3

1137 Words
Suara bebek bersahutan di tengah hamparan sawah menghias sore hari ini. Gemericik air pancuran tak mau kalah seolah berlomba dengan bunyi dak dok yang dikeluarkan perkakas petani di sawah. Riuh suara seperti ini sangat Aisha sukai di kampung halamannya. Dia akan duduk berlama-lama di bangku dekat kolam kecil mereka. Di kampung ini kolam ikan berjejer beberapa petak. Hampir 70 % penduduk disini memiliki kolam ikan, dimana semua kolam itu letaknya terkumpul di satu tempat. Di setiap kolam disediakan jamban umum untuk mandi atau disini disebut pancuran. Sumber air untuk mandi berasal dari sungai kecil yang mengalir dari pegunungan. Jernih dan menyegarkan. Setiap pagi dan sore hari, pancuran-pancuran itu penuh didatangi penduduk yang hendak mandi. Seperti sore ini, Aisha anteng memperhatikan orang-orang yang berlalu lalang di sekitar pancuran. Sesekali dia tertawa melihat anak-anak berebut pancuran yang kosong. Setiap hari seperti itu. Dan tak pernah bosan. Hari berganti. Terus bergulir tanpa kita sadari. Begitu juga Aisha. Tak terasa sebentar lagi dia lulus SMA. Melihat keluarganya Aisha menarik nafas panjang. Sekolah baginya bukan hal mudah. Bisa lulus sampai SMA saja dia sangat bersyukur. Untuk saat ini, dari 5 bersaudara baru dia yang lulus SMA. Kakak tertuanya Kamilah hanya lulus SMP. Sedangkan kakaknya yang kedua Rangga malah putus sekolah. Lagi-lagi masalah biaya. Rangga memilih merantau ke luar kota untuk membantu Ayah membiayai adik-adiknya termasuk dirinya yang sekarang berhasil lulus SMA. Aisha termenung. Dia memikirkan apa yang bisa dia beri kepada kedua orangtuanya. Kakaknya yang putus sekolah saja bisa membantu Ayah membiayai adik-adiknya. Lalu dirinya? Apa yang harus dia lakukan? Memikirkannya saja membuat Aisha berjam-jam melamun. Apa dia juga harus keluar kota?Sebenarnya dia senang telah lulus SMA. Dan nilai yang cukup membanggakan. Tapi disisi lain ada beban yang menggelayuti hatinya. Seakan jika dia tak berbuat apapun ia merasa biaya yang telah dikeluarkan keluarganya adalah sia-sia. "Woi.. melamun aja!" Yudi, teman sekelas Aisha sedari SD. Mereka terus bersama. Berbagi cerita suka dan duka. Mereka sama-sama dari kampung. Bedanya hanyalah Yudi agak beruntung dari Aisha. Ayah Yudi merantau ke luar kota sehingga perekonomian keluarganya agak lebih baik. Yudi juga sering membantu Aisha jika ada tagihan sekolah yang nunggak. Walaupun hanya sesekali. "Eh Yud, aku lagi mikirin habis lulus ini mau ngapain..." Aisha menatap lurus ke depan. Pikirannya seakan berkelana. "Kamu gak kuliah?" "Kuliah? Aduh Yudi... kayak gak tahu aku aja. Aku mah boro-boro mikir kuliah, udah lulus SMA aja alhamdulillah" Aisha menarik nafas panjang. "Lah kalo gitu ngapain pusing, kan udah lulus?" "Ya itu dia Yud... karena aku udah lulus, aku mesti ngapain, buat bantu orangtuaku" "Kerja?" "Maunya sih, tapi dimana? Di kampung kita paling kerja di sawah. Kalo cuma gitu mah mending dulu ga usah sekolah. Sekolah kan gak murah Yud" "Iya sih. Terus gimana jadinya?" "Ya itu dia yang lagi aku pikirkan" Yudi manggut-manggut. "Kalau keluar kota kamu mau?" Yudi bertanya sedikit ragu. Aisha menoleh. Menatap Yudi dengan tatapan tak percaya. "Kemana?" "Gini lho, bapakku kan kerja di luar kota, jualan perabot rumah tangga. Nah, kamu bisa ikut bapakku buat nyari kerja di sana." "Kerja apa?" "Ya... apa saja, kamu bisa melamar pekerjaan mungkin disana. Gimana?" "Tunggu-tunggu... emang di kota mana bapakmu itu?" "Di Bandung. Gimana? Kamu mau?" "Entar aku pikirkan deh, bilang ibu sama bapak dulu" Aisha bangkit merentangkan kedua tangannya. "Huaamm... ngantuk juga ya lama-lama duduk disini" "Eh mau kemana?" "Apa? Ya pulanglah... kalo kamu masih pengen duduk disini boleh, hehehe" "Yah.. kok aku ditinggal.." Yee... Aisha ini gimana sih, padahal Yudi ingin cerita kalau sehabis lulus ini dia mau kuliah. Pas Aisha curhat aja kudu didengerin, eh giliran dia mau cerita Aisha udah ngeloyor pergi. Tapi begitulah Aisha, sahabat kecilnya. Yudi kadang merasa kasihan pada sahabatnya itu. Adik-adiknya masih butuh biaya. Bahkan kakak tertuanya menikah muda saat usia 17 tahun. Dan alasannya adalah agar kakaknya bisa bantu orangtua dengan mengurangi beban hidup mereka. Makanya ibunya Aisha sudah punya cucu lebih cepat. Bahkan saat sudah dipanggil nenek, ibunya Aisha masih memberi Aisha adik bungsunya . Aisha orangnya simpel. Tidak suka berdandan. Tidak suka bertele-tele. Cerdas dan juga...cantik. Kata yang terakhir kadang membuat Yudi berpikir bagaimana jadinya kalau dia pacaran dengan Aisha. Tapi rasanya tidak mungkin. Aisha bukan tipe gadis yang senang menghabiskan waktu dengan berpacaran. Apalagi dengan teman sebaya seperti dirinya. Paling gadis itu hanya tertawa. Pernah satu kali ada yang memberikan surat kaleng pada Aisha. Dan kalian tahu bagaimana reaksi Aisha saat itu? Dia tertawa sambil menunjukkan pada Yudi. "Hei lucu ya, aku dapat surat beginian dari temen aku sendiri. Buat apa coba, belum tentu jadi pasangan hidup,kan? Buang waktu saja. Hahaha" Yudi hanya melongo sebelum akhirnya tertawa bersama. Ya sih. Aisha bilang ngapain pacaran kalo cuma menguras tenaga, biaya dan pikiran. Kalo toh pada akhirnya belum tentu jadi menikah. Nyari pasangan ya harusnya buat yang seumur hidup. Bukan cuma buat senang-senang aja. Dan pikiran inilah yang mengerutkan keinginan Yudi untuk menjalin hubungan lebih dengan Aisha. Yudi pikir, mungkin dia harus dewasa dan matang dulu sebelum dia berani mengungkapkan perasaannya. Akhirnya Yudi juga pulang dan bersiap menceritakan maksudnya menolong Aisha pada ayahnya. *** "Bu.. Aisha ada yang mau diomongin" Aisha mendekati ibunya yang sedang menyuapi adik bungsunya. "Ada apa, nak?" "Kalo misalnya Aisha kerja, boleh gak bu?" "Kerja apa memangnya?" Tangan ibu masih sibuk dengan Fatima yang tidak bisa diam. "Apa aja bu, yang penting halal. Aisha mau bantu ibu buat biaya adik Aisha bu" Aisha diam sejenak. Dalam hati dia mengucap basmalah, berharap ibunya dapat memberi izin padanya. "Bu... kalo Aisha kerja diluar kota boleh gak bu?" "Apa? Diluar kota? Kamu mau kerja apa, nak? Di kota itu banyak beragam orang. Kamu belum tahu watak mereka. Ibu khawatir kamu kenapa-napa" Aisha sudah menduga pasti seperti ini. Ibunya akan sangat khawatir. "Bu.. Aisha pengen bantu Bapak sama ibu, boleh ya? Lagi pula Aisha ke kota gak sendirian, Aisha ikut sama mang Momon bapaknya Yudi." Ibu terdiam sejenak. "Oh sama mang Momon? Memang kamu mau ikut jualan perabot rumah tangga ?" " Ya enggak bu, Aisha disana mau cari kerja. Nah, sementara waktu Aisha tinggal sama mang Momon dulu. Gimana?" "Bilang dulu sama bapakmu" 'Dan yes! Aku diberi izin'. Aisha bersorak dalam hati. Tinggal sama bapak. Kalo sama bapak sih gak susah paling suruh jaga diri aja. "Kamu mau kemana Aisha?" Suara nenek dari kamarnya membuat Aisha menoleh. Dia juga akan pamit sama nenek. "Aisha mau ke Bandung nek, nenek disini yang sehat ya? Doain Aisha biar sukses di kota sana ya nek..." Nenek mengelus rambut Aisha dengan sayang. "Jaga dirimu baik-baik ya nak, jangan bergaul dengan sembarang orang. Apalagi yang gak baik akhlaknya". "Ya nek, Aisha pasti ingat pesan nenek". Dan akhirnya Aisha pergi ke Bandung. Berharap mendapatkan kehidupan yang lebih baik kedepannya. Aisha pergi meninggalkan separuh hatinya disini. Pada hati yang masih selalu ia kagumi. Satu nama. Bintang. Ia yakin ia akan menahan rindu teramat sangat pada dokter itu. Rindu suaranya, rindu matanya, rindu senyumnya, dan semua tentangnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD