BAB 3

1806 Words
“Pasti Dion yang menyuruh Molly minum sake.” kataku mempertahankan argumen. Aku yakin Dion pasti menyuruh Molly minum agar mabuk. Pasti Dion memiliki keinginan terpendam kepada Molly. Bisa saja disaat Molly mabuk Dion mencium Molly atau semacamnya. “Jangan berburuk sangka. Dion itu tidak suka mabuk.” Balas Amel membela Dion. “Kalau dia tidak menyuruh Molly minum sake kenapa dia membiarkan Molly minum sake? Harusnya, kan, dicegah!” Kataku lagi dengan nada tinggi, dampak dari kekesalan. “Ya... aku tidak tahu,” Amel mengangkat bahu. “Molly.... Molly... kok bisa mabuk begini?” Aku melepaskan sepatu kulit sapi berhak sepuluh senti itu dari kaki Molly. Langit kian kelam. Bulan telah mati dan bintang telah tidur. Aku menatap ke arah jendela. Dan mataku berhenti pada satu titik fokus. Sam. Dia ada di bawah sana. Tapi sedang apa dia? Aku ingin turun untuk bertemu dengannya lagi. Dia seperti candu yang membuatku ingin terus memandang wajahnya yang tampan. “Mau kemana, Van?” tanya Amel menangkapku menyentuh tangkai pintu. “Aku ada perlu,” kataku, mengecilkan volume suara sekecil-kecilnya. Nyaris seperti orang berbisik. Aku pergi menuruni tangga dengan langkah mengendap-endap. Perasaanku berkecamuk. Aku takut menelan kekecewaan saat sudah sampai di bawah sana. Aku takut Sam sudah pergi.  “Sam,” kataku memanggilnya setelah sampai di sana. Ia menoleh. Menatapku ganjil dari ujung kaki sampai ujung rambut. “Kenapa?” tanyaku sesaat ketika bola matanya tepat menatap mataku. “Kamu mau tidur?” Ah, aku baru sadar kalau aku memakai baju tidur. Aku tersenyum kikuk. “Ya, begitulah, hehe. Kamu sendiri mau kemana?” Sam melempar senyum aneh untuk kali ini, senyumnya hampa tidak bernyawa. Sangat berbeda ketika di Aula tadi. “Eh, ma’af ya, aku mengacaukan pesta dansa kita.” kataku, menyesal. Karena tidak ada pasangan untuk berdansa Sam meninggalkan pesta dansa. Untuk itulah aku meminta ma’af padanya. Ini gara-gara Dion! “Tidak apa-apa,” jawabnya datar dan singkat. “Kamu mau kemana?” tanyaku lagi.  “Aku mau ke asrama,” pandangan mata Sam tidak fokus, seperti orang limbung. Ia cepat-cepat berbalik dan melangkah dengan cepat. Tanpa pamit. Apa ia marah denganku? Aku membatu sampai punggungnya hilang dari pandangan mata. Setidaknya sebelum pergi dia berkata, “Good Night, Vanessa.” Sayang, itu hanya harapanku saja. Tangan seseorang menyentuh bahuku. Tubuhku membeku beberapa saat. Ketika akan membalikkan badan, tubuhku menegang. Takut-takut kalau seseorang yang di belakangku adalah seorang penjahat. Aku mengepal kedua tangan. Bersiap-siap memukulnya. PLAAKK! Aku mendaratkan pukulan tepat di pipinya sebelum aku melihat jelas wajahnya. “Dion!” pekikku terkejut ketika melihat wajahnya dengan jelas. Dion meringis kesakitan. “Ngapain sih kamu?” Nada suaraku seperti orang berteriak. Kesal dan jengkel. “Kamu kenapa mukul aku?” Dion masih meringis sambil memegangi pipi sebelah kanannya. “Ma’af, aku kira kamu penjahat,” kataku datar tanpa penyesalan. Sebenarnya aku puas memukulnya. “Sakit?” kataku pura-pura peduli. “Kamu dulunya atlet tinju ya? Eh, bagaimana Molly?” “Bagaimana apanya? Dia mabuk parah. Sebagai pasangan dansanya harusnya kamu tidak membiarkan Molly minum tiga botol sake?!” kataku sewot. “Tadi juga aku melarangnya, Van. Tapi dia maksa buat minum. Terus aku ke toilet sebentar. Eh, pas sampai dia Sudah mabuk seperti itu.” Jelasnya dengan mimik penuh penyesalan. Aku rasa Dion berbohong. Wajahnya penuh dengan kemunafikan dan kebohongan. “Paling juga kamu yang menyuruhnya minum.” Aku masih keukeuh dengan tuduhanku. “Van, tidak mungkin aku biarin Molly minum tiga botol sake. Kalaupun aku suruh dia minum, paling aku suruh dia minum jamu biar gendut kaya Daniel.” katanya dengan ekspresi melucu. Lawakannya garing. “Kamu sudah pakai baju tidur kok masih di sini. Sana tidur, nanti di cari Miss Alya, lho. Sudah malam, Van.” Aku sedikit melunak mendengar ucapannya. Kok Sam tidak berkata seperti Dion, ya? *** “Aduh kepalaku pusing sekali!” Gerutu Molly di pagi yang cerah dengan sinar matahari yang menembus kaca jendela, membuat wajah Molly berkilau seperti iklan cream pemutih. Amel menyesap tehnya dan menyantap roti dengan selai stroberi. Aku hanya menatap Molly dari dapur. Kamar di asrama ini dilengkapi kamar mandi, dapur dan meja makan. Bentuknya seperti flat. Seperti menuntut kami untuk mandiri dan melakukan apa pun sendiri. Aku menyesap kopi seraya berjalan ke arah ranjang Molly. Tangannya masih sibuk menepak kepalanya, berharap pusingnya segera musnah. Amel mengomeli Molly dengan bijak. Nadanya terdengar santai namun tegas, layaknya seorang ibu yang menasehati putrinya. “Apa?” Pupil Molly melebar seketika saat suara Amel membunyikan nama Miss Alya. “Aku bisa kena hukuman, nih!” katanya panik. “Lagian, kamu mau-mau saja disuruh minum sama Dion.” Balasku dengan tatapan mata yang bisa diartikan, ‘salah kamu juga’. “Siapa yang menyuruh minum, Van. Aku memang ingin minum sake saja. Tapi keblablasan,” Molly memasang wajah tanpa dosa. Aku termenung sejenak. Molly minum sake atas kemauannya sendiri. Bukan Dion yang menyuruhnya. Ada rasa bersalah yang mengimpit d**a. Aku sudah menuduh Dion yang tidak-tidak. Tenyata sahabatku sendiri yang memang salah. “Tuh, kan, Van, Molly minum sake atas kemauannya sendiri. Bukan disuruh Dion.” Amel membela Dion lagi. Kupingku memanas. Aku hanya mendengus kesal mendengarnya. “Aku punya kabar bagus,” kata Amel dengan raut wajah semringah. “Apa?” tanyaku terstimulasi oleh kesemringahannya. “Aku dapat peran di seni teater nanti.” jawabnya seraya tersenyum lebar penuh kegembiraan. “Aku pasti nonton!” seruku ikut gembira dengan jawabannya. “Aku juga pasti nonton. Aku mau ajak Dion ah...” ujar Molly yang seketika merubah mood-ku setelah mendengar nama Dion. Entah kenapa bagiku Dion sangat menyebalkan. Aku tidak menyukainya karena ia suka melanggar aturan. Tapi aku meragukan jika itu adalah alasanku membencinya. Aku melihat Dion seperti noda yang muncul di pelangi. Namun dua sahabatku atau mungkin juga Daniel selalu membela Dion, seolah Dion itu sebaik malaikat. Sebentar lagi aku dan Amel akan pergi ke kampus. Molly yang merasa masih pusing memilih tiduran di kamar sambil menonton film di laptop. Berpura-pura sakit. “Ayo terima!” serunya, aku tersentak. Matanya terus menatap layar laptop. Molly memang kadang-kadang impulsif. Tidak bisa menahan diri. Sebelas duabelas dengan Daniel. “Film apa, Moll?” tanyaku, meneguk kopi terakhir. “Filmnya Sharukkhan,” jawabnya. “Cuma Molly yang doyan nonton film India tapi ngefans sama Lee Min Ho.” Amel menggeleng-gelengkan kepala. Keanehan Daniel sepertinya menular pada Molly. Amel memakai kacamata dengan bentuk frame persegi panjang. Cocok dengan wajah ovalnya. Cardigan berwarna biru muda membuat kulitnya terlihat lebih cerah. Kulit Amel memang yang paling putih diantara kami. *** Aku terduduk di tepi danau buatan di belakang kampus. Setiap kali ingin menyendiri, tempat ini adalah pilihan pertamaku. Di sini sangat sepi. Tidak ada orang yang berani datang ke sini. Sepertinya hanya aku yang berani datang ke tepi danau ini. Menurutku di sini adalah tempat perenungan terbaik selama berada di kampus. Air danau berwarna hijau tua. Di pinggir danau ada banyak pohon dan tanaman-tanaman liar yang entah apa nama tanaman-tanaman itu. Aku duduk di bawah pohon Linden Sambil memandangi air danau yang tenang. Pikiranku saat ini memang tidak tertuju pada Aray kecil. Beberapa hari ini mimpi itu tidak muncul lagi. Dan Sam hadir menyita banyak tempat dipikiranku. Aku ingin bertanya kepada Daniel tentang Sam. Tapi bibirku terasa kelu untuk bertanya. “Kamu tidak takut di sini sendirian?” Suara seorang cowok  mengaggetkanku. Aku mendongak. “Dion,” ucapku dengan dahi mengerut. Ngapain sih ke sini? Tanpa kusuruh Dion duduk di samping. “Wajah sebelah kirimu itu lebih menarik daripada wajah sebelah kananmu, Van.” katanya seraya tersenyum. Yang entah mengapa terlihat seperti seringai menyebalkan di mataku. “Oh ya?” kataku, tidak berselera. “Memang sih cewek itu di sisi wajah sebelah kirinya lebih menarik daripada sisi wajah sebelah kanannya. Itu fakta, lho, dari internet.” “Kamu sudah dapat jawaban, kan?” tanyanya, dahiku mengernyit mendengar pertanyaannya. “Jawaban apa?” tanyaku tidak mengerti. Memang ujian sekolah sudah dapat jawaban. “Jawaban kalau aku tidak menyuruh Molly minum. Molly sudah menjelaskan semuanya kan, kamu ngotot mulu kalau aku yang menyuruh Molly minum sake.” “Ya ampun, masih dibahas saja!” sahutku kesal. “Aku tidak mau dong namaku tercemar gara-gara kejadian Molly mabuk.” katanya, lalu Dion tersenyum. Tercemar? Tanpa kejadian itu pun namamu sudah tercemar limbah pabrik di mataku. “Ngapain sih ke sini?” tanyaku geram. “Nemenin kamu. Kesendirian itu sama bahayanya dengan obesitas, tahu.” jawabnya, masih dengan gaya bahasanya yang khas, santai dan tenang namun terkesan jail. “Kata siapa?” tanyaku sinis. “Internet,” jawabnya. “Aku tidak gendut ya, aku bukan Daniel.” Keheningan mulai mewarnai atmosfer antara aku dan Dion. Ia diam menatap air danau yang tenang. Aku tidak tahu apakah jawaban tadi tidak bisa dibalasnya, atau dia mulai menyadari ketidaksukaanku padanya. Aku berusaha melobi pikiranku kalau aku tidak perlu minta ma’af pada Dion karena telah menuduhnya menyuruh Molly minum sake. Tidak perlu meminta ma’af. “Kamu pernah baca novel Mesin Waktu Cinta karya Elizabeth?” Ia bertanya akhirnya. Aku menggelengkan kepala. Entah apa yang akan dibahas olehnya. novel Mesin Waktu Cinta? Sungguh aku tidak tertarik sama sekali dengan buku apalagi buku fiksi. Apa tidak ada topik lain? “Novel itu sampai sekarang masih menjadi misteri, lho.” imbuhnya, membuat dahiku mengernyit. “Misteri?” Dion mengangguk pelan, “Novel itu ditulis oleh wanita belanda dan terbit tahun 1915. Sebagian orang berpendapat novel Mesin Waktu Cinta adalah kisah nyata. Ada juga yang berpendapat novel itu hanya fiksi belaka.” Aku mencoba mencerna penjelasan Dion. Mulai terangsang dengan rasa penasaran akan isi cerita novel itu. “Memangnya novel Mesin Waktu Cinta bercerita tentang apa?” tanyaku. Sebelum Dion membuka mulutnya, suara Daniel tiba-tiba menggema di telingaku. “Vanessa...Van...Vanessaa...!” teriaknya, berlari mendekat sambil melambaikan tangan. “Ada apa, Dan?” tanyaku, sesampainya Daniel di depanku.  “Kamu ditunggu Sam di ruang kosong kelas arkeologi.” katanya, dengan napas yang tersengal-sengal. “Sam?” Mataku berbinar seketika. “Iya. Hati-hati, Van.” Pesannya yang terdengar agak ganjil di telingaku. Tunggu, kenapa Sam menungguku di ruang kosong kelas arkeologi? Jika Sam ingin menemuiku, harusnya dia mengajakku ke tempat terbuka. Di tepi danau ini, misalnya. Atau mungkin di kelas. Kenapa harus ke ruang kosong kelas arkeologi? Kelas itu sudah lama kosong. Hanya ada beberapa benda kuno di ruang kosong arkeologi. Sam, kan, anak filsafat, kenapa dia tahu ada ruang kosong di kelas arkeologi? Pertanyaan-pertanyaan yang memenuhi kepalaku tidak sempat aku tanyakan pada Daniel. Aku baru mendapatkan pertanyaan-pertanyaan itu setelah jauh melangkah meninggalkan Daniel dan Dion. Saking semangatnya bertemu Sam. Harapanku adalah Sam akan memberikan kejutan di ruangan kosong itu dengan cahaya lilin yang temaram menyinari ruangan. Imajinasi liar keromantisanku muncul.  Di ruang kosong kelas arkeologi jendelanya tertutup rapat sehingga jika  memasuki ruangan tanpa pintu terbuka, yang akan terlihat hanyalah kegelapan. Sebatas itu yang aku tahu tentang kelas kosong arkeologi. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD