BAB 2

1656 Words
Harus ku akui, Aray. Cinta monyet sekaligus cinta pertamaku saat kelas satu SD. Dia baik padaku. Kebaikannya itu membuat aku jatuh cinta sedini itu. Di umur yang baru tujuh tahun. Aku masih ingat ketika aku menangis karena uang saku ketinggalan, Aray menepuk bahuku. Dia memberi sapu tangannya kepadaku. Aku mengusap air mata di pipi dengan sapu tangan miliknya. Aku menyemprotkan ingusku di sapu tangan itu, dan Aray sama sekali tidak terlihat jijik. Aray bertanya padaku kenapa aku menangis. Aku menjawab pertanyaannya dengan polos dan apa adanya. Aray membagi jajanan yang baru saja dibelinya denganku. Aku senang sekali, Tersebab saat itu aku lapar. Sejak itu kami seperti sandal jepit yang selalu bersama. Hingga... waktu yang tidak diinginkan hadir. Aray diadopsi oleh orangtua angkat setelah kedua orang tuanya meninggal karena kecelakaan kereta. Dan sampai detik ini aku tidak pernah bertemu dengannya ataupun mendapati kabar tentang dirinya. Aku mencoba mencari informasi dari teman-temannya tentang keberadaan Aray. Nol besar yang aku dapatkan. Tidak ada informasi apapun tentang Aray. Pada saat aku kelas satu SMP, aku mencoba mencarinya di f*******: berharap dapat menemukan f*******: Aray. Sayang aku tidak menemukan Aray di berbagai sosial media yang aku jelajahi. Bagaimana kabarmu, Aray?                                         Nyaris setiap hari wajah Aray kecil menghiasi mimpi-mimpiku, ia tersenyum manis. Membuatku penasaran dengan mimpi itu. Aray, kamu di mana? “Lupakan Aray lihat masa depanmu. Di kampus ini banyak cowok-cowok ganteng. Mau yang seperti apa? Nicholas Saputra, Reza Rahadian, atau Steffan William?” kata Daniel dengan mata berbinar. “Kalau yang mau berdansa denganku seperti siapa?” tanyaku, menatap Molly dan Daniel bergantian. “Itu si Sam. Temen aku, Van. Tenang saja dia ganteng, kok.” kata Daniel dengan tawa hambarnya. Aku mengangkat sebelah alis. Curiga. “Dia anak filsafat, lho. Kalau anak filsafat ganteng-ganteng,” lanjutnya yakin. “Iya, tidak seperti kamu, Daniel, hahaha...” Molly tertawa puas. “Anak arkeologi juga ganteng-ganteng, kok. Buktinya Dion.” sahut Amelia. Dion? Tampan dari sisi mananya anak itu? “Taraaa... rambut Vanessa sudah jadi.” kata Amel girang. Aku  mendekatkan cermin kecil yang aku pegang ke arah samping rambut untuk melihat bentuknya. “Keren!” pujiku jujur. Rambutku membentuk kelopak bunga mawar. Ini adalah salah satu keajaiban tangan Amel. Selain cantik, dia juga pintar menata rambut dan wajah. Bahkan wajah bulat pun bisa diubah menjadi tirus hanya dengan sentuhan make-up dari Amel. Menurutku Amelia Kansesa adalah seorang putri kerajaan dari Prancis yang lahir pada abad 18 dan terjebak pada tubuh gadis 19 tahun dari Indonesia. “Tok...Tok...Tok...” suara ketukan pintu terdengar. “Pasti Miss Alya,” terka Molly yakin. “Gawat ada Daniel di sini!” Amel mulai panik. Miss Alya adalah pengurus asrama putri. Ia yang selalu mengawasi dan menyediakan semua keperluan kami. Dia juga orang yang paling suka menghukum mahasiswi yang melanggar aturan. Dan salah satu pelanggaran mematikan yang sering dilakukan oleh kami adalah memasukkan Daniel ke kamar. Ini jelas berbahaya bagi kelangsungan identitas sebagai mahasiswi Arkeologi. “Masuk ke lemari sekarang juga!” tuntutku kepada Daniel dengan mata tajam seraya menunjuk ke arah lemari. Tanpa protes Daniel langsung memasuki lemari. Amelia menarik napas dalam sebelum membuka pintu kamar. “Selamat malam, Miss Alya.” Sapanya tersenyum seramah mungkin. Aku dan Molly berpura-pura sibuk membereskan kamar yang memang berantakan. “Molly?” katanya, dengan mata disipitkan. “Bukan Miss, ini