CINTA ATAU AMBISI

1063 Words
Willy, seorang dokter muda berusia dua puluh delapan tahun. Wajahnya yang tampan dengan rahang tegas yang membuatnya semakin terlihat sempurna. Karismatik dan elegan, tetapi memiliki sikap dingin yang membuatnya sulit tersentuh oleh setiap wanita yang mencoba masuk dalam kehidupannya. Tetapi, siapa sangka dibalik sikap dinginnya itu, tersimpan rasa cinta yang sangat besar kepada seorang wanita yang sama sekali tidak mengharapkannya. Willy yakin apa yang dirasakannya kepada Tiffany, memang cinta, bukan sebuah ambisi seperti apa yang dikatakan David. Ceklek! Willy langsung menoleh saat mendengar pintu ruangannya terbuka tanpa diketuk terlebih dahulu. Ia penasaran dengan orang yang sudah berani masuk ke ruangannya tanpa permisi. Tetapi, wajah tampannya yang sejak tadi ditekuk langsung memancarkan senyum lebar saat tahu siapa yang datang. “Apa kabar, Abang ganteng!” Suara ceria adik sepupu kesayangannya memenuhi ruangan kerjanya. Membuat Willy langsung merentangkan kedua tangannya, yang membuat adik sepupunya langsung menghambur ke dalam pelukannya. “Apa kabar, Manja,” ucap Willy sambil mengusap puncak kepala adik sepupunya, Bita, yang tak lain adalah sahabat dari wanita pujaannya. “Seperti yang kamu lihat, Will, aku baik dan sudah sangat-sangat baik,” sahut Bita lantas mengurai pelukan mereka berdua. “Bagus! Itu baru adiknya aku.” Willy tersenyum sambil mengacak rambut Bita sampai berantakan. Membuat pemilik rambut uring-uringan karena kesal. “Kenapa pulang dari Australia nggak ngabarin aku, Will?” Bita protes sambil melipat tangan di depan d**a. Wajahnya cemberut membuat Willy jadi gemas sendiri. Willy menarik pelan hidung sepupunya yang tengah merajuk. “Jangan protes, ‘kan sekarang kamu sudah ada di sini ketemu sama aku, Manja.” Willy menjawil hidung Bita. “Tetep beda! Aku tahu kamu sudah pulang dan ada di Jakarta karena Tiffany yang bilang. Astaga ... parah!” cerocos Bita yang tidak menyadari perubahan sikap Willy ketika nama Tiffany disebut olehnya. “Jadi Tiffany yang bilang ke kamu kalau aku sudah kembali ke Jakarta?” Willy bertanya dengan suara tak bersemangat. “Bilang apa lagi Tiffany sama kamu?” lanjutnya sambil berjalan menuju sofa yang tersedia di ruang kerjanya, lalu duduk bersandar di sana mencari posisi ternyaman. Bita menutup mulutnya karena sadar sudah salah bicara. Tidak seharusnya ia menyebut nama Tiffany di depan Willy, hingga membuat abang sepupunya terlihat galau. Apalagi Bita sudah mendengar semua ceritanya dari Tiffany saat di kantor tadi. “Iya, Tiffany yang bilang ke aku. Terus dia juga cerita kalau kemarin sudah nolak cinta kamu lagi,” ucap Bita sambil menunduk karena merasa bersalah dengan Willy. Hufttt! Willy menghembuskan napas panjang. Ia menatap Bita yang tengah menunduk dengan tatapan yang sulit diartikan. “Sini duduk sebelah aku, Manja! Aku mau curhat sama kamu.” Willy menepuk-nepuk sisi sofa di sebelahnya, agar Bita duduk bergabung dengannya. Bita mengangkat kepalanya. “Curhat tentang Tiffany, 'kan?” Ia menebak dan langsung berjalan menghampiri Willy dan duduk di sebelahnya. “Tentu saja, tapi juga tentang hal lain!” jawab Willy mengedipkan sebelah matanya. Bita bisa melihat jika saat ini ada kesedihan yang berusaha Willy sembunyikan darinya. “Mau curhat apa, Abang sayang?” Bita sengaja menggoda Willy berniat mencairkan suasana yang mendadak terasa kaku. “Apa, sih, kurangnya aku, Bie? Ganteng, punya segalanya, keren, dokter pula, banyak cewek yang ngantri di belakang aku, tapi ... kenapa Tiffany terus nolak aku?” desah Willy membuat Bita tak tega. Dokter muda ini menatap langit ruang kerjanya dengan pandangan kosong. “Willy!” panggil Bita dengan suara serius. “Apa, Manja?” Willy menjawab tanpa menoleh. “Willy ... lihat aku!” sergah Bita, tak suka jika dirinya sedang bicara Willy tak mau melihatnya. Willy mendesah, adik sepupunya ini selain manja, juga sangat keras kepala. Membuat Willy mau tak mau harus mengalah dan melihat ke arahnya dengan tatapan penuh tanya. “Aku minta berhenti berharap sama Tiffany!” ucap Bita sambil menatap lekat wajah Willy yang kini juga tengah menatapnya. “Kenapa memangnya, Bie?” Willy malah bertanya dengan suara tenang. Bita menghembuskan napas panjang. Ia kesal, abang sepupunya ini masih bertanya kenapa, padahal sudah jelas alasannya apa. “Karena Tiffany nggak pernah mengharapkan kamu, Will, jadi percuma kalau kamu mengemis cintanya terus-menerus!” jelas Bita dengan suara meninggi. Bita tidak suka jika Willy masih mengharapkan cinta Tiffany, padahal sudah berkali-kali ditolak. Sekalipun Tiffany adalah sahabatnya, tetap saja Bita tidak terima jika abang sepupunya terus-terusan mengemis cinta sahabatnya. Apalagi ia tahu betul jika banyak wanita yang tergila-gila dan rela melakukan apa saja demi mendapatkan Willy. “Aku nggak masalah, Bie, aku yakin suatu saat Tiffany bakalan luluh dan mau menerimaku!” kata Willy masih optimis. “Satu hal yang perlu diluruskan di sini, aku bukan mengemis cinta Tiffany, tapi memperjuangkan cintanya!” “Ck! Perjuangan yang sia-sia!” ejek Bita. “Tetapi, akan indah pada waktunya!” “Willy! Tiffany cintanya sama Angga. Berhenti mengharapkan dia. Banyak wanita di luar sana yang mau sama kamu!” geram Bita menghadapi keras kepala Willy. “Aku tahu.” Willy menganggukkan kepala. “Tapi, apa kamu lupa kalau Angga cintanya sama kamu, bukan sama Tiffany!” Willy mengingatkan membuat Bita mendengus tertahan. “Satu lagi aku maunya Tiffany bukan wanita lain Manja!” “Aku nggak tahu lagi harus bilang apa sama kamu, Will! Berpuluh-puluh kali aku nasehatin kamu pun hasilnya tetap sama! Kamu akan selalu berjuang mendapatkan hati Tiffany yang sudah jelas menolak kamu terus-menerus!” omel Bita panjang lebar yang hanya ditanggapi dengan gelengan kepala Willy. “Aku sudah terlalu cinta sama Tiffany, Bie. Sebesar apapun aku berusaha untuk melupakannya tetap saja nggak bisa!” keluh Willy. Willy memang sudah berusaha melupakan Tiffany dengan cara memilih tinggal di Australia, negara asal mommy-nya selama dua tahun dan mencoba menjalin hubungan dengan seorang wanita asal Australia pilihan kedua orang tuanya, Rebecca. Tetapi, selama itu juga bayang-bayang Tiffany selalu hadir dan membuatnya semakin merindukan wanita pujaannya itu. Hingga akhirnya Willy memilih kembali ke Indonesia dan mengakhiri hubungannya dengan Rebecca padahal mereka berdua akan segera menikah. “Cinta apa ambisi, Will?” tanya Bita berhasil menohok hati Willy. Kata-kata ini sama dengan apa yang sudah dikatakan David kemarin. Bicara apa sih kamu, Bie!” Bita mengangkat bahunya. “Jujur aku merasa perasaan kamu hanya sebuah ambisi!” lanjut Bita. “Aku akan buktikan, apa yang aku rasakan sama Tiffany bukan sekedar ambisi, Bita!” tegas Willy. “Apa kamu nggak berpikir, jika perasaanku sama Tiffany hanya sebuah ambisi, lalu untuk apa aku bertahan sampai sejauh ini?” “Itu hanya kamu yang tahu jawabannya, Will!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD