Dia memang atasanku tapi nggak bisa seenaknya meniduri aku dong! Aku menyisir rambut hitam legam yang melebihi bahu. Setiap ke kantor aku nggak pernah pakai make up mencolok. Seperti mengenakan blush on, eyeliner atau eyeshadow. Biasanya aku hanya menggunakan foundation, bedak tabur yang aku beli di toko Kimia Farma, pelembab bibir kemudian lip cream sachetan yang aku beli di mini market Oh, terkadang aku pakai maskara tapi agak jarang.
Sialnya, aku malah punya keinginan untuk mengenakan blush on seperti riasan full anak-anak kantor. Apa karena efek samping tidur bersama Darell dan karena pria itu memilihku dibandingkan dengan yang lain. Maksudku, kita minum-minum bukan cuma aku dan Darell. Ada Luna, Suci, Satriya, dan anak-anak yang dijuluki Divisi Ghibah. Karla, Ghea dan Amel. Lalu, kenapa Darell malah meniduriku bukan salah satu dari mereka yang jelas-jelas memujanya seolah Darell telah menyelamatkan hidup anak Divisi Ghibah. Oke, mereka dijuluki Divisi Ghibah karena sangat suka bergosip bahkan terkadang Luna dan Suci kena gosip mereka yang dibuat-buat.
Bagaimana nanti aku bisa menghadapi gosip yang beredar kalau sampai Karla, Ghea dan Amel tahu yang sebenarnya?
***
“Pagi, Fiona.” Satrya pria yang digosipkan punya mantan anak kantor yang sampai saat ini belum diketahui siapa anak kantor itu. Satriya ini mirip seperti Daniel Radcliffe saat berperan sebagai Harry Potter. Dia mengenakan kacamata tapi ketampanannya bisa terlihat jelas bahkan oleh para makhluk astral.
“Pagi.”
Satrya menggeleng-geleng sambil memperhatikanku.
“Kenapa sih, Sat?”
Seorang wanita yang bisa dianggap paling cantik di kantor datang. Dia mengenakan tas branded yang mungkin kalau dibeli dengan gajinya dia akan menunggu sekitar sepuluh bulan tanpa jajan dan bensin. Tas mini Christian Dior yang selalu jadi incaran Luna. Bahkan Luna perlu menabung dari dua tahun lalu untuk bisa membeli tas itu. Sayang, tabungannya masih belum cukup hingga akhirnya dia memilih membeli tas lokal seharga ratusan ribu.
Sabrina menatapku sama seperti cara Satrya menatapku. Dia mengenakan eyeshadow berwarna gelap hingga tatapan matanya cukup untuk membuatku menghindar.
“Kalian pada kenapa sih?” Aku menatap Sabrina lalu Satrya. “Apa aku salah kostum?”
“Nggak. Nggak kok, Fi.” kata Satrya.
Aku nggak tahu kenapa Sabrina menatapku dengan tajam seakan aku baru saja berbuat sesuatu yang membuatnya kecewa.
“Sedang apa kalian di sini?” Deon dengan segala wibawanya muncul. Pria ini selalu rapih dan dia memiliki dagu belah yang memikat. Jujur saja aku pernah menyukainya setahun yang lalu. Ya, karena aku merasa aku bukan selera pria dengan bau parfum yang manis sekaligus sensual.
“Nggak, Pak. Kami cuma lagi ngobrol saja.”
Sabrina dan Deon saling menatap beberapa detik. Hebat juga mereka bisa menyembunyikan status sebagai pasangan kekasih sekian lamanya.
“Ah, kamu di sini rupanya.” Tangan lembut Darell menggenggam tanganku. Darell tersenyum padaku hingga lesung pipinya terlihat jelas. Lesung pipi Darell menambah keindahan karya Tuhan yang luar biasa di wajah pria yang baru saja meniduriku itu.
Aku nggak ingat rasanya tapi hal itu malah membuatku deg-degan. Ditambah dengan senyuman autentik Darell.
“Lho, kalian apa di sini? By the way, kenalin ini, My Delicious Girlfriend.”
Semua tampak tercengang dengan pernyataan aneh Darell. Hanya Deon yang tampak menanggapi dingin pernyataan aneh adiknya itu.
“My Delicious Girlfriend?” Luna dan Suci berkata secara bersamaan. Mereka mendekati kami.
“Yeah!” Darell menyeringai.
“Nggak ada larangan untuk berpacaran di kantor ini tapi jangan gunakan kata-kata vulgar seperti itu atau aku memberikanmu surat peringatan.” ujar Direktur Utama itu. Deon memang lebih berkuasa di perusahaan karena dia seorang Direktur Utama sedangkan Darell hanya Direktur. Jabatan Darell dibawah Deon.
“Siap, Pak Direktur Utama.” Darell tersenyum menyindir. “Saya hanya senga jatuh cinta pada sekretaris saya sendiri.”
“Saya akan mengawasi kalian setiap saat. Ini kantor bukan tempat untuk berpacaran.”
“Tentu. Saya senang diawasi oleh Pak Direktur Utama perusahaan tersayang kita.” Darell semakin erat menggenggam tanganku.
Luna dan Suci tampak agak cemas tapi mereka juga terlihat tersenyum satu sama lain.
Deon meninggalkan kami disusul Satrya kemudian Sabirna yang sempat menatap aku dan Darell dengan tatapan menjijikan. Aku nggak tahu kenapa.
Aku buru-buru melepaskan pergelangan tanganku dari tangan Darell. “Apa-apan sih?!” kataku sewot.
“Wah, selamat ya untuk Pak Darell dan Fiona. Semoga selalu langgeng dan dijauhkan dari segala gosip dan...”
“Dan dijauhkan dari ulet bulu.” Sela Suci.
“Siapa ulet bulu?” tanya Luna.
“Cewek yang tadi itu.” Bisik Suci.
“Oh,” Luna mengangguk kemudian menarik Suci ke ruangan mereka.
“Pak Darell...” Aku menatap Darell dengan tatapan permohonan.
“Foto aku mengejar kamu di lobi hotel tersebar.”
Jantungku mencelus. Kedua daun bibirku terbuka.
“Banyak orang yang tahu. Aku nggak tahu keamanan kantorku itu sejelek apa tapi yang jelas ini mungkin ulah kompetitor.”
“Jadi orang-orang tadi...”
“Dia tahu apa yang terjadi dengan kita, Fi. Aku belum cerita lho. Jadi untuk menyelamatkan nama kamu aku mau kamu jadi kekasih aku. Itu sebabnya aku manggil kamu My Delicious Girlfriend. Kamu harus mau jadi pacar aku biar orang-orang nggak menganggap kamu yang nggak-nggak karena tidur denganku tanpa status.”
“Dan aku juga harus menganggap Pak Darell kekasihku agar nggak ada yang menganggap Pak Darell sebagai pria yang nggak-nggak begitu?”
Darell tak berkata apa-apa selain tersenyum. Senyum yang selalu memperlihatkan lesung pipinya.
“Memangnya maknanya apa sih dari panggilan My Delicious Girlfriend itu?”
“Kamu membuat kue dan kuenya enak. Mereka saja yang otaknya selalu menjurus ke hal-hal yang vulgar.” Dia terbahak.
Tapi, aku nggak pernah membuat kue untuknya.
“Ayo kita mulai bekerja My Delicious Girlfriend, mari kita buat orang-orang semakin kepanasan.”
“Hah?” Darell menarik tanganku menuju ruangan kami.
***
Berurusan dengan Darell bukanlah sebuah keberuntungan tapi kutukan. Dia menarikku memasuki ruangan kami. Aku menatapnya marah, tapi Darell malah tersenyum menggoda. Matanya melirik ke arah CCTV.
“Well, CCTV di sini perlu aku matikan.” Dia menelepon teknisi kantor dan menyuruhnya mematikan CCTV ruangan kami.
“Pak Darell, saya tidak mau terlibat urusan percintaan Pak Darell dengan Sabrina dan Pak Deon.” Aku berkata dengan sedikit menahan emosi. Jujur saja saat ini aku ingin sekali membanting vas bunga di atas meja kerjanya ke wajah Darell.
“Oh, tidak bisa.” Dia duduk dengan gaya bossy. Melipat kedua tangannya di atas perut dan menatapku sembari terus-terusan tersenyum kecil. Senyum yang menggoda untuk menamparnya.
***