Amelia.” “Oh, ma’af. Kacamata Miss hilang dari tadi sore. Kalian jangan pulang pagi ya. Batasan bagi yang tinggal di asrama adalah jam 10. Mengingat ada acara tahunan kampus maka kalian bisa pulang jam 12, mengerti?” “Iya, mengerti, Miss.” Jawab Amelia dengan senyum yang bikin enek. “Selamat bersenang-senang. Ingat bebas tapi sesuai aturan.” *** Gedung Aula Kesenian penuh dengan keriuhan. Untungnya gedung ini luas sehingga bisa menampung ribuan orang yang ikut pesta dansa. Lagu Raisa berjudul Could It Be menggema di dalam gedung. Membuat kakiku tidak bisa berhenti bergerak. Amelia menggandeng Daniel. Molly dan aku sedang menunggu pasangan masing-masing. Dion belum menampakkan batang hidungnya begitu juga Sam. “Daniel, sms-in si Sam, sih. Bilang aku pakai gaun warna krem gitu.” kataku setengah panik. Aku takut diusir oleh panitia jika acara akan dimulai karena pasangan dansaku belum datang. “Oke,” jawabnya sambil mengacungkan ibu jari. Dion datang menghampiri Molly. Memakai setelan jas berwarna krem. Warna yang sama dengan gaun yang aku kenakan. “Ayo, Moll, kita ke sana, sebentar lagi acaranya mau dimulai.” Katanya dengan wajah semringah. Molly menatapku lembut. Dion memandangku dan melempar senyum. Aku membalas senyumnya dengan senyum palsu. “Sudah kalian ke sana saja. Aku tidak apa-apa kok. Ada Amelia sama Daniel juga.” sahutku datar. “Mana? Amel dan Daniel sudah ke sana,” kata Dion. Aku menoleh ke arah kanan tempat di mana Amelia dan Daniel berpijak saat itu. Ajaib! Mereka menghilang. Aku menelan ludah. Bisa-bisanya mereka pergi sedangkan Sam belum ke sini. “Yasudah kalian duluan saja, tidak apa-apa kok.” “Beneran kan, Van, tidak apa-apa?” Tanya Molly. Aku mengangguk. “Nanti Moll, kasian Vanessa sendirian.” Kata Dion sok peduli. Aku memalingkan wajah. Menjulurkan lidahku sedikit tanpa sepengetahuan Molly dan Dion. Huek! Tunggu... tahu dari mana dia namaku? Pasti si Molly yang kasih tahu. “Ya, tidak apa-apa kok. Santai saja lagi, hehehe.” Aku tertawa hambar. Dari arah depan seseorang bermata sipit memakai jas berwarna hitam dengan gagah melangkah menghampiriku. Rambutnya menyentuh bahu. Bibirnya terlihat basah. Maksudku seorang cowok dengan bibir yang terlihat basah itu... memesona! “Vanessa?” tanyanya. Seketika mataku terkunci oleh tatapan hangatnya. Aku tersenyum anggun lalu menjawab, “Ya.” Dia balas tersenyum padaku. “Aku, Sam.” Ujarnya seraya mengulurkan tangan. Kami berjabat tangan. Tangannya lembut seperti tangan bayi. Aku melangkah pergi menjauh dari Molly dan Dion. Menggandeng lengan Sam. Rasanya seakan aku sedang menggandeng lengan seorang pangeran. Dia bukan hanya tampan tapi juga memesona setiap mata yang melihatnya. Sam membawaku ke depan, dekat dengan panggung yang ditata dengan lampu temaram. Aku seperti terhipnotis olehnya. Diam dan beku. Suara Violin melenggang memenuhi gendang telinga. Pergelangan tangan kiri Sam menyentuh pinggangku sedangkan jemari-jemari tangan kanannya menggenggam jemari-jemari tangan kananku. Ini seperti dongeng. Aku merasa benar-benar seperti seorang putri yang berdansa dengan seorang pangeran dari negeri dongeng. Seorang pangeran yang akan menjagaku dan menghilangkan sejenak jejak tentang Aray kecil, cinta pertamaku. “Kamu anak arkeologi?” tanyanya, yang tanpa kujawab pasti Sam sudah tahu jawabannya dari Daniel. Aku masih bisa mendengar suaranya dengan jelas di tengah suara lembut violin. “Ya, bagaimana rasanya jadi anak filsafat? Aku dengar anak filsafat itu radikal, ya?” Aku balik bertanya masih menatap matanya. “Menurutku anak fillsafat tidak seperti itu. Radikal itu bukan hanya milik anak filsafat saja. Kamu juga sepertinya radikal.” Sam tersenyum menggodaku. Aku rasa senyumnya itu seperti gula pasir yang dituang ke dalam gelas bersama teh, menyesap tehnya dan rasa manis menjalari seluruh tubuhku. “Tebakanmu salah. Tapi lucu juga,” kataku seraya tersenyum. Perkataanku memang terdengar ganjil. Tapi entah kenapa kalimat, “Tapi lucu juga,” meluncur begitu saja. “Lucu? Apanya yang lucu?” tanyanya mengernyit heran, membuat aku kembali melempar senyum. Entah kenapa bersamanya membuat aku begitu gampang melempar senyum. “Matamu misterius, Vanessa.” Aku mengangkat sebelah alis. Misterius? “Dan aku suka mata misterius.” Sam menatapku lekat. Kata-katanya membuatku jadi salah tingkah.        Aku hanyut dalam sebuah keromantisan tak terduga di pesta dansa ini. Suara violin begitu menyesap di suasana pesta. Aku tidak tahu bagaimana bisa aku jatuh dalam pelukan Sam? Cowok yang baru saja kukenal. Aku begitu menikmati suasana syahdu ini. Mungkin aku terlalu percaya diri terhadap sikap yang ditunjukan Sam. Tapi ayolah, cewek mana yang tidak merasa spesial dan bahagia bertemu cowok seganteng Sam? Dan kata-katanya yang membuatku terbang ke langit menuju bulan. Sungguh, ketika aku tahu Sam adalah teman Daniel aku menyangka Sam tidak akan jauh berbeda dengan Daniel. Sedikit aneh dan fleksibel. Ternyata aku salah! Dia tidak aneh. Aku tidak tahu kedalaman hatinya. Apakah dia sama seperti Daniel yang bisa jatuh cinta dengan cowok dan cewek? Untuk mengetahui hal itu, aku perlu waktu. Semoga dia hanya suka dengan cewek. Dan Sam menyukaiku. Setidaknya itulah harapanku untuk saat ini. Samar-samar aku mendengar suara Amel memanggil namaku. Aku pikir itu hanya halusinasi saja. Tapi, suara itu semakin terdengar mendekat dan jelas. Aku tersentak dan melepaskan pelukan dari Sam. “Molly mabuk berat, tadi dia minum tiga botol sake.” kata Amel dengan wajah panik. Mataku langsung membelalak dengan mulut menganga, apa? *** Miss Alya mengomel sejadi-jadinya. Gendang telingaku serasa mau robek mendengarkan segala omelannya. Molly tertidur di ranjangnya. Aku dan Amel yang terkena dampak dari kenekatan Molly menenggak tiga botol sake. “Kalian itu benar-benar memalukan!” Katanya dengan nada tinggi. Wajahnya merah padam. “Apa kalian tidak bisa menjaga teman kalian? Hah?!” Sewotnya lagi kemudian Miss Alya berkacak pinggang. Aku ingin meronta. Di pesta dansa tentu orang-orang akan sibuk dengan pasangan masing-masing. Tidak mungkin aku atau Amel memerhatikan Molly terus. Tapi aku mengunci bibir. Membiarkan omelan Miss Alya memenuhi ruangan kamar. Ia terus mengoceh. Aku hanya mendengarkan dengan samar-samar. Pikiranku tertuju pada Sam. Kalau saja Molly tidak mabuk berat mungkin aku sudah tertidur di bahu Sam yang bidang itu. “Vanessa!” Teriak Miss Alya. Aku terkesiap. Suara Miss Alya membuyarkan pikiranku tentang Sam. “Kenapa kamu senyam-senyum?” Tanyanya dengan mata berkilat-kilat. Aku memalingkan wajah ke arah Amel, bertanya melalui mimik wajah, ‘memangnya tadi aku senyam-senyum?’ Amel hanya mengangkat bahu. “Miss Alya,” kataku seraya bediri. “Molly itu berpasangan dengan Dion. Seharusnya Miss Alya memarahi Dion. Bagaimana bisa dia membiarkan Molly meminum sake sampai tiga botol?” Aku kesal pada Dion. Pasti dia yang menyuruh Molly untuk minum sake! Sejenak Miss Alya diam. Molly bangun dan terduduk, “Siapa kamu?” Tanyanya, menatap Miss Alya dengan mata disipitkan. Kadang orang yang sedang mabuk berat mengalami amnesia sesaat. Lalu Molly muntah membuat Miss Alya jijik dan melangkah menjauh. “Bersihkan Muntahannya.” perintahnya sembari berlalu pergi. Menghilang dari balik pintu. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD