacar?" telisik Ezra. Ica kaget lalu senyum malu-malu. "Ahh, ekspresimu sudah cukup menjawab pertanyaanku. Lagian, siapapun pasti kagum padamu, sudah cantik, cerdas pula," ujar Ezra. "Tidak kok, Non. Hanya sebatas teman dekat saja," ucap Ica. "Teman, tapi demen ya," kekeh Ezra. Ica pun ikut terkekeh. "Langsung suka, katakan saja padanya. Kita gak akan tahu hasilnya kalau tidak mencoba." Ica memikirkan sejenak ucapan Ezra barusan lalu mengangguk menyetujui. "Tapi ingat, kuliah harus yang bener-bener. Jangan cuma karena perasaan itu, jadi terganggu," ucap Ezra memperingati. "Baik, Non." Ica pun mengangguk mengiyakan nasihat Ezra.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD