MASIH TETAP SAMA

1058 Words
“Maaf, Will, Aku nggak bisa. Kamu sudah tahu, ‘kan, alasannya apa?” Tiffany kembali menolak Willy. Dari dulu hingga sekarang, entah sudah berapa puluh kali ia memberikan penolakan, sehingga membuat hati dokter muda yang masih setia berdiri di hadapannya ini terus patah. Meski hati Willy terus patah karena penolakan Tiffany, tak lantas membuat menyerah. Willy malah semakin bersemangat untuk memperjuangkannya. Hati yang terpenggal itu terus ia balut dengan keyakinan bahwa suatu saat Tiffany akan jatuh ke pelukannya. “Aku tahu, Angga, ‘kan, alasannya?” “Iya!” jawab Tiffany cepat. Dia enggan menatap Willy. “Berhenti mengharapkan Angga, karena dia hanya menganggap kamu seorang sahabat, Tiffany!” Willy mulai tersulut karena cemburu. Api cemburu tampak berkobar di mata Willy. Namun, Tiffany tidak bisa merasakan itu karena memang hatinya tak tersentuh oleh cinta Willy. Entah apa yang ada di hati Tiffany, hingga tak bisa membaca perasaan Willy yang terpancar dari sorot mata. “Kamu jangan ngatur-ngatur aku!” balas Tiffany sangat tegas dan terdengar galak. “Sekarang juga, lebih baik kamu pergi dari sini, aku sibuk, nggak punya banyak waktu buat ngeladenin kamu. Paham!” Tiffany mengusir Willy, bahkan langsung menutup pintu apartemennya tanpa menunggu Willy pergi. “Tiffany Carolina, buka pintunya!” Willy menggedor pintu apartemen dengan kuat, ia berharap wanita yang sudah menolaknya kembali membuka pintu. Tiffany yang masih berada di balik pintu, beringsut duduk di lantai. Tangannya memeluk kedua lutut dan membenamkan wajahnya di sana. Ia menangis karena sudah tidak bisa lagi menahan sesak di d**a. Sedih dan sakit, sama seperti apa yang dirasakan Willy. “Maafin aku, Will. Bukan hanya Angga alasannya, bukan!” lirih Tiffany dengan suara bergetar, tetapi tak bisa didengar oleh Willy. Merasa harapannya percuma karena Tiffany tak juga membukakan pintu untuknya lagi, akhirnya Willy memutuskan untuk pergi. Willy mengusap wajahnya kasar. Sesekali dia menoleh ke belakang. “Aku yakin suatu saat, kamu akan menerima aku, Tiffany Carolina!” teriak Willy dengan sangat yakin, sebelum benar-benar pergi meninggalkan apartemen Tiffany. Di perjalanan menuju arah pulang ke rumahnya, Willy mendapatkan telepon dari daddy-nya — Hendra Brasco, membuatnya sampai harus menghembuskan napas panjang dan berat. Masalah baru sudah datang dan Willy harus siap menghadapinya. “Halo, Dad, ada apa?” tanya Willy tanpa basa-basi, setelah sebelumnya menggeser icon berwarna hijau di layar handphone-nya. “Ada di mana kamu sekarang, Willy?” tanya Hendra dengan murka. Sebelumnya Willy memang tidak bilang ke daddy-nya, jika ia akan kembali ke Indonesia. Hanya mommy-nya saja yang tahu. Jadi wajar saja, kalau sekarang lelaki paruh baya yang sangat dihormatinya marah. “Jakarta, Dad!” “Apa-apaan kamu, Willy! Daddy tidak mau tahu, cepat kembali ke Australia, sekarang juga!” tegas Hendra. Lelaki itu marah sekali. “Maaf, Dad, Willy nggak bisa!” Willy pun menjawab tak kalah tegas. “Willy! Jangan macam-macam kamu! Bagaimana dengan rencana pernikahan kamu? Apa kamu sengaja mau membuat Daddy dan Mommy malu, hah?” Hendra berteriak di seberang telepon. “Tidak akan pernah ada pernikahan, Dad. Maaf, tanpa sepengetahuan Daddy, Willy sudah mengakhiri semuanya!” Dengan suara tenang Willy berucap, setelah itu tanpa menunggu respon daddy-nya, Willy langsung mengakhiri panggilan tersebut secara sepihak dan langsung menonaktifkan handphone-nya. “Pak Dirman, kita ke rumah David dulu,” kata Willy kepada sopir pribadinya. “Apa nggak sebaiknya kita pulang ke rumah dulu, Mas? Supaya Mas Willy bisa istirahat dulu biar sebentar, baru, deh, nanti malam ke rumah Mas David,” ucap Pak Dirman mencoba memberi saran. Ia tahu majikannya ini lelah, terlihat sekali dari wajahnya yang lesu. “Tenang saja Pak, saya bisa istirahat di tempat David nanti.” Willy mengulas senyum tipis. “Kalau begitu, baik, Mas,” kata Pak Dirman tak lagi memberikan pendapat. Lelaki paruh baya yang sudah menjadi sopir pribadi Willy sedari kecil, langsung melajukan mobil menuju kediaman salah satu sahabat majikannya. Dia paham sekali dengan watak majikannya yang tak suka dibantah. Kini perjalanan mereka sudah sampai. Willy langsung turun dari mobil, setelah memerintahkan Pak Dirman untuk pulang lebih dulu, karena dirinya kemungkinan tidak akan pulang. Willy ingin menghabiskan waktu bersama kedua sahabatnya, David dan Arsyil. “David! Apa kabar Lo?” Willy langsung duduk di sebelah sahabatnya yang tengah fokus dengan layar laptopnya. Seketika David menoleh dan terlihat kaget melihat Willy kini ada di sebelahnya. “Astaga, ini beneran lo, Will?” kata David sambil melepaskan kacamata anti radiasi yang dipakainya. “Iya, ini gue ... kenapa kaget lo?” sahut Willy yang saat ini tengah bersandar di sandaran sofa. “Tentu saja gue kaget, perasaan dulu lo yang bilang nggak akan pernah balik lagi ke Jakarta. Tapi, buktinya apa sekarang?” David sengaja menyindir Willy. “Apa lo lagi nyindir gue, Vid?” “Menurut lo?” Willy mendengus. “Gue enggak perlu lagi jelasin alasan gue kembali ke Jakarta, ‘kan, Vid?” “Enggak!” jawab David cepat. “Gue tahu lo kembali karena Tiffa, wanita yang wajahnya mirip dengan – “David cukup, jangan dilanjutkan!” potong Willy cepat sambil menutup kedua telinganya. “Lo harus bisa membedakan mana cinta dan mana ambisi, Will!” David masih berupaya memberi masukan. “Gue cinta sama Tiffany, Vid! Jadi berhenti berpikir kalau apa yang gue rasakan ke dia hanya sebuah ambisi!” Willy lalu menggebrak meja seolah sedang melampiaskan kekesalannya. “Maaf, Will, Aku nggak bisa. Kamu sudah tahu, 'kan, alasannya apa?” “Willy! Jangan macam-macam kamu! Bagaimana dengan rencana pernikahan kamu? Apa kamu sengaja mau membuat Daddy dan Mommy malu, hah?” “Lo harus bisa bedain mana cinta dan mana ambisi, Will!” Ucapan Tiffany, daddy-nya dan David, terus terngiang di telinga Willy yang saat ini sedang berdiri di depan jendela kaca besar yang ada di ruangan kerjanya, sungguh ketiga ucapan itu berhasil membuat pikirannya tak tenang. Hufttt! Willy menghembuskan napas secara kasar, saat kembali mengingat kejadian kemarin. Apalagi ingatan kejadian saat baru sampai dari Australia kemarin dan dirinya memilih langsung ke rumah Tiffany dengan alasan ingin segera menemui wanita kesayangannya yang sangat dirindukan. Dengan penuh percaya diri, ia langsung menyatakan cintanya lagi. Berharap setelah sekian lama Tiffany akan luluh dan mau menerimanya. Tetapi sayang, harapan tinggal harapan, Tiffany kembali menolaknya dengan alasan sama yang tidak pernah berubah. Sakit, tetapi tak berdarah, itulah yang dirasakan Willy. Miris! “Sampai kapan aku harus bertahan demi mendapatkan hati kamu, Faa?” gumam Willy sambil menatap lurus ke depan, seolah sedang mencari jawaban dari pertanyaannya sendiri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD