Satu

1214 Words
Inspirasi bisa datang dari mana saja. Bisa saat menatap langit, saat mendengarkan ombak di laut, atau saat berburu dan mengamati pohon-pohon besar di hutan berhunikan binatang buas. Bagi pelukis, elemen-elemen alam sering kali dijadikan tujuan karyanya. Bagaimana tidak, keindahan yang tak ada habisnya di muka bumi bisa menjadikan satu dari banyak sumber inspirasi. Pemandangan di alam yang awalnya hanya di nikmati oleh penglihatan atau pendengaran, bisa membuat pelukis menjadikan tangannya ikut bekerja. Mencoret warna demi warna membentuk apapun yang ada dalam bayangannya, bahkan berlaku untuk lukisan abstrak sekalipun. Tidak hanya itu, inspirasi juga tak jarang berasal dari seseorang ahli yang menekuni bidang itu sendiri. Dalam satu aliran lukisan yang muncul pertama kali pada tahun 1980an, Claude Monet menunjukan satu karya besar dengan terciptanya sebuah adegan di pelabuhan Le Havre yang terletak di Prancis Utara. Dunia menyebutnya aliran Impresionisme. Uniknya, Monet melukis karya yang di beri judul “Impression, Sunrise” itu dari jendela Hotel de l’Amirauté di Le Havre. Konon jendela kamar nya menghadap ke pelabuhan Le Havre saat pemandangan matahari terbit menghiasi penglihatannya, membuatnya dengan mudah menuangkan pemandangan di depannya ke dalam lukisan di atas kanvas. Walau lukisan itu dibuat bukan dengan tujuan memperlihatkan pelabuhan Le Havre yang akurat, Monet mampu merekam kesan pertama saat dia melihat pemandangan matahari terbit itu. Seperti yang dikatakannya tentang Impresionisme, aliran seni lukis itu memang berbicara tentang penggambaran yang sesuai dengan kesan saat satu objek di lukis. Bahkan Monet mampu memberi kesan sederhana tentang ikan-ikan yang di lukisnya hanya dengan satu goresan kuas. Tak lupa dengan garis-garis yang membentuk pohon, perahu dengan dua orang di dalamnya dan pantulan matahari di atas air membuat semua elemen itu berpadu, kemudian terlihat bernyawa dan bermakna tanpa harus memperjelas objek salah satunya. Bagaimana bisa, lukisan yang hanya terlihat sebatas sketsa sederhana mampu di nobatkan sebagai karya yang luar biasa indah, bahkan menjadi salah satu masterpiece-nya. Lalu dengan mudah membuat para penikmat seni dengan takjubnya melihat lukisan yang hanya terlahir dari beberapa perpaduan warna itu. Tidak ada hal lain yang menjadi penyebabnya selain karena seni yang berbicara. Pelukis hebat mampu memberi sudut pandang keseluruhan lukisan tanpa detail dan teknik yang berlebihan, dan itulah yang di lakukan seorang Claude Monet dalam semua lukisannya. Namun pelukis yang justru memperlihatkan aliran, detail dan teknik sempurna juga tidak bisa dilupakan sebagai pelukis yang sama hebatnya. Seperti yang dilakukan Leah Schultz, ia menghabiskan hidupnya hanya untuk melukis dan melukis. Mimpinya adalah menjadi seorang Claude Monet walau dirasa ia tak akan pernah mampu menandingi sang legenda di dunia pelukis itu, aliran yang dia sukai juga berbeda dengan Monet. Ia hanya menikmati saat ia mampu sedikit belajar dari cara Monet menumpahkan cat di atas kanvas, layaknya lukisan Monet berjudul “La route de Vétheuil, effet de neige” yang menjadi favorit Leah setelah “Impression, Sunrise”. Sudah terlalu banyak Leah mengingat lukisan mana yang terlihat buruk milik Monet dan dia ternyata tak mampu menemukannya, jadi kini giliran dirinya yang menatap lekat satu-satunya hasil lukisan yang sudah pantas di sebut sebagai masterpiece-nya. Merasa bangga lukisan yang ia kerjakan selama satu minggu penuh itu akhirnya mampu bersanding dengan para pelukis muda hebat dari berbagai belahan dunia di salah satu galeri seni di New York. Saat pameran kedua di adakan, -yang pertama adalah saat musim dingin kemarin- Leah tak berhenti menyunggingkan senyuman manisnya pada semua orang yang ia temui di galeri. Bersikap ramah sepanjang pameran berlangsung pada orang-orang yang tak berhenti memuji hasil karyanya. Kesempatan yang Leah dapatkan itu ternyata membuka jalan yang besar bagi karir nya dan ia tak sabar untuk menghadapi hari-hari penuh semangat itu nantinya. Scott Dimm Hubacher, pemilik Dimm Hubacher Gallery yang mengadopsi lukisan Leah menawarkan tawaran besar yang tak mungkin ia tolak. “Apakah kau juga akan tidur sambil menatap lukisan itu?” Randall Schultz yang baru tiba di rumah membangunkan Leah dari mimpinya yang nyata. Faktanya memang ia tak mampu mengalihkan pandangan dari lukisan itu beberapa hari ini. Ia merasa harus terus memandangi karya terbesarnya sebelum lukisan itu akan di pajang selamanya di galeri milik Scott. “Kau tidak lelah menggoda ku, Dad?” Tanpa sadar Leah membenarkan posisi duduknya yang sejak tadi belum berubah. “Pergi lah dari lukisan itu setidaknya selama satu jam. Kau akan lebih menyesal kalau tiba-tiba saja itu rusak dan tak bisa di pajang lagi seperti waktu itu di galeri.” Leah tampak berpikir, “Kau benar, aku berlebihan kali ini.” Kemudian langsung beranjak dari hadapan lukisannya yang besar itu. “Wah… Tulang di badanku terasa akan lepas sebentar lagi.” Ayah Leah mengeluh begitu duduk di kursi berlengan kesukaannya. “Sudah ku bilang kau sebaiknya tidak pergi ke kampus hari ini.” “Bukan karena itu. Ini adalah bukti bahwa aku tidak bisa hidup di New York.” Leah tersenyum masam mendengar Randall Schultz mengatakan itu. Sindiran halus yang dikatakannya tentu sangat di pahami Leah. Menurut ayahnya, New York terlalu bising dan ramai untuk orang tua seperti dirinya. Sehingga hidup di Texas adalah sebuah kebenaran yang tak akan pernah disesali Randall. Randall Schultz tentu hadir dalam acara penting putrinya tiga hari lalu di New York. Walaupun ia merasa sesak diantara semua pengunjung galeri, ia tidak bisa melewatkan kesempatan melihat Leah tersenyum sepanjang hari. “Dad, aku tidak berniat menyuruhmu tinggal di New York.” Leah mengikat rambut berwarna ashy brown nya yang hanya sebatas bahu -ternyata sudah sampai di bawah bahunya- dan hendak pergi ke dapur. Namun ia tidak mendengar Randall menanggapi perkataannya tadi, ternyata Randall tertidur di kursi. Walaupun umurnya sudah tidak muda lagi, napas Randall sangat teratur saat tidur dan itu membuat Leah lega. Sejak tawaran Scott hari itu, tidak bisa di sangkal bahwa Leah mengkhawatirkan Randall. Dia tahu ayahnya akan baik baik saja saat ia tinggal di New York nanti, namun hati nya cemas. Ia tidak terbiasa hidup jauh dari Randall sejak mereka bersama-sama. Leah juga tak terbiasa saat nanti tak akan membuat kan sarapan seperti yang selalu dilakukannya setiap pagi, atau ketika Randall meminta Leah untuk menjemputnya di kampus saat lelah dan tak kuat mengemudi, kebiasaan-kebiasaan itu yang akhirnya membuat Leah sedikit merasa bersalah dengan keputusannya. Leah kembali teringat ketika wajah Randall berubah pucat begitu dia membicarakan rencana kepindahan nya ke New York dan mempertahankan keputusan itu. “Kebanyakan pekerja seni terlahir dari sana, dan aku tak mungkin melewatkan kesempatan ini begitu saja. Kau tahu apa yang aku inginkan, Dad.” “Aku akan mengabdi padamu sepanjang hidupku jika kau mengijinkan aku melakukannya. Aku berjanji. Lagi pula aku tidak akan seumur hidup tinggal di New York, ini hanya sementara dan kau tidak perlu mencemaskan aku.” “Aku juga bisa mewujudkan keinginan mu di sini.” Wajah Randall memelas. “Dengan kegiatan mu yang sangat banyak di kampus? Tidak, itu tidak mungkin Dad. Scott berpikir akan lebih mudah untukku mengurus semua pameran dan kegiatan jual beli lukisan jika seandainya aku tinggal di New York, dan dia akan menjamin lukisanku akan terus ada dalam setiap pamerannya.” Lalu tiga detik kemudian ia mendapati raut wajah Randall yang berpikir, seakan-akan memang Randall tak punya pilihan lain selain berkata iya. Leah merasa ayahnyanya lah yang lebih sibuk saat mempersiapkan semua keperluan dirinya. Mulai dari mencarikan apartemen, mencarikan tempat yang nantinya akan menjadi studio lukis kecil milik Leah, dan segala sesuatu yang di butuhkan gadis itu selama hidup jauh dari Randall.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD