Perempuan Pembawa Sial

1537 Words
“Kamu yakin mau menikahi perempuan pembawa sial itu?” ucap Linda sambil merapikan pakaiannya setelah puas b******u dengan Geno di dalam ruangan kerjanya. Perempuan cantik dan sexy itu segera mengoleskan kembali lipstik di bibirnya lalu tersenyum pada pria yang memiliki tubuh tinggi dan atletis dengan wajah cukup tampan. “Menurutku, adikku Marina adalah perempuan pembawa sial. Kecantikan wajah dan fisiknya selalu membuat banyak kesusahan untuk orang-orang yang dekat dengannya.” Geno ikut merapikan kemejanya dan rambut yang telah diacak-acak Linda beberapa waktu lalu. Ia hanya membalas senyuman perempuan yang ia jadikan teman tapi mesra. “Kamu cemburu?” Geno balik bertanya sambil mendelik nakal. Linda hanya memutar bola matanya seolah meremehkan pernyataan Geno. Berteman dengan Linda memberikan banyak keuntungan untuk Geno. Selain dekat dengan anak pemilik perusahaan, tapi juga bisa memberikan kesenangan sesaat ketika Geno tengah tak memiliki kekasih. Tak ada cinta diantara mereka karena mereka hanya bertemu saat sama-sama tengah butuh perhatian. “Terserah kamu kalau memang ingin tetap menikahi Marina tapi ingat, jangan sampai menyesal ya, aku sudah memberitahumu sejak lama. Yang pertama yang harus kamu lakukan adalah membuat Marina menerimamu dulu, adikku itu tengah depresi karena patah hati.” Linda segera mengambil tas mahalnya di meja kerja Geno dan segera meninggalkan ruangan kerja Geno. Geno segera menghempaskan tubuhnya di kursi kerjanya lalu memutar kursinya untuk mengarah ke jendela sehingga ia bisa berpikir sembari menatap langit malam kota Jakarta yang terang benderang. Pikirannya menerawang mengingat kejadian kemarin saat ia mengantarkan Marina pulang kerumah setelah mengamuk di pesta pernikahan Henry dan Dea. Ada rasa kasihan dihatinya pada Marina saat pak Herman menamparnya ketika mengetahui apa yang Marina lakukan di pesta itu. Melihat gadis itu menangis sesenggukan seperti anak kecil tak membuat pak Herman bergeming dan merasa kasihan dan empati pada Marina. Siapa yang tak sedih dan patah hati ditinggal seperti itu oleh kekasihnya, begitu pula Marina. Hanya saja Marina memiliki seorang ayah yang begitu keras. Pak Herman tak peduli dengan perasaan sedih Marina. Ia segera menyuruh Marina untuk bisa menerima kenyataan dan tak menangisi kegagalan pernikahannya. “Papi bisa bikin pesta jauh lebih mewah daripada pesta pernikahan Henry! Kenapa?! Butuh suami?! Nih, papa kasih Geno buat kamu! Dia lebih cerdas dan punya masa depan cerah dari pada Henry yang selalu tampak sayang padahal busuk! Papi itu laki-laki dan tahu apa yang ada di otak laki-laki seperti itu! m***m semua!” Geno tersedak saat mendengar ucapan pak Herman. Ia tak menyangka untuk pak Herman pernikahan adalah sesuatu yang mudah dan gampang lalu menunjuknya sebagai pengganti dengan mudah. Ada rasa iba di hati Geno. Bagaimanapun ia tahu, gadis itu seolah tumbuh sendiri di dalam keluarga kecilnya. Sang ayah sibuk sendiri dengan pekerjaannya, sedangkan sang ibu telah meninggal dan sang kakak Linda membencinya karena menganggap Marina lah penyebab kematian sang ibu saat melahirkannya. Sejak saat itu hidup Marina tampak sendirian, tak ada yang mempedulikannya lagi. Tentu saja Geno tahu semua kisah itu karena ia berteman dengan Linda sejak mereka remaja. Dering handphone menyadarkan lamunan Geno dan ia segera mengangkatnya karena panggilan itu berasal dari pak Herman. “Dimana kamu?” tanya pak Herman dengan suara seraknya yang khas. “Saya masih dikantor pak, ada yang bisa saya bantu?” tanya Geno cepat sambil menegakan tubuhnya seolah pak Herman tengah berdiri dihadapannya. “Datang sekarang ke restoran langgananku, kita makan malam bersama.” Komunikasi itu pun terputus. Tanpa ragu Geno segera berdiri dan menyambar tasnya lalu bergerak keluar dari kantornya yang sudah sepi. Tak lama ia pun sampai di restoran favorite pak Herman yang letaknya tak jauh dari perkantoran tempat mereka bekerja. Geno langsung disambut oleh manager restoran itu dan segera diantar ke ruangan VVIP dimana pak Herman berada. Ternyata tak hanya Pak Herman yang ada disana, tapi juga Marina, Linda dan suaminya Dewo. Dengan sedikit canggung Geno masuk ke dalam ruangan dan duduk di samping Marina karena hanya disitu kursi yang masih kosong dan memang disediakan untuknya. Geno merasa canggung karena beberapa saat yang lalu ia baru saja b******u dengan Linda dan kini duduk dihadapan Linda dan suaminya seolah tak terjadi apa-apa. “Papi senang malam ini kita bisa berkumpul bersama dan lengkap sebagai keluarga. Papi harap kamu bersedia untuk bergabung dalam keluarga ini Gen,” ucap Pak Herman pada Geno sambil menatapnya penuh harap dibalik senyum ramahnya. Geno hanya tersenyum tipis dan kikuk, ia merasa ditodong dengan ucapan pak Herman. Ia belum menyetujui untuk menikahi Marina, tapi sikap pak Herman membuatnya serba salah. Apalagi kali ini ia sudah memanggil dirinya papi pada Geno. “Marina gak mau nikah dulu pi,” ucap Marina ikut menimpali membuat suasana di ruangan itu makin tak enak. “Diam kamu!! Kalau kamu masih berhubungan sama dia, papi bikin dia gak punya kerjaan dan tak ada lagi yang mau menerima dia di perusahaan manapun!” ancam pak Herman dengan suara santai tapi seisi ruangan itu tahu bahwa hal itu bukan hanya ancaman belaka. Marina hanya menundukkan kepalanya menyembunyikan air mata yang menggenang di pelupuk matanya. “Jadi jawabanmu apa Gen?” tanya pak Herman kembali menodong jawaban pada Geno. Geno terdiam sesaat lalu menatap pak Herman dengan sopan. “Saya belum bisa menjawabnya pak, karena ini pernikahan bukan perjanjian jual beli yang semudah itu bisa saya putuskan. Bagaimanapun saya masih ada keluarga yang harus saya beritahu tentang hal ini. Lagi pula, Marina tampaknya masih butuh waktu untuk bisa menerima laki-laki lain dihatinya,” jawab Geno diplomatis. “Akh, sudahlah, ambil waktu sebanyak yang kamu butuh untuk menyakinkan diri untuk menikahi gadis manja ini. Ohya, coba mulai kamu tanyakan pada keluargamu tentang hal ini. Jika mereka ingin pesta yang meriah tentu saja papi bisa buatkan, bagaimanapun keluargamu terdiri dari orang-orang penting.” Geno hanya mengangguk dan meneruskan makannya. Tentu saja ia tak bisa terang-terangan menolak keinginan pak Herman karena tak ingin pria tua itu tersinggung sehingga karirnya di perusahaan itu bisa terancam, walau Geno tahu pak Herman seorang yang sangat professional dan sepertinya tak akan melakukan itu. “Seperti yang papi janjikan, jika kamu mau menikahi Marina, project terbaru kita biar kamu yang handle secara keseluruhan dan tentu saja seperti anggota keluarga lainnya kamu akan papi berikan saham dan juga mengelola saham milik Marina.” “Akh, lagi-lagi tawaran menggiurkan itu,” pikir Geno mulai tak fokus dengan perasaannya sendiri. Sedangkan Marina hanya bisa menatap sang ayah dengan pandangan sedih. Ia tampak sekuat tenaga untuk tidak menangis dan bisa menghabiskan makanan yang ada dihadapannya. Tangannya tampak gemetar saat memotong makanan. Rambutnya yang lurus dan panjang terurai tampak menutupi wajahnya yang basah. Akhirnya ia tak bisa menahan bulir-bulir kesedihan itu mengalir di pipinya. Ia merasa sangat sedih karena sang ayah tampak tak mempedulikan apa yang ia rasakan. Geno bisa menangkap bahwa Marina tengah menangis sambil makan karena ia melihat pantulan dari kaca bening sikap Marina yang sangat menunduk bahkan rambut panjangnya itu bisa terkena makanan. “Setelah makan malam ini, saya mau minta ijin untuk mengajak Marina pergi sebentar, nanti biar saya yang antar Marina pulang,” ucap Geno tiba-tiba meminta izin pada pak Herman. Pak Herman pun hanya mengangguk dan ada senyum terlihat di sudut bibirnya. Sepertinya pak Herman berpikir bahwa Geno berusaha untuk mendekati Marina. Sedangkan Linda tampak tertawa kecil merasa heran dengan sikap Geno yang tiba-tiba berubah pada Marina. Karena selama ini yang ia tahu, Geno selalu bersikap sama seperti sikapnya. Menganggap Marina itu tak ada dan tak terlihat. Makan malam pun usai, akhirnya mereka semua berpisah. Pak Herman segera kembali kerumah untuk beristirahat, Linda dan Dewo yang masih ingin melanjutkan malam dengan mampir ketempat lain sedangkan Geno akan mengantarkan Marina pulang dan tak akan mengajaknya pergi seperti permintaannya pada pak Herman tadi. “Mau kemana kita mas?” tanya Marina pelan dengan wajah murung. “Aku antar kamu pulang,” jawab Geno sambil membukakan pintu mobil untuk Marina di tempat parkir. Mendengar ucapan Geno Marina hanya berdiri mematung dan tak masuk ke dalam mobil. “Ayo masuk,” suruh Geno tak sabar melihat Marina hanya berdiri mematung. “Aku pulang sendiri saja mas,” ucap Marina sambil menyelipkan rambutnya ke belakang telinga. “Ini sudah malam, biar aku antar.” “Aku bisa pulang sendiri tanpa perlu mas Geno repot basa-basi sama papi.” Mendengar ucapan Marina yang menolak pulang bersama, Geno segera keluar dari mobil dan sedikit memaksa Marina untuk masuk. Marina pun terdesak masuk dan hanya diam saat Geno memakaikannya safety belt dan tak lama kemudian Geno pun masuk ke dalam mobil seraya berkata, “Lebih baik kamu pulang bersamaku daripada bersama pak Herman dan kembali dimarahi.” Marina hanya diam dan membuang pandangannya keluar jendela. “Turunkan aku di salah satu hotel,” pinta Marina tiba-tiba. “Mau apa kamu disana?” “Aku tak ingin pulang malam ini, lebih baik aku menginap disana,” Geno hanya diam lalu menjalankan mobilnya ke arah sebuah apartemen yang tak jauh dari posisi mereka saat ini. Tempat tinggalnya. “Kok, aku dibawa kesini?” tanya Marina bingung saat memasuki lingkungan apartemen. “Daripada kamu di hotel dan kembali melakukan hal-hal gila, lebih baik tinggal disini malam ini. Well, kamu tahukan pak Herman tengah mengharapkan kita berdua menikah dan jika terjadi sesuatu padamu lagi, bisa-bisa karirku yang habis.Ayo turun!” Marina pun menurut dan mengikuti langkah Geno memasuki unit apartemennya. Gadis itu tampak linglung dan murung melangkah tak menentu. Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD