Bab 3: Rumah yang Nyaman

980 Words
"Apa yang kamu lakukan di sini, Victoria?" Alaric bertanya padanya. Dia menatapku dari atas ke bawah sejenak sebelum kembali berbalik ke arah Alaric dengan senyum palsunya. Victoria mulai membelai lengannya dan itu membuatku merasa risih. Alaric berjalan melewatinya dan dia segera mengikutinya menuju serambi. Dia mencoba menutup pintu itu dengan kasar ke arahku dan hampir membuat kepalaku terbentur. Aku mengikuti mereka dari belakang sambil menggerutu dalam hati. "Aku sedang menunggumu, sayang. Aku sangat khawatir ketika mengetahui kau pergi menemui para penyihir itu," ucapnya dengan nada yang memuakkan. "Seperti yang kau lihat, aku baik-baik saja. Ini Raven. Dia akan bekerja untukku," jelas Alaric yang kemudian menoleh padaku, "Raven, ini Victoria." Dia hanya menyebutkan namanya, tanpa menjelaskan lebih lanjut. Itu membuatku menerka-nerka siapa wanita ini sebenarnya. Pacarnya, mungkin? Sungguh tidak cocok, dia tidak terlihat pantas untuk menjadi pacarnya. Apa yang aku pikirkan, ucapku dalam hati, aku bahkan tidak mengenalnya. Wanita itu menatapku dengan penuh ketidak sukaan. "Kau membawa penyihir ke sini?" tanya Victoria, Alaric terlihat tidak senang ada yang mempertanyakan tindakannya. "Seperti yang kau lihat. Aku adalah seorang Alpha, dan aku berhak melakukan apapun yang kumau, "katanya dengan suara jengkel. "Tentu saja," jawab Victoria dengan patuh. "Ada yang harus aku diskusikan dengan Raven, Victoria," kata Alaric yang secara tidak langsung mengusirnya. Sekilas ia terlihat sakit hati atas ucapan Alaric tetapi dengan cepat disembunyikannya saat dia mengangguk padanya. Salah satu anggota kawanan mengetuk pintu untuk menanyakan sesuatu kepada Alaric dan saat mereka sedang berbicara, Victoria menoleh ke arahku dengan ekspresi jijik yang tak tanggung-tanggung. Dia meraih lenganku dengan cengkeraman yang menyakitkan dan seketika itu juga amarahku memuncak atas perlakuannya. Aku bisa saja membuatnya menghilang dengan satu jentikan jari jika aku mau, tapi aku terus mengingatkan diriku sendiri bahwa aku sedang berada di situasi yang tidak tepat sekarang. "Dia milikku, penyihir. Kau tidak akan lama di sini, jadi camkan itu. Dia tidur satu ranjang denganku dan akulah yang akan menjadi pasangannya. Jangan pernah sekalipun berpikir untuk menyentuhnya," dia memberitahuku dengan berapi-api. "Dia sudah besar, Vicky, aku rasa dia bisa membuat pilihannya sendiri. Tapi kekhawatiranmu tetap akan kuingat kok," jawabku manis dengan nada nyinyir. Matanya melotot mendengar apa yang baru saja aku katakan lalu ia mendekatkan dirinya padaku. "Jangan pernah memanggilku seperti itu lagi. Ini terakhir kalinya aku memperingatkanmu. Jadi awas saja, penyihir," dia berbicara dengan penuh amarah. Aku melepaskan lenganku dari genggamannya dan berdiri tegak di hadapannya. "Aku yakin sang Alpha tidak peduli padamu," kataku. Dia terlihat seolah akan menerjangku saat Alaric mendatangi kami. "Beri tahu aku jika kamu butuh bantuan untuk menangani penyihir ini, Sayang. Kamu bisa datang padaku kapan saja," ucap Victoria pada Alaric sambil mengusap pipinya. Alaric hanya menggelengkan kepalanya saat Victoria berjalan pergi, dia sendiri terlihat muak dengan kelakuannya. "Sepertinya dia gadis yang manis," kataku sinis. Alaric menatapku bingung, dia tidak mengiyakan pernyataanku barusan. "Ayo, aku akan memberimu sedikit tur singkat," jawabnya sambil menarik lenganku. Tangan kekarnya menggenggam erat tanganku dan menyelimutinya dengan kehangatan. Ada perasaan geli yang muncul saat dia menyentuhku namun aku berusaha keras untuk mengabaikannya. Dia menuntunku menuju arah sebelah kiri dari pintu masuk dimana terdapat ruang tamu yang begitu indah. "Ini adalah ruang tamu utama, lalu lewat sini adalah ruang makan dan kemudian dapur," dia memberitahuku dengan cepat sembari menarik lenganku melewati setiap ruangan, nyaris tidak membiarkanku memperhatikan penjelasannya terlebih dahulu. Kemudian kami bergerak menuju dapur yang terlihat sangat mewah dengan dipenuhi lapisan baja anti karat dan marmer putih di sepanjang lorongnya. "Ruang untuk menyimpan sepatu ada di sebelah kiri, lalu ada ruang kantor, kamar tamu dan kamar mandi. Setelah itu ada ruang pertemuan. Di sinilah pertemuan dewan dan pertemuan besar lainnya dilangsungkan," jelasnya. Aku melihat ke sekeliling ruangan besar itu yang diatur hampir seperti ballroom. Terdapat lampu gantung besar di atasnya dan lantai yang luas di tengah-tengahnya. Di ujung ruangan terdapat meja besar berbentuk setengah lingkaran yang terbuat dari kayu tua dengan beberapa kursi di sekelilingnya. "Rumahmu terlihat begitu indah," kataku pelan. Aku tidak terbiasa dengan kemewahan seperti ini, membuatku merasa sedikit tidak nyaman. "Terima kasih. Ini sudah dimiliki keluargaku selama beberapa generasi. Setiap Alpha baru merombak dan menambahkan sentuhan mereka sendiri, tetapi strukturnya sendiri tetap sama," jawabnya. Seketika ada keheningan singkat dimana kita terlihat seperti sedang saling membaca bahasa tubuh satu sama lain. Dia terlihat seperti seseorang yang siap menerkamku kapan saja, dan aku mungkin terlihat seperti seorang mangsa yang siap untuk berlari keluar tanpa pernah kembali. Tetapi aku yakin hal itu tak akan pernah kulakukan. "Sekarang mari kutunjukkan kamarmu," katanya, memecah kesunyian. Dia menarikku menaiki tangga, langkahnya yang panjang membuatku sedikit kesulitan untuk mengikutinya. Dia membawaku melewati sebuah lorong menuju kamar tidur dan mengantarku masuk. "Aku rasa ini sesuai dengan kebutuhanmu," katanya. Aku melihat sekeliling dan itu benar-benar indah. Tempat tidur dengan empat tiang besar yang berada tepat di tengah ruangan, dilengkapi selimut dan bantal yang tebal. Ada sudut baca kecil di dekat jendela yang didekorasi dengan warna pink pucat dan warna abu-abu yang kontras. Ini ruangan yang sangat feminin dan diam-diam aku menyukainya. Namun, aku tidak ingin memperlihatkan kegembiraanku padanya. "Sesuai kebutuhan tidurku? Ya, aku rasa ini cocok," balasku. Dia perlahan berjalan ke arahku dan aku mundur sampai lututku menyentuh tempat tidur. Dia mendekat dan menarik nafasnya dalam-dalam. Orang ini benar-benar suka mengendusku, kurasa. "Kau pandai bicara juga, Raven. Tapi aku rasa mulutmu itu tidak sepenuhnya kau manfaatkan" bisiknya dengan suara menggairahkan. Bibirnya begitu dekat sehingga hampir bersentuhan dengan bibirku, dan aku menghela napas pendek. Dia membungkuk dan membelai rambutku. Aku hanya diam mematung, terhipnotis oleh apa yang dilakukannya. Aku merasa tak berdaya dan berusaha meyakinkan diriku sendiri bahwa aku tidak menikmati kejadian ini. Tapi jauh di lubuk hatiku aku sadar bahwa itu tidak benar. Ada sesuatu yang membuatku terpikat padanya, sesuatu yang tidak bisa kujelaskan. Aku gemetar karena ia dekat sekali dan sedikit menggeram. Aku ingin menggapai dan menyentuh wajahnya, membuka bibirku agar ia bisa menciumku. Memang akulah yang penyihir, tetapi justru aku sendiri yang terpikat pengaruh mantera sihir sang Alpha.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD