Malam Pertama

1011 Words
Gia terduduk di tepi ranjang. Matanya sembap, tubuh gemetar, kedua tangan mencengkram tepian ranjang. Masih jelas diingatanya, bagaimana Kevin mencumbu Zahra dengan sangat liar. Bagaimana desahan itu terngiang-ngiang di kepala. Gia mencengkram ujung seprai semakin kuat, tak ada lagi barang di kamar ini yang bisa jadi pelampiasannya. Semua sudah hancur tak bersisa, kamar yang di dekorasi sangat indah dan romantis itu berubah seperti habis di hantam tsunami. "Kamu jahat Kak, b******n kalian!!" teriak Gia, mengacak-ngacak rambutnya. Ia terus mengumpat dengan histeris. Beruntungnya kamar hotel ini kedap suara jadi tak ada yang akan tahu. Gia mendesah pelan, menormalkan deru napasnya yang menggebu karena emosi yang terus bergejolak. Ia menundukkan kepala menatap ujung kakinya. Apa kurangnya aku dibanding Zahra? Bodoh! Gia tersenyum kecut, harusnya dia tak perlu sekacau ini. Bukankah dia sudah tahu kalo keduanya memang menjalin hubungan dibelakangnya, bahkan sejak dulu sebelum mereka menikah. Di saat Gia merenungi keadaannya tiba-tiba pintu kamarnya terbuka, dia menoleh. "Kupikir kamu akan menghabiskan malam pertamamu bersama p*****r itu?" Gia tersenyum sinis, saat Kevin masuk dan langsung mengunci pintu. "Ahh ... aku lupa bukankah ini bukan malam pertamamu, mungkin sudah kesepuluh, keseratus, atau keseribu?" Gia menyeringai, menaikkan sebelah alisnya. "Terserah apa katamu Anggia putri." Kevin mendekat tangannya dimasukkan ke dalam saku celana.  "Kalo kamu pikir aku ke sini untuk menghabiskan malam denganmu ... kamu salah. Aku ke sini cuma mau bilang ke kamu ...." Gia mendongak menatap nyalang Kevin yang berdiri didekatnya. " Aku sudah menikah dengan Zahra, jadi jangan terlalu berharap dengan pernikahan ini!" Kevin berbalik hendak pergi. "Jadi kamu ke sini cuma mau bilang kalo aku secara gak langsung istri keduamu, dan jalang itu istri pertamamu begitu?" Hati Gia hancur, harapannya pupus. Malam yang harusnya jadi malam terindah dalam hidupnya justru jadi malam paling mengerikan dalam hidupnya. "Mungkin?" Kevin berbalik, menatap Gia dengan datar. Tak ada kasihan sedikitpun meski melihat wanita itu sekacau dan serapuh saat ini. "Pernikahan 'kan yang kamu mau? Dan sekarang kita sudah resmi menikah. Jadi ... Aku harap kamu gak perlu urusi kehidupanku, aku sudah penuhi keiinginanmu jadi tahu dirilah!" Kevin pergi setelah mengucapkan kata-kata menyakitkan itu, bahkan ia tak peduli dengan respon Gia. **** Malam berganti pagi, tapi Gia masih diposisinya duduk di lantai bersandar pada tepi ranjang. Semalaman suntuk ia tak tidur sama sekali. Matanya kian sembap bahkan dia masih mengenakan gaun pengantin. Tok tok tok Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan Gia, cepat-cepat ia menyeka air matanya, membenahi penampilan yang begitu kacau. "Gia," panggil orang diluar sana. "Iya Ma," jawab Gia, berjalan dengan terhuyung menuju pintu. "Ada apa, Ma?" Gia membuka sedikit pintu kamar menyembulkan kepalanya, dan sudah ada mama mertuanya berdiri di depan pintu. "Kamu belum siap? Semua orang sudah menunggu untuk sarapan. Kevin juga sudah di bawah," ujar mama mertuanya. "Em ... maaf Ma, Gia kesiangan. Kalo begitu Gia mandi dulu Ma." Gia pun hendak menutup pintu tapi mama mertuanya menahan pintu itu dan mencoba untuk masuk, tapi dia menahannya agar mama mertuanya tidak masuk. "Ada apa, Ma?" tanya Gia, kembali menampakkan wajahnya di celah pintu yang terbuka sedikit. "Apa ada masalah?" tanya mama Kevin tampak khawatir. Gia menggeleng. "Aku gak apa-apa Ma, aku mandi dulu ya, Mama ke bawah saja dulu," ucap Gia, mamanya mendesah pelan. "Kamu yakin, gak mau mama temenin?" Gia menggeleng. "Ya, sudah mama ke bawah dulu" Gia mengangguk lalu menutup pintu kamarnya bersandar pada pintu yang tertutup rapat. Seandainya Mama tahu sebejat apa putra Mama, apakah Mama masih bisa menampilkan raut wajah khawatir itu padaku? **** Sarapan pagi ini begitu canggung untuk Gia, ia duduk di samping Kevin. Pria itu terlihat biasa saja seperti tak terjadi apa-apa. Bahkan wajahnya begitu berseri seolah-olah ia habis melakukan hal indah. Berbanding terbalik dengan Gia, pagi ini ia tampil polos, pucat seperti zombi. Tanpa riasan make-up dengan mata sembap dan kantung matanya. "Kamu sakit nak?" tanya papanya yang sedari tadi memperhatikan Gia, gadis itu tak seperti biasanya ceria. Hari ini ia terlihat murung bahkan ia tak bersuara sejak tadi. " Gak kok pa." Gia menggeleng, mengulas senyum tipisnya yang terpaksa. "Muka kamu pucet lo?" tanya papa, masih menatap Gia. " Mungkin efek kurang tidu pa," jawab Gia. "Efek digempur Kevin semalaman itu mas, ah mas ini kaya gak pernah muda aja," sahut papa mertua Gia, dengan kelakarnya. " Oh ya, yaa. Kalo gitu buatin papa cucu yang banyak," ucap papa Gia. Gia hanya bisa tersenyum kecut. Digempur? Bahkan putramu tidak pulang semalam lebih memilih kumpul kebo dengan jalangnya. Mereka pun kembali makan, dengan percakapan yang lebih didominasi oleh orangtua Kevin dan papanya. Gia melirik sekilas Kevin bahkan pria itu terlihat sangat tenang. Munafik. *** Setelah makan Gia memutuskan langsung pergi kembali ke kamar, rasanya matanya butuh untuk dipejamkan setelah semalaman ia begadang merutuki nasibnya. Gia masuk ke dalam kamarnya dan tanpa sadar Kevin mengikutinya di belakang. "Jangan pernah tampilkan muka menyebalkan itu di hadapan semua orang," celetuk Kevin, Gia pun sontak berbalik. "Kenapa? Apa urusannya dengan lo?" Gia mendecih, tak ada lagi gadis lembut, gadis manja seperti dulu. "Terserah, kecuali lo mau semua orang tau." Gia tertawa sumbang, menatap Kevin yang tengah menatapnya datar. "Lo takut? mereka tau kebusukan lo?" Gia berbalik, berjalan menuju ranjang, ia merebahkan tubuhnya yang letih. "Jaga sikap lo, kecuali lo mau gue batalin pernikahan ini," ancam Kevin lalu pergi membanting pintu dengan kerasnya. Gia memejamkan matanya. Apa aku menyesal? Tapi ini pilihanku? Ia masih tak menyangka Kevin, pria yang ia puja selama dua puluh tahun bisa sekejam ini. Pria yang dulu selalu melindunginya, selalu memeluknya saat ia menangis pria itu berubah semenjak kedatangan Zahra diantara mereka. " Kak, jangan di sini nanti ada yang liat?" rengek Zahra saat kevin menciumnya dengan brutal. "Gak akan ada yang ke sini," jawab Kevin, karena keduanya sedang berada di gudang sekolah. " Kalo Gia liat gimana?". Tanya zahra, tangannya mendorong d**a kevin. "Gue gak peduli, udahlah ngapain ngurusin si manja itu, yang gue mau saat ini cuman lo". Dan tanpa membantah zahra pun pasrah, membiarkan kevin mencecap bibirnya, tangannya menggerayangi dadanya. Ciumannya turun keleher, tangannya membuka kancing seragam zahra dan menelusup kebelakang punggungnya. Mencari pengait bra, tanpa pernah mereka sadari ada hati yang hancur menatap nanar tindak tak senonoh itu. " Harusnya lo gak pernah hadir zahra," Gumam gia, menyeka sudut matanya. Gia merutuki kembali kebodohannya, dibutakan oleh cinta membuatnya jadi wanita paling bodoh. Menutup mata akan semua itu, ia pikir jika mereka menikah maka kevin akan berhenti berhubungan dengan zahra. Tapi nyatanya mereka justru sudah melangkah sangat jauh. Dan kini justru gia yang jadi duri diantara keduanya. "Kenapa?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD