Prolog

361 Words
Jalanan mulai gelap namun tidak sepi, malah terasa semakin ramai dan padat. Taxi, mobil pribadi, bus dengan atap yang terbuka, bahkan sepeda mulai berseliweran memadati jalanan di hadapannya. Ia bisa merasakan perubahannya, karena sudah cukup lama duduk di tempat itu. Sejak langit masih cerah sampai lampu-lampu gedung mulai semarak menerangi jalan, ia tidak bisa pergi dari tempat yang biasa ia lewati bersama seseorang yang kini sedang tidak bersamanya itu. Bukan tanpa alasan ia duduk di pinggiran toko yang agak kotor dengan tatapan kosong dan terlihat mirip pengemis. Tetapi tentu tidak akan ada yang percaya karena ia sedang menggenggam satu komputer tablet, dan tidak ada pengemis yang melakukan itu. Benda kotak yang masih ada di genggamannya tidak menampilkan layar bergaris seperti yang seharusnya ia kerjakan saat ini. Layar malah memperlihatkan semua bidikan amatir lukisan-lukisan yang selalu membuatnya terkesan, yang selalu berhasil memanjakan matanya. Tidak ada yang lain di pikirannya selain membayangkan kapan ia bisa melihat semua lukisan itu secara langsung lagi, lebih tepatnya kapan ia bisa melihat lagi seseorang yang membuat semua lukisan ini. Ia mulai berdiri, menghampiri lampu jalan dan bersandar di sana. Suara-suara di sekelilingnya mendadak tak bisa terdengar, padahal jelas-jelas jalanan New York tak pernah bisa hening barang satu detik. Baru kali ini ia merasa bisa memblokir pendengarannya dari suasana jalanan New York hanya karena sibuk memandangi satu bangunan kecil di hadapannya. Matanya terasa berat sampai tak bisa teralihkan di saat orang-orang tak berhenti berlalu-lalang di sekitarnya, tapi ia sama sekali tak tertarik melihat ke arah lain. Ini adalah hari ke tiga ia melakukan hal yang sama namun yang di lihatnya bangunan kecil itu tetap gelap, tak ada orang di dalamnya dan tulisan di atas pintu yang seharusnya menyala juga memilih untuk tetap redup. Akhirnya ia menarik napas panjang diantara para pejalan kaki yang juga tengah berebut udara. Perlahan setelah paru-parunya terisi, ia merasakan suara di sekitarnya kembali. Diantara riuh nya malam New York, yang kini jelas terdengar justru suara hatinya. Hati dan pikirannya tidak ingin dibantah bahwa ternyata ia merindukan orang itu dan tak seharusnya ia membiarkan perpisahan kembali menyerang kehidupannya. Ia tak bisa berdamai dengan perasaan ini lagi setelah apa yang ia cari, dengan mudah merubah hidupnya. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